Mungkin jika kita melihat sisa-sisa makanan orang lain, 1,5 % untuk kita tertarik pada sisa makanan tersebut. Begitulah terkadang manusia, sering enggan terhadap sesuatu yang sudah dirasakan orang lain, tak terkecuali dalam hal makanan. Manusia cenderung menyuaki hal baru. Mungkin, bagi beberapa orang, memakan sisa orang lain terkesan menjijikkan.
Padahal jika kita melihat bagaimana kaum sufi dalam memandang sisa-sisa makanan, kita akan tau betapa pentingnya memerhatikan sisa makanan orang lain.
Bagi kaum sufi, memikirkan sisa makan merupakan satu hal yang sangat penting. Meski dalam pandangan masyarakat pada umumnya, sisa makan tidak mempunyai nilai apapun, tapi bagi mereka, keum sufi, merupakan hal yang amat penting.
Begitulah memeng kaum sufi, dalam memandang sisa makan dan minuman, yang dipandang sudah bukanlah soal nilai materi atau nilai ekonomis. Kerena memang mereka sudah tidak mikirkan hal duniawi. Bahkan, Pada maqom tertentu, bagi kaum sufi, tidak ada bedanya antara bongkahan emas dan bongkahan perak.
Yang menjadi perhatian bagi kaum sufi adalah bahwa dalam sisa makan dan minuman ada bebera nilai sufistik yang penting seperti barakah, penghargaan terhadap nikmat, kerendahan hati, dan nila-nilai sufistik lainnya.
Ibnu Abbas ra berkata :
من التواضع أن يشرب الرجل من سؤر أخيه
“Termasuk sikap tawaduk adalah meminup sisa minuman saudarnya (sesama islam).”
Imam Ibnu-Hajj al-Fasi bercerita dalam al-Madkhal, suatu ketika, Imam Hasan al-Bashri bersama Syekh Farqon as-Sabkhi diundang seorang untuk sebuah jamuan makan. Tuan rumah menyuguhkan makanan di sebuah nampan untuk dimakan bersama dengan tamu-tamu lain yang hadir saat itu. Ternyata, reaksi kedua tokoh sufi itu sangat bertolak belakang. Imam al-Bashri mengambil makanan yang paling baik di nampan itu. Sedangkan Syekh Farqan memilih memakan remah-remah sisa makanan yang terserak di sekitar nampan. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan yang ada di nampan tersebut.
Jamuan makan selesai, para undangan telah bubar. Salah seorang di antara mereka mendatangi Syekh Farqan dan memberanikan diri bertanya mengapa beliau mimilih mengonsumsi sisa makan yang tercecer? Syekh Farqan mengutarakan alasanya:
أَغْتَنِمُ بَرَكَةَ سُؤْرِ الْإِخْوَانِ وَلِأُكْرِمَ نِعْمَةَ اللَّهِ تَعَالَى ؛ لِأَنِّي إنْ لَمْ أَلْتَقِطْ ذَلِكَ قَدْ يَقَعُ عَلَى الْأَرْضِ فَتَدُوسُهُ الْأَقْدَامُ
“Aku ingin mendapatkan berkah dari sia makanan saudara-saudaraku (sesama mukmin). Dan, aku ingin menghargai nikmat Allah taala. Sebab, jika aku tidak mengambilnya, maka sisa-sisa makanan itu akan berserakan di tanah dan diinjak-injak oleh orang.”
Alasan yang sangat masuk akal, dan memiliki dalil yang amat kuat dalam ajaran Islam. Mengenai “kandung berkah” dalam sisa makanan orang mukmin, hal itu cukup banyak dalilnya dalam hadits, teladan sahabat dan para ulama.
Selain alasan barakah, memakan sisa makan juga merupakan bentuk menghargai nikmat Allah dan tidak menyia-nyiakannya. Islam melarang tabdzir atau membuang-buang rezeki yang kita dapat. Kita mesti menghargai setiap tetes air dan setiap biji makanan dengan cara tidak menyia-nyiakannya dan menggunakannya untuk hal-hal yang positif. Penghargaan ini juga merupakan bentuk syukur terhadap nikmat Allah.
Sehingga, termasuk dari sunnah Nabi adalah menjilati sisa makanan yang menempel di jari-jari. Sayyidina Anas bin Malik bercerita bahwa setiap usai makan, Rasulullah SAW selalu menjilati tiga jarinya. Beliau bersabda, “Jika ada bagian dari makanan kalian jatuh, maka bersihkan kotorannya dan makanlah. Jangan tinggalkan makanan (yang jatuh) itu untuk setan.” Beliau juga menyuruh agar memakan sisa-saia makanan yang ada di piring sampai bersih. Mengenai hal itu, beliau bersabda, “Kalian tidak tahu, bagaimana dari makan kalian yang memiliki berkah.”
Begitulah kepedulian keum sufi terhadap sisa makan. Selain alasan barakah, meraka tidak ingin nikmat tuhan terbuang sia-sia.