Sedang Membaca
Nasib Guru Honorer
Budy Sugandi
Penulis Kolom

Mahasiswa PhD jurusan Education Leadership and Management, Southwest University China & Excellent International Student, SWU China 2019-2020.

Nasib Guru Honorer

Inilah kisah klasik itu. Ketika Jepang dibom atom oleh Amerika, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“

Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”

Kisah populer di atas selalu terngingang-ngiang di kepala penulis, terutama ketika membaca berita tentang kebijakan pemerintah menghentikan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi guru sejak 2021.

Tingginya perhatian pemerintah Jepang terhadap guru ini juga memunculkan humor satire, “apa bedanya Jepang dan Indonesia tahun 1945 dan saat ini?”, “tahun 1945 Jepang dibom atom oleh Amerika, kalau Indonesia merdeka pada tahun itu… Bedanya saat ini anak-anak di Indonesia sudah bisa bermain handphone, sedangkang anak-anak di Jepang sudah mampu membuat handphone.

Nasib Guru Honorer

Kesejahteraan guru yang sudah menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam beberapa tahun terakhir ini bisa dikatakan cukup baik. Tunjangan sertifikasi dan profesionalisme guru menghapus citra guru seperti “Guru Oemar Bakri” dalam lagu Iwan Fals. Namun sebaliknya, sangat mengenaskan bagi guru honorer. Masih banyak guru honorer yang diperlakukan tidak manusiawi. Tentu hati kecil kita menangis ketika mendengar masih ada guru honorer yang hanya digaji Rp. 150 ribu per bulan. Jika ada guru honorer yang tidak sejahtera, itu bukan hanya permasalahan para guru nonorer semata. Namun, permasalahan seluruh guru di Indoenesia.

Baca juga:  Perempuan Katolik Bernama Terra dan Adab Segala Bangsa

Guru baik yang sudah PNS maupun honorer sama-sama mulia. Hak kesejahterannya perlu dipenuhi. Mereka adalah tangga emas bagi generasi bangsa untuk mencapai kesuksesan. Oleh sebab itu perlu ada regulasi yang mengatur terkait problem ini.

Peran Guru selama masa Pandemi

Peran guru tak perlu diragukan lagi di negeri ini, terlebih selama masa pandemi Covid-19. Ketika siswa-siswa belajar dari rumah, orangtua sadar bahwa mendidik anak itu tidak mudah. Tidak sedikit orangtua stress akibat harus mengajari anaknya di rumah. Menjadi guru tidak cukup menggunakan otak dalam mengajar anak membaca dan berhitung, namun juga dibutuhkan hati berupa kesabaran dan ketaletanan.

Selama masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini juga, para guru dituntut beradaptasi dan berimprovisasi terhadap metode pembelajaran yang tepat serta mampu menguasai teknologi. Beberapa guru yang sudah berusia tak muda lagi dipaksa belajar menggunakan video call (zoom, google meet, dll), platform belajar, dan seterusnya.

Kebijakan yang tak bijak

Profesi guru tak masuk dalam formasi lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kabar ini datang dari Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana dalam konferensi pers virtual, Selasa, 29 Desember 2020. Bima mengatakan bahwa “Kami sepakat bahwa untuk guru itu beralih ke PPPK jadi bukan CPNS lagi. Ke depan kami tidak akan terima guru sebagai CPNS, tapi sebagai PPPK”.

Selanjutnya Mendikbud Nadiem Makarim buka suara soal polemik kebijakan pemerintah menghentikan rekrutmen guru CPNS mulai 2021. “Ingin saya koreksi mispersepsi di media bahwa tidak ada lagi formasi CPNS untuk guru, ini salah dan tidak pernah menjadi kebijakan Kemendikbud,” kata Nadiem dalam akun Instagramnya pada Selasa, 5 Januari 2021.

Baca juga:  Untuk Apa Kita Berdebat?

