Sedang Membaca
Apakah Sastra Kita Berpijak di Bumi? 
Avatar
Penulis Kolom

Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menulis cerpen dan esai di harian Kompas, Republika, Tempo, www.kompas.id, Jurnal Toddoppuli, simalaba.net, kawaca.com, litera.co.id, harianhaluan.com, dan lain-lain.

Apakah Sastra Kita Berpijak di Bumi? 

“Jangan menjadi orang lain tapi jadilah diri sendiri, karena diri-diri yang lain bukan milik kita.” (Pramoedya Ananta Toer)

Setidaknya itulah nasihat yang saya tahu dari Pramoedya Ananta Toer, ketika penulis novel Pikiran Orang Indonesia bertandang di kediamannya di daerah Bojong Gede, Bogor untuk penggarapan buku Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno (Hasta Mitra, Jakarta 2001). Kata-kata tersebut menyadarkan kita yang sering membebani diri dengan pikiran-pikiran yang bersifat teknis semata, seperti “bagaimana cara menulis yang baik?” Lalu, apakah saya sanggup melakukannya? Dan dari mana sumber dananya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membuat seorang penulis tak beranjak ke mana-mana (stuck in the middle). Tetapi, justru akan membuatnya terperangkap dalam suatu proses labirin “menjalani tujuan hidup” ketimbang berjuang untuk “menemukan tujuan hidup” itu sendiri.

Untuk menemukan tujuan hidup, kita harus menyelami hati nurani dan bertanya kepadanya, apa yang harus saya tuliskan agar menjadi manfaat dan maslahat bagi kemajuan peradaban bangsa ini? Sudahkah kita meluangkan waktu untuk berefleksi diri, merenung, dan berkontemplasi agar makin memahami dan mengenal diri kita sebagai bangsa yang (mestinya) merdeka? Lalu, problem apa yang perlu dituliskan mengenai (dan demi) kemajuan bangsa dan negeri ini? Ataukah kualitas sastra kita akan dibiarkan mengawang-awang di atap-atap rumah, tanpa pernah punya kesanggupan untuk menembus ketinggian langit?

Belakangan ini, sudah muncul cerpen-cerpen menarik yang ditawarkan generasi penulis milenial, meskipun tidak sedikit sastrawan yang selama ini banyak andil – terutama di zaman Orde Baru – masih mengalami kevakuman (writer’s block). Bagi kita, tentu tak jadi masalah jika mereka sibuk untuk mengadakan introspeksi dan refleksi-diri, meskipun tidak jarang kita menemukan para sastrawan  yang mengidentikkan tujuan hidup dengan sebuah profesi, dan karenanya akan mengurangi peluang, bahkan membatasi kreativitas dan potensinya untuk menggapai tujuan hidup.

Contoh yang paling jelas dalam soal ini adalah problema hidup yang kita alami di masa pandemi Covid-19 ini. Jarang sekali penulis yang sanggup mengabdikan dirinya untuk terjun ke lapangan, menelusuri kedalaman makna di balik lika-liku soal pandemi ini. Apalagi sampai menelusuri kehidupan para profesor di ruang-ruang laboratorium, serta menelaah seluk-beluk dunia virus, kuman maupun mikrobiologis lainnya. Akhirnya, para wartawan sendiri, baik di media daringluring maupun elektronik, merasa kewalahan mencari-cari rujukan maupun referensi yang kompeten. Sebab, pada umumnya sudah terkontaminasi oleh keseragaman pemahaman seakan-akan mereka yang layak bicara soal virus itu hanya kalangan dokter maupun virolog saja.

Padahal, seseorang yang tujuan hidupnya membantu penderita Covid-19, tidak harus menjadi seorang dokter maupun perawat yang lulus akademi kedokteran maupun keperawatan. Orang itu bisa tetap menjalani tujuan hidupnya dengan menjadi peneliti, aktivis kemanusiaan, LSM, organisasi sosial atau keagamaan, atau mungkin profesi lain yang bisa membantunya menjalani tujuan hidup itu. Begitupun seorang penulis maupun sastrawan, tidak cukup berkhayal dan merenung khusyuk di ruang-ruang kontemplasi, tetapi harus terjun ke lapangan, mendalami, menyelami makna, jika penulis itu ingin menuangkannya ke dalam karya sastra. Dan jika karyanya itu ingin mengandung bobot makna yang ilmiah dan filosofis.

