Pada suatu pagi, tidak ada makanan sedikit pun di dapur rumah Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali menanyakan pada istrinya, Fatimah, ia hanya menyatakan adanya enam koin dirham sebagai upah memintal bulu kemarin, di rumah keluarga Salman.
“Baik, enggak apa-apa, mana uang enam dirham itu,” pinta sang suami.
“Jangan, Kang, karena uang itu mau saya belikan makanan untuk anak-anak kita, Hasan dan Husen.”
Karena rasa empati sang istri pada suami, enam koin dirham itu pun diberikannya, hingga kemudian Ali keluar rumah dan melangkah menuju pasar.
Namun, belum sempat Ali membelanjakan uang tersebut, tiba-tiba seorang lelaki tua menghadang beliau di perjalanan, dan menadahkan kedua tangannya, “Pak sedekahnya, Pak. Tidak ada kerugian dalam sedekah, karena pasti Allah akan menggantinya.”
Ali merasa tergugah dan terenyuh hingga mendekati lelaki tua itu. Lalu, uang enam dirham itu pun diberikannya pada si pengemis. Sesampainya di rumah, istrinya menanyakan uang tersebut dan dibelanjakan untuk apa. Ketika Ali bercerita, sang istri merasa kesal dan seketika menangis terisak-isak, karena ia menilai bahwa sang suami lebih mementingkan orang lain ketimbang anak-anaknya sendiri.
Tetapi, untuk apa menangisi sesuatu yang sudah terlanjur ia lakukan. Akhirnya, sang suami mendekati si istri seraya menghiburnya, bahwa kakek tua yang diberinya sedekah itu manyatakan, “Siapa yang mau memberi pinjaman untuk Allah? Karena itu, biarlah Akang memberikan uang itu semuanya.”
Beberapa saat kemudian, ingin sekali Ali mengomunikasikan persoalan itu kepada sang mertua (Rasulullah). Namun, di tengah perjalanan ia berjumpa dengan orang tak dikenal, seorang Baduy dari pedalaman yang sedang menuntun untanya. Lelaki itu mendekati Ali, seraya berkata, “Pak, saya lagi butuh uang nih, tolong dong dibeli unta saya ini.”
“Aduh, maaf Pak, saya enggak punya uang sama sekali.”
Lelaki yang bertampang lugu dan polos itu tiba-tiba menitipkan unta tersebut pada Ali agar dijualkan ke pasar. “Jadi, berapa uang yang Bapak butuhkan untuk menjual unta ini,” tanya Ali kemudian.
”Untuk saya, cukup seratus dirham saja. Selebihnya, silakan Bapak pakai semuanya.”
Dalam perjalanan menuju pasar, tiba-tiba muncul seorang Baduy lain yang ingin membeli unta, kemudian ia pun menemukan Ali sedang menuntun seekor unta yang diminatinya. “Wah, menarik sekali unta ini. Inilah unta yang sedang saya cari selama ini,” gumam lelaki itu.
Si Baduy seketika menentukan harga unta yang diminatinya tersebut, “Pak, kalau Bapak mau menjual unta itu untuk saya, maka saya berani membelinya dengan harga tigaratus dirham. Apakah Bapak sanggup?”
“Siap Pak! Akan saya berikan dengan harga tigaratus dirham.”
Ali pun menyerahkan unta tersebut, menerima tigaratus dirham kemudian memberikan seratus dirham kepada si penjual unta, hingga ia pun mengucapkan banyak terimakasih pada Ali.
Sesampainya di rumah, ia pun mengabarkannya pada Fatimah, dan si istri menyambutnya dengan senyum merekah. “Bagaimanapun, tidak ada ruginya meminjamkan sesuatu untuk Allah, karena Dia Maha Kaya, dan sangat mudah untuk menggantinya dengan yang lebih baik.”
Keesokannya, Ali mendatangi Rasulullah dengan raut muka yang ceria, sehingga Rasulullah membaca ekspresinya, seketika berujar, “Ada apa, Mantu? Apakah memerlukan semacam tausiyah, ataukah ada berita yang perlu dikabarkan untuk saya?”
Setelah Rasulullah mengetahui berita tersebut, serta-merta beliau berkata, “Kalau kita meminjamkan sesuatu untuk Allah, maka keuntungannya akan berlipatganda ketimbang jumlah yang telah kita pinjamkan untuk-Nya.”
Dengan demikian, tak usah khawatir dengan meminjamkan sesuatu untuk kepentingan umat. Karena pada saat itu, kita sedang berbagi dengan Tuhan, yang pasti Tuhan akan kembalikan dengan sesuatu yang lebih baik dari itu.
Karena itu, jangan ragu-ragu menjadi relawan yang dermawan, meskipun kondisi kita sedang terbatas, sebagaimana yang dialami dalam kehidupan rumah-tangga Ali di atas. Sungguh Allah Maha Berlimpah kekayaan-Nya. Sangat mudah bagi-Nya untuk memberikan “kejutan” buat kita, jika kita rela dan ikhlas untuk mengabdi atau mengorbankan diri untuk memberi pinjaman kepada-Nya.
Kisah di atas mengajarkan kita agar senantiasa bersabar dalam menghadapi ujian hidup, baik berupa rasa sakit, kekurangan harta maupun kesempitan lainnya. Tidak ada ruginya jika kita berbuat baik dan bersikap dermawan. Dan kebaikan itu senantiasa kita berikan kepada pihak yang membutuhkan, terlebih kepada pihak yang sangat membutuhkan. Ali tak mempersoalkan lelaki tua yang diberinya sedekah, tanpa pandang bulu, baik beragama Islam atau bukan. Baik dia seorang Jawa, Sunda, Madura, atau berkulit cokelat, putih maupun hitam. Yang dia ketahui, bahwa lelaki tua itu memang sangat membutuhkan bantuan.
Kadang kita merasa ragu, disibukkan oleh pikiran yang bukan-bukan. Bagaimana kalau si pengemis menipu, karena ternyata dia bukan orang cacat, seperti para pengemis dalam novel Perasaan Orang Banten? Bagaimana kalau kita memberi tapi salah sasaran? Dan bagaimana kalau pemberian kita disertai rasa kesal, dan bukannya dibalas dengan ucapan terimakasih?
Ketahuilah, hal-hal yang bersifat akting maupun sandiwara itu bukanlah urusan kita, tetapi mutlak urusan Tuhan. Yang penting, bagaimana Tuhan melihat hati dan ketulusan kita. Ganjaran itulah yang tetap akan diberikan oleh-Nya. Meskipun, ternyata orang yang diberi santunan itu seorang penipu dan pendusta. Tetapi, rasa empati dalam hati kita untuk memberikan santunan dengan tulus-ikhlas, itulah yang dinilai oleh Allah. Itulah pengorbanan dan pinjaman yang diberikan untuk Allah, yang pasti akan dilipatgandakan balasannya, kapanpun, di manapun, dan dengan cara apapun. Sangat mudah Allah memberikan rizki dari sesuatu yang tak terpikir dan tak terbayangkan oleh diri kita! (*)