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), ada perbedaan mendasar antara pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Dalam aturan tersebut, PNS setelah diangkat hanya akan berhenti jika sudah memasuki usia pensiun, meninggal, pensiun dini, atau tidak cakap jasmani dan rohani. Sedangkan PPPK diangkat dan dipekerjakan dengan perjanjian kontrak sesuai jangka waktu yang ditetapkan.

Alasan pemerintah menghentikan rekrutmen CPNS bagi guru yaitu berdasarkan hasil evaluasi perekrutan CPNS formasi guru, salah satu yang jadi catatan penting adalah banyaknya guru berstatus PNS yang meminta mutasi setelah pengangkatan. Hal inilah yang menurut pemerintah, dianggap sebagai salah satu biang keladi masalah pemerataan pendidikan hingga kini belum juga terselesaikan.

Kebijakan pemerintah menghentikan penerimaan CPNS untuk formasi guru sejak 2021 ini merupakan kebijakan yang tak bijak. Pasalnya guru menjadi korban dengan ke(tak)biajakan ini. Jika ini dibiarkan maka akan menjadi diskriminasi dan pengkhianatan terhadap guru. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) akan sepi karena pupusnya cita-cita anak Indonesia untuk menjadi guru. Padahal, merujuk data Kemendikbud tahun 2020, sampai 2024 Indonesia kekurangan guru PNS di sekolah negeri mencapai 1,3 juta orang. Belum kita berbicara guru di sekolah madrasah, yang semakin menambah tingginya akan kebutuhan guru.

Tawaran solusi

Ke depan komunikasi dan koordinasi yang baik antarkementerian perlu diperbaiki. Jangan sampai rakyat bingung dengan pernyataan apalagi kebijakan yang dikeluarkan. Terkait program PPPK, program ini merupakan terobosan yang baik sehingga perlu dilaksanakan, namun tidak untuk meniadakan formasi CPNS bagi guru. Keduanya punya konteks berbeda. PPPK merupakan kebijakan yang bagus untuk memperbaiki nasib guru honorer yang nasibnya sudah lama terkatung-katung tidak jelas. Namun, PPPK tidak cocok dijadikan paten bagi profesi guru. Karena PPPK sifatnya kontrak, ada evaluasi berkala (bisa per tahun) yang berdampak pada pemutusan kerja jika dianggap tidak mumpuni. Tidak adanya tunjangan pension juga menjadi masalah dikemudian hari.

Baca juga:  Rahasia Di Balik Nama-nama Putra Kiai Wahid Hasyim

Sedangkan CPNS mampu menjamin kesejahteraan profesi guru. Ini menjadi bukti bahwa negara benar-benar hadir dalam menjamin kehidupan guru sepanjang hayatnya sehingga mereka siap mencurahkan segala energi mereka untuk mengabdi dan menjadi teladan bagi anak-anak bangsa. PPPK tidak boleh Jadi baik PPPK maupun CPNS harus dijalankan secara berkelindan jika negara benar-benar ingin menghargai para guru.

Untuk tahun 2021, jika pemerintah ingin merekrut 1 juta guru PPPK, maka sebaiknya dibuka 200.000 (20%) untuk CPNS dan 800.000 (80%) untuk PPPK. Atau di tahun depan berikan jatah 20% guru PPPK untuk mendaftar CPNS. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 99 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Terkait temuan pemerintah berdasarkan hasil evaluasi ­­­­­­­­­­perekrutan CPNS formasi guru banyaknya guru berstatus PNS yang meminta mutasi setelah pengangkatan itu bukan berarti harus menghentikan CPNS bagi guru, namun sistemnya yang harus diperbaiki.

Akhirnya, kalau ada tikus di lumbung, jangan lumbungnya yang dibakar, Kalau ada sistem yang buruk, jangan korbankan nasib guru. Perbaiki sistemnya dan terus buka kesempatan guru mendaftar CPNS. Tekad kuat dan pengabdian tanpa tanda jasa guru harus terus­ dijaga, menjadi pelita dalam menerangi masa depan bangsa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top