Profesi sebagai penulis hanyalah alat belaka, atau hanya metode yang bisa kita pilih atau ciptakan untuk menjalani tujuan hidup. Lalu, kenapa banyak penulis kita seakan-akan membatasi tujuan hidupnya hanya dengan satu profesi. Bukankah dengan demikian mereka hanya sibuk membatasi potensinya sendiri?

Di samping persoalan riset dan penelitian mikrokosmik, mampukah para penulis kita mendalami aspek-aspek sosialnya, misalnya soal dampak penyebaran virus, manajemen mitigasi hingga ke masalah depresi dan stres sosial disebabkan pandemi Covid-19 ini. Hal ini menjadi konsekuensi logis bagi para intelektual, seniman maupun sastrawan untuk menyelami ilmu antropologi, psikologi hingga sosiologi modern. Maka, terhempaslah mereka yang hanya sibuk mengotak-ngotakkan ilmu dalam profesi tertentu. Karena semua ilmu pada hakikatnya menyatu dalam harmoni kesemestaan, sebagaimana ulumul mahmudah (istilah Arab). Semua itu adalah ilmu-ilmu terpuji yang layak dipelajari, dan sangat bermanfaat bagi proses peradaban umat manusia.

Baca juga:  Laris: Kamus dan Tiga Bahasa

Membangun Akal Sehat

Saat ini, mungkin tidak sedikit orang Indonesia yang hidup dalam kecintaan dan kesukaan orang lain, lalu terpaksa ia tenggelam dan “mengabdi” di dalamnya. Padahal, apa-apa yang disukai oleh bos dan masternya, boleh jadi merupakan sesuatu yang dibencinya. Jadi, terpaksa mereka melakukan sesuatu – selama bertahun-tahun – hanya untuk membuat orang lain merasa senang dan bangga dibuatnya.

Dalam soal berpikir dan berbahasa, tidak sedikit angkatan penulis muda yang terlampau sibuk dengan urusan tren yang sedang hot. Seakan bagus mentereng dan terkesan bagi banyak orang. Belum lagi, soal apa yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan di medsos, televisi, majelis taklim, bahkan hingga ke selera membaca dan menonton film. Banyak orang cenderung memilih apa yang sedang disukai orang lain ketimbang apa yang disukai oleh dirinya, dari kedalaman hati nuraninya sendiri.

Berkaca dari pengalaman Hafis Azhari dalam proses penelitiannya untuk menggarap novel Pikiran Orang Indonesia (POI), kiranya layak saya mengajukan pertanyaan, sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan Pramoedya maupun Koordinator Komisi KontraS, Malik Feri Kusuma: apakah para penulis Indonesia – khususnya yang senior – memiliki software sastra dalam benak mereka, terutama setelah kekisruhan politik tahun 1965? Mengapa banyak karya-karya sastra yang mubazir, mengawang-awang, seakan tak pernah berpijak di bumi Indonesia? Apakah selama ini para penulis menyukai sesuatu secara independen dan tidak melulu berpikir In of the box? Sanggupkah mereka menekuni suatu bidang permasalahan yang kelak membawa manfaat bagi banyak orang, meskipun hari ini menjadi bahan lelucon dan guyonan bagi orang lain?

Jika kita mengambil intisari dari novel POI, sudah sanggupkah kalangan seniman, intelektual dan akademisi mendapat banyak tertawaan atas hasil karyanya, meskipun oleh segelintir orang – yang beradab – sebenarnya ia sedang berkarya secara serius bagi kemaslahatan dan perbaikan moral bangsa?

