Danarto suka makan. “Mas Dan” sapaan akrabnya. Dengan sebuah jeep, pernah Danarto mengajak saya menembus kemacetan lalu-lintas sore hari lebih dari satu jam dari TIM di Cikini Jakarta Pusat ke Kebayoran Baru di Jakarta Selatan demi semangkok soto ayam. Militan.
“Pak, saya pesan 15 cakar ayam ya. Tanpa nasi,” ujarnya ke pemilik warung. Suara Danarto sabar dan santun. Saya mendengar percakapannya tentang resep soto dengan pemilik warung. Saat itu awal tahun 2000-an. Seluruh cakar ayam itu ludas di tempat.
Sebagian besar pertemuan saya dengan Danarto terjadi di lingkungan TIM dan acara seni — sastra, teater maupun seni rupa — di tempat lain di Jakarta.
Bajunya tampak selalu putih, juga seluruh rambut kepalanya yang sering bertopi. Selalu ada pena terselip di sela kancing bajunya. Tulisan tangannya rapi dan artistik. Tawanya seperti selalu tertahan di mulutnya sehingga tambun tubuhnya tampak terguncang-guncang.
Suatu hari Danarto mengirimi saya sebuah pesan pendek. “Binhad, alamat posmu di mana?”
Saya membalas pesannya tanpa bertanya. Sekian pekan kemudian melalui paket pos saya menerima setumpuk lembaran-lembaran koran nasional –bukan kliping– yang memuat banyak tulisan bagus. Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri saat menerima kiriman setumpuk koran bekas dari Danarto itu.
Sekian tahun kemudian saya menemukan misteri di balik kiriman setumpuk koran bekas dari Danarto itu ketika seorang teman saya bercerita bahwa rumah Danarto bocor saat hujan. Saya tak tersinggung karena merasa menjadi “penitipan” koran bekas. Mungkin Danarto tak ingin bacaan berharga rusak sia-sia — meski sebagian besar lembaran koran bekas kirimannya saya sendiri telah punya.
Yang menyedihkan adalah pada tahun 2008 teman saya bercerita menemukan Danarto tertidur di sebuah warnet di daerah Ciputat. Kepalanya tertunduk dan matanya terpejam di hadapan monitor komputer.
Saya kemudian menerima kabar dari teman saya yang lain bahwa komputer pribadi Danarto rusak. Kabar absurd ini membuat saya gemetar, mata agak berkaca dan serasa cakar ayam mencakari hati saya.
Penyuka soto cakar ayam itu telah pergi hari ini setelah tertabrak kendaraan di Ciputat. Dia hidup sendirian. Saya membayangkannya menyeberangi jalan raya sendirian sebagai lelaki tua, tambun dan berkaca mata.
Saya mengenal Danarto sebagai orang yang peramah dan tak suka mengkritik. Wajahnya sumringah dan akrab.
Karya sastranya yang dipuji dan menjulang tak membuatnya tak sudi makan soto ayam di warung tepi jalan bersama penyair yang masih bau kencur.
Mendengar kabar kematiannya, dengan nama besarnya sebagai sastrawan, kenapa tak ada orang atau malaikat membantunya menyeberangi jalan raya agar tak ada kendaraan menabraknya?
Maafkan saya, Mas Dan…