Pada logika keagamaan yang umum, syukur ditujukan untuk datangnya nikamat, sedangkan sabar ditujukan untuk datangnya musibah. Ketika nikamat datang menghampiri, maka seseorang dituntut mensyukurinya. Segitupun juga ketika musibah datang, maka seseorang dituntut untuk menyabarinya. Dalam dunia sufi, logika ini bisa saja terbalik.
Bisa jadi, syukur merupakan sikap dalam menghadapai musibah, sedangkan sabar merupakan sikap dalam menghadapi kenikmatan atau anugrah. Sikap ini justru menunjukkan tingginya spiritual seseorang. Logika terbalik ini sebagaimana yang tersirat pada perkataan Fudhail bin ‘Iyad :
لا يبلغ العبد حقيقة الإيمان حتى يعد البلاء نعمة والرخاء مصيبة
Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat iman sampai dia menganggap musibah sebagai nikmat dan kegemilangan harta sebagai musibah.
Bagi kaum sufi, sesuatu di dunia ini memiliki dua sisi sekaligus; nikamat dan musibah. Sebab, nikamat dan bala yang ada di dunia ini bersifat muqoyyadah (tidak mutlak) dengan arti tidak murni berupa nikmat, akan tetapi memiliki sisi lain yang menyengsarakan atau merugikan, kecuali sebagian kecil saja, seperti iman dan budi pekerti yang baik. Sebuah kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang di dunia, biasanya memiliki sisi lain yang merugikan dia. Jika seseorang diberi nikmat maka cenderung akan lalai terhadap tuhan. Hal ini tentu menjadi sebuah musibah besar dikalangan ahli tasawuf. Begitupun juga bala, seseorang lebih cenderung mengingat tuhan pada saat tertimpa musibah. Hal ini tentu merupakan nikmat yang patut disyukuri.
Lalu, jika sesuatu memilik dua sisi; nikmat dan musibah sekaligus, bagaimana mungkin seseorang boy bersabar dan bersyukur secara bersamaan?. Oleh karena itu, Imam Ghozali menyebutkan dalam Ihya’ ‘Ulumiddin :
أن الشيء الواحد قد يغتم به من وجه ويفرح به من وجه آخر فيكون الصبر من حيث الاغتمام والشكر من حيث الفرح
Sesungguhnya sesuatu itu terkadang menyengsarakan seseorang pada satu sisi dan mengembirakan pada sisi yang lain. Maka menggunakan sikap sabar dalam meyikapi sisi yang menyengsarakan dan menggunakan sikap syukur pada sisi yang mengembirakan.
Menurut Imam Ghazali, setiap penderitaan yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan dunia, setidaknya bisa disyukuri karena lima faktor.
Pertama, bersyukur karena Alla tidak menimpakan musibah yang lebih besar, padahal Allah bebas berkehendak melakukan apa saja terhadap hamba-hambanya. Konon, ada seorang Syekh sufi berjalan di sebuah lorong terbuka. Lalu, ada orang yang menyumpahkan abu perapian ke atas kepalanya.
Kontan, Syekh tersebut langsung melakukan sujud syukur. Ketika ditanya mengenai aksinya itu, dia berkata, “Aku sangat khawatir mendapatkan hukuman api.” Jadi, ketika ternyata hukuman yang diterima hanyalah abu, maka hal itu sangat layak disyukuri.
Kedua, bersyukur karena malapetaka tersebut tidak terjadi dalam prisip agamanya. Mengenai hal ini, konon ada seorang mengadu kepada Imam Sahl at-Tustari, “Ada pencuri masuk ke rumah dan mengambil barang-barangku.” Imam Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah. Sebab, jika yang masuk itu adalah setan ke dalam hatimu, lalu merusak tauhidmu, apa yang bisa kau perbuat?”
Ketiga, bersyukur karena musibah yang dalami seseorang di dunia bisa saja merupakan penghapus hukumannya di akhirat. Rasulallah SAW bersabda:
ومن أصاب شيئا من ذلك فعوقب به فهو كفارة له
Barangsiapa melakukan sesuatu dari (berbagai berbuatan dosa) tersebut, lalu dia mendapatkan hukumannya (di dunia), maka itu adalah penghapus baginya. (HR. Muslim)
Keempat, musibah tersebut sudah termaktub dalam catatan takdir, dan sudah pasti mengena kepadanya. Tidak ada jalan untuk menghindarinya. Jadi, ketika musibah itu telah menimpa, maka layak untuk bersyukur karena telah menyelesaikan satu beban yang pasti menjadi gilirannya.
Kelima, musibah dan kesengsaran dunia merupakan jalan lapang menuju kebahagiaan akhira, setidaknya karena dua faktor. Faktor yang pertama, penderitaan di dunia tak ubahnya obat dan suntikan untuk menyembuhkan penyakit. Faktor kedua, musibah dan penderitaan dapat mengurangi kuatnya ikatan hubbu-dun’ya atau kecintaan seseorang terhadap kenikmatan duniawi.