Silakan Anda jawab sendiri berdasarkan hati nurani yang terdalam, siapakah orang-orang Indonesia yang selama ini berbuat dan berkreasi secara serius, ulet dan tekun, tentang apa yang disukai oleh dirinya. Ketimbang mereka yang hanya berkarya demi untuk menyenangkan hasrat dan ambisi orang lain.

Selama ini, banyak orang yang ternyata hanya sibuk berpikir tentang apa yang dipikirkan orang lain. Juga terkesan pada sesuatu yang ternyata hanya pesona bagi orang lain. Terlepas apakah itu akan berdampak baik atau buruk untuk masa yang akan datang. Mengenai ini, saya telah mengupasnya lebih jauh dalam opini “Membangun Akal Sehat” di harian Kompas (24 April 2018).

Mencari Kebahagiaan

 Jadi, apa yang sebenarnya dicari oleh para penulis dan sastrawan kita selama ini? Mungkin sebagian besar akan menjawab: kebahagiaan hidup. Baik kalau begitu. Lalu, apakah benar bahwa kebahagiaan itu adalah tujuan hidup? Bukankah menjadi bahagia adalah hadiah dari menjalani tujuan hidup, atau menjalani apa yang menjadi passion kita?

Karena kebahagiaan menjadi tujuan, ditambah persepsi bahwa tujuan hidup identik dengan profesi, kita seringkali mempersempit “lokasi-lokasi” di mana kebahagiaan itu berada. Dengan demikian, kita hanya mencari kebahagiaan dalam ruang sempit: satu profesi, satu lingkungan pergaulan, bahkan satu hubungan (grup WA). Ketika semua itu tak berjalan lancar, maka kita akan hidup dalam kekosongan, kehampaan dan kegersangan batin.

Seorang sastrawan dan penulis sejati akan sampai pada pemikiran bahwa kebahagiaan itu ada di banyak hal. Selama kita menjalani tujuan hidup yang telah kita temukan, selama itu pula kita akan merasakan kebahagiaan (kepuasaan batin). Penulis dan sastrawan kita kebanyakan seperti “anjing” yang mudah tersinggung, dan gampang menjadi “pendengki”. Lalu, anjing macam apa yang dimaksud? Yakni, anjing yang berlarian ke sana kemari, tersungkur jatuh, hanya untuk mengejar dan menangkap bola salju yang dilemparkan. Ketika bola salju itu jatuh ke tanah bersalju dan hancur berkeping-keping, anjing itu bersemangat mengais-ngais kepingan bola salju yang sudah pecah itu. Anjing itu tidak menyadari bahwa di sekitarnya begitu berkelimpahan salju di mana-mana. Begitu pula ketika seorang seniman dan sastrawan terlalu fokus mencari kebahagiaan di satu lokasi, ia tidak menyadari bahwa begitu banyak kebahagiaan lain di sekitarnya.

Baca juga:  Ali Abdur Raziq : Islam dan Fase Problematika Khilafah

Tema tentang mencari kebahagiaan hidup memang tak lepas dari krisis eksistensial manusia modern. Frase “krisis eksistensial” mulai dibicarakan ketika muncul gelombang kritik terhadap modernisme dalam filsafat Barat di akhir Abad ke-19. Terutama melalui para filosof aliran eksistensialisme seperti Nietzsche, Jean Paul Sartre hingga Albert Camus. Dan di Indonesia, tercermin jelas dalam karya-karya sastra Iwan Simatupang, Chairil Anwar, Achdiat K. Mihardja, Putu Wijaya hingga Goenawan Mohamad.

Kemudian, hadirlah era milenial. Begitu membludaknya informasi dan pilihan-pilihan hidup, semakin membuat banyak orang dilanda kecemasan. Dalam suatu pertemuan sastra bertajuk “Apakah Sastrawan Kita Sudah Menjadi Manusia Selesai?” seorang seniman tiba-tiba bangkit dan berteriak lantang: “Kalau semua orang merasa stres dan cemas untuk memilih, lebih baik saya tidak terlibat untuk menjatuhkan diri dalam pilihan manapun!”

