Meski bukan film baru, “The Beatles: Eight Days a Week – The Touring Years” masih terasa kontemplatif disaksikan kembali. Satu film dokumenter yang pernah dirilis pada 2016 itu saat ini bisa ditonton di layanan KlikFilm. Menyaksikan kembali satu pengalaman berharga di masa swakarantina akibat pandemi korona.
Betapa tidak. Di film arahan Ron Howard — kita mengenalnya sebagai sutradara wahid, yang telah menghasilkan sejumlah film bermutu seperti Apollo 13 (1995), A Beautiful Mind (2001), dan Cinderella Man (2005) — historiografi kebesaran The Beatles, dinarasikan dengan luar biasa.
Di tangan sutradara yang telah memenangi dua Academy Award, via film A Beautiful Mind sebagai Sutradara dan Film Terbaik, itu parade keluarbiasaan The Beatles didongengkan dengan intim, penuh perasaan, berderak-derak sekaligus manusiawi.
Kisah tentang karir The Beatles selama tahun-tahun tur mereka dari tahun 1962 hingga 1966, dari penampilan perdana mereka di Cavern Club di Liverpool, hingga keliling di AS dan dipungkasi di San Francisco pada tahun 1966, digambarkan dengan apik.
Dalam The Beatles: Eight Days a Week kita bisa belajar, betapa menjadi bintang itu tidak segampang dan semudah awam menyaksikan kebintangan mereka dari jauh. Dibutuhkan pengorbanan yang tidak ringan, murah dan mudah. Bahkan masa remaja, masa pertumbuhan bisa terenggut, akibat kebintangan yang melenakan dan melelahkan.
Sampai akhirnya mereka muak, dengan siklus konser yang melelahkan. Dan memutuskan benar-benar mandeg konser sebagai The Beatles pada 30 Januari 1969.
Demikianlah yang dirasakan para personil The Beatles. John Lennon, Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr tidak pernah berpikir, kebintangan mereka melesat begitu cepatnya. Seperti laksana tahu-tahu mereka sudah sangat terkenal di antero AS, Eropa, Asia hingga Australia.
Padahal mereka semua masih remaja, baru melewati masa remaja. Anak kemarin sore masih bau pipis dari kota pekerja seperti Liverpool. Yang tempat bermain mereka adalah bekas sasaran bom Nazi Jerman di era perang dunia ke 2.
Tetiba, meminjam bahasa penyiar radio di AS, setelah tampil memukau di ABC Cinema, Manchester pada tahun 1963, menjadi epidemi bernama Beatlemania. Yang entah bagaimana, dapat membuat remaja putri yang menontonnya jejeritan tak keruan, karena penampilan apa adanya The Beatles di atas panggung.
Tentu saja, dalam film dokumenter berdurasi 97 menit ini, cerita tidak ujug-ujug dinarasikan meloncat ke AS, dari Inggris. Ada tahapan anak-anak muda itu harus ngamen terlebih dahulu ke Jerman. Tepatnya di kotan Hamburg. Menyeberang dengan kapal laut, dan bermain delapan jam per hari di sana.
Ngamen musik saat usia masih 17 tahun di tahun 1962, di kota paling nakal di dunia. Demikian dikatakan George Horison. Dari ngamen di Hamburg inilah, mereka acap saling bercanda, dengan mengatakan setelah ini (ngamen) ke mana selanjutnya. Ke puncak. Puncaknya mana? Puncaknya puncak. Mantap. Demikian Ringo Starr bercerita.
Setelah itu, perjalanan anak-anak muda ini seperti sirkus sekaligus parade yang melibatkan ribuan orang sebagai penontonnya. Setelah mudik ke Liverpool, di mana The Beatles menjadi band wajib para Liverpudian — fans berat klub sepakbola Liverpool. Merka mulai ngamen ke belahan Eropa lainnya.
Kali ini ke Swedia. Di Swedia sambutan publik tak kalah histerisnya. Publik di sana menyebut tampang Lenon tidak ada takutnya. McCartney imut, Ringo cuek dan Horison bikin klepekklepek. Saat itu, usia personil The Beatleas 19 tahunan.
Saat dalam sesi tanya jawab, seorang reporter radio bertanya, “Kenapa mereka (fans) jejeritan ngga keruan”. Lenon menjawab, “Ngga ngerti. Ini seperti main bola saja. Kalau ada mencetak gol pasti semua orang berpekik, ” katanya sekenanya.
Hal yang sama juga terjadi saat mereka mudik ke Liverpool, dan antrian tiket berjam-jam terjadi di tengah hujan deras. Saat pertanyaan sama diajukan oleh BBC Home Services.
Demikian halnya saat John F. Kennedy ditembak mati pada 1963, dan The Beatles memutuskan ngamen di AS di tahun itu, bukanlah keputusan yang gampang. Anak-anak muda tanggung ini saling berkata dan menguatkan diantara mereka, dengan mengatakan. “Kita tidak mungkin pergi ke AS dan pulang (ke Inggris) dengan membawa kegagalan.