Bagi saya pribadi, itu adalah hak dia sendiri. Seniman itu berpendapat bahwa segala hal dalam hidup ini hanyalah konstruksi buatan manusia yang memaksa kita untuk memilih. Karena itu, konstruksi sosial yang paling dominan seakan-akan menjajah dan memaksa kita untuk menjatuhkan diri di dalamnya.

Tetapi, apakah seniman itu menyadari bahwa jalan pikirannya pada penolakan itu tak lain sebagai bentuk dari pilihan dia sendiri. Artinya, dia menjatuhkan pilihan terbaru yang sebenarnya ciptaan dari pilihannya sendiri. Bagi saya, tetap saja pilihannya itu bukanlah solusi untuk menyelesaikan kecemasan yang dia rasakan. Sebab, manusia akan dapat memahami dirinya melalui bagaimana orang-orang lain memandang dirinya. Ia mencari tujuan hidup yang bisa mendefinisikan dirinya melalui konstruksi sosial yang dominan di tengah masyarakat. Bagaimanapun, ia takkan mampu mencari tujuan hidup hanya di dalam dirinya sendiri.

Kembali pada Diri Sendiri

 Di era milenial ini, banyak orang cenderung mengukur diri dengan apa yang ditampilkan di media sosial, seperti profesi, karir, gaji, sekolah, kuliah, mobil, rumah, hingga soal gaya hidup. Hidup yang tak sesuai standar yang disajikan medsos dianggap sebagai kegagalan atau kesia-siaan. Padahal, semua yang dipertontonkan itu hanyalah hiperrealitas atau simulasi atas realitas, bukan realitas yang sejati.

Dari sudut pandang filsafat, Jean Paul Sartre dikenal sebagai filosof Barat yang selalu menyerukan konsep “kembali pada diri sendiri” (return to the self). Pandangan eksistensialisme yang dikemukakannya, seakan menegur kita agar mengoptimalkan potensi yang kita miliki. Tidak dikekang oleh anggapan banyak orang atau konstruksi sosial yang dominan tadiBagi Sartre, sebagaimana pendapat Pramoedya juga, kita sendirilah yang bertanggung jawab atas apa yang kita pilih dan lakukan, dan bukan orang lain.

Secara religius, menjadi diri sendiri dapat pula diartikan sebagai manusia otentik, yang kembali kepada fitrah kemanusiaannya, yakni mengaktualkan potensi dirinya secara fisik, akal, dan hati nurani. Karenanya, apa-apa yang dibayangkan para penulis dan sastrawan mengenai penderitaan hidup, belum tentu merupakan realitas yang sebenarnya. Sebab, penderitaan yang terus-menerus dirasakan tokoh dalam sebuah karya sastra, boleh jadi merupakan faktor ekstrinsik, atau konstruksi yang dibuat pengarang dengan mengulang-ulang perasaan sakit yang dialami beberapa saat atau sejenak. Jadi, rasa sakit itu boleh jadi hanya sekali, tetapi pengarang sebisa-bisanya memperpanjang dan mengulang-ulang perasaan menderita di dalam benaknya.

Kita harus menyelami diri untuk bisa memahami siapa kita, serta memilih apa tujuan hidup kita. Bagi Sartre, apapun hasilnya nanti, yang penting kita sudah memilih berdasarkan kehendak diri dan bukan ingin menyenangkan atau menyesuaikan diri dengan konstruksi sosial. Jadi, persoalan memilih dalam kehidupan ini bukanlah soal apakah nanti pilihan itu baik atau buruk. Selama dalam prosesnya tak menyakiti atau merugikan orang lain, dan pilihan itu merupakan kehendak diri dan bukan karena tekanan orang lain, maka pilihan itu akan mendatangkan kebahagiaan.