Sejak saat itulah, lagulagu The Beatles menggema di seantero AS secara resmi. Saat single “I want to hold your hand, ” mengalun via radio. Setelah berhasil memantik perhatian di AS, The Beatles pada 1964 tampil di Olympia Paris, Prancis, sebelum akhirnya kembali tampil di AS, untuk tampil di New York.
“Siapa yang tidak mengenal New York dan AS, ” kata Lennon sebelum berangkat ke NY. “Kami bahkan merasakan New York sebelum mendarat di sana. Siapa yang tak kenal AS. Semua dari sana. Dari Marylin (Monroe), James Dean dan masih banyak nama lainnya,” imbuh Lennon yang tampak sedikit gentar dan polos saat itu.
Benar saja. Saat benar-benar mendarat di NY, dan puluhan wartawan mengerubutinya dalam sesi question and answer, pertanyaan tak dinyana menyergah mereka. “Anda dinilai tak lebih dari Elvis Presley dari inggris? “. Seketika, tanpa dikomando Ringo menjawab, “ngga bener itu, ngga bener itu, ” kata Ringo sembari menggerak-gerakkan badannya layaknya Elvis saat menyanyi. Yang tentu saja menernitkan tawa.
Demikian personil The Beatles menjawan pertanyaan pewarta. Nyantai, wajar dan sahaja. Sehingga makin membuat publik AS, jatuh hati kepadanya. Apalagi saat mereka tampil di Ed Sullivan Show. Penonton The Beatles di AS seperti mendapatkan pencerahan, dunia seperti bersinar. Demikian paling tidak kesaksian Whoopy Goldberg. Menurut komedian itu, kehadiran The Beatles yang berambut model mangkuk puding itu, menafikan warna kulit.
Selanjutnya, makin mendunialah The Beatles. Adagium lawas, yang mengatakan, siapa mampu menaklukkan AS akan menjinakkan dunia, benar adanya. Publik AS yang di mata Lennon, liar dan menggelikan itu, harus membuat mereka menggelar konser di 25 kota di AS dan Kanada.
Kehadiran The Beatlea di AS, sekaligus meneguhkan betapa pentingnya mereka dalam perjalanan negara AS. Sepenting kehadiran Mohammad Ali dan Perang Vietnam.
Bahkan Sigurney Weaver — kita mengenalnya sebagai aktris — bersaksi, kehadiran The Beatles di Jacksonville, Florida di Selatan AS, yang dikenal rasis. Mampu memberi warna tersendiri. Di mana kebijakan pemisahan penonton kulit hitam dan kulit putih galib terjadi, mampu didobrak The Beatles. “Ini manusia bukan binatang. Jadi tidak ada pemisahan penonton dalam konser kami, ” kata Mc Cartney.
Begitulah The Beatles yang bahkan turut mampu membelokkan perjalanan politik di AS. Bahkan jika anakanak remaja di AS saat itu ditanya, siapa idola mereka, cerita Weaver, pasti akan menjawab The Beatles, bukan orang tua masing-masing.
Dari sini kita, penonton menjadi bagian aktif dari Film The Beatles: Eight Days a Week – The Touring Years. Saat sirkus kehidupan dan jambore serta parade kegilaan pada sebuah masa dimainkan. Hingga akhirnya, para personil The Beatles merasa jengah dengan kebintangan dan kesohoran mereka. Karena sepanjang 24 jam sehari, selama tujuh hari, fans senantiasa menuntut kesediaan enerji mereka. Tidak ada “me time” di sana.
Apalagi saat konser mereka di Shea Stadion, NY berhasil menyedot 56.500 penonton, dengan kualitas sound system yang apa adanya. Pelan dan pasti mereka mulai payah dan lelah di atas panggung.
Bahkan pada tahun 1966, saat The Beatles manggung di Budokan, Tokyo, Jepang lalu ke Manila, Philipna, dan sempat menerbitkan kontraversi karena menolak undangan ibu negara Imelda Marcos datang ke Istana Negara. The Beatles sudah tidak bermain lagi dengan hati di atas panggung.
Sampai akhirnya, dalam sebuah wawancara di London, Lennon keceplosan dengan mengatakan, “Beatles lebih besar dan populer daripada Jesus”. Sehingga menerbitkan kemarahan publik di AS. Sampai menimbulkan gerakan boikot The Beatles di seantero AS. Dengan membakar semua produk yang berhubungan dengan The Beatles.
Yang memaksa Lennon, saat mendarat di Chicago mengoreksi katakatanya, sembari mengajukan perminta maafannya ke publik AS dan umat Kristiani, “Kami tahu sudah menghina Jesus. Tapi kamo bukan antiJesus, ” kata Lennon penuh penyesalan.
Sebelum akhirnya mereka menggelar konser pamungkas mereka sebagai grup di Candlestick Park, San Francisco pada 29 Agustua 1966. Ini adalah konser besar terakhir mereka. “Kami muak. Masa pertumbuhan kami terampas selama tur konser. Kami dipaksa dewasa meski belum pada waktunya, ” kata