Baca juga:  Menonton Liga Arab, Melihat Saudi yang Berubah

Maka, di sinilah peran sastrawan dan intelektual yang harus sanggup menelusuri kedalaman relung-relung jiwa manusia. Sebab, siapa lagi kalau bukan mereka yang berjuang keras menjelajahi alam bawah sadar, bagaikan manusia-manusia laboratorium yang bereksperimen dengan mesin-mesin diesel. Meskipun kita menyadari bahwa kompleksitas kehidupan tentu lebih rumit daripada sekadar menampilkan sosok figur maupun tokoh. Tetapi paling tidak, pergelutan pemikiran yang dilakoni para sastrawan, harus menjadi cermin dan teladan mulia bagi pencarian konsep tentang filsafat manusia, termasuk religiositas dan filsafat manusia Indonesia itu sendiri.

Visi Indonesia ke Depan

 Kekuasaan militerisme Orde Baru telah menggiring dan mengarahkan bangsa ini pada pola berpikir seragam, dangkal, hanya pada satu dimensi saja. Mereka menyebutnya dengan istilah “manusia seutuhnya”, yang pada hakikatnya mendorong pemikiran suatu bangsa yang plural dan majemuk kepada keseragaman imajinasi yang bersifat militeristik.

Bangsa yang besar ini akhirnya kehilangan kesenangan dalam banyak hal yang mestinya menjadi pengalaman otentik dirinya sendiri, yakni hasrat dan keinginannya yang paling dalam.

Bangsa yang besar ini telah terjebak ke dalam suatu siklus, serta terkerangkeng oleh kesenangan orang lain, lalu membiarkan diri “membungkam” suara-suara dari pikiran dan hati nuraninya sendiri, karena merasa harus menyamakan diri dengan suara-suara dari perasaan dan pikiran para penguasa. Tak terkecuali kaum seniman dan sastrawan juga.

Lalu, apakah kita harus menjadi orang yang anti-mainstream dalam segala hal? Tentu saja tidak. Bila memang tak perlu, buat apa kita melawan arus? Jika yang sedang nge-tren adalah perubahan untuk memajukan peradaban bangsa, untuk apa kita melawannya? Tidak semua yang berbeda itu positif, juga tidak semua yang sama itu negatif. Hal ini paralel dengan prinsip dan adagium para pemimpin bijak, bahwa tidak selamanya konsep konflik itu negatif, juga tidak selamanya konsep harmoni itu positif.

Karena itu, seorang seniman atau sastrawan tak perlu merasa hebat hanya karena dia melawan arus, atau berbeda dengan orang kebanyakan. Yang terpenting adalah prinsip hidup untuk senantiasa fokus pada apa yang benar-benar ingin dicapai dan dituju, tetapi juga harus memerhatikan moral massage, bahwa tidak setiap yang benar itu boleh disampaikan kepada publik, selama kebenaran itu tidak memberi kemaslahatan. Dengan demikian, karya tulis pun akan menyatu dengan alam semesta, ajaran agama hingga rumus-rumus fisika dari penegasan Albert Einstein: “Tidak semua yang bisa dicapai oleh kekuatan otak manusia, boleh dilakukan sekehendak hatinya.”

Saat ini, banyak generasi muda (tak terkecuali wartawan dan sastrawan) sibuk mengejar kemapanan karier yang memberikan rasa amanjabatan yang keren, profesi yang mendatangkan popularitas secara instanserta pekerjaan yang bercitra gengsi tinggiKita hidup di suatu era ketika hampir segala hal dengan mudah menjadi jargon. Terkait dengan ini, tentu kita membutuhkan generasi baru yang memiliki sikap dan pemikiran yang revolusioner, ulet, tekun dan pemberani, apapun penilaian orang tentang dirinya (dalam jangka pendek).

Kita harus berani menyatakan kebenaran, bukan semata-mata membenarkan kenyataan. Karena itu, untuk menciptakan visi pembangunan Indonesia ke depan, memang tidak harus memerlukan popularitas dalam jangka pendek. Sebab,untuk melahirkan ide dan gagasan baru yang cemerlang, mesti dilakukan atas dorongan akal sehat dan hati nurani, bukan mengandalkan ketertarikan dan kepentingan pasar belaka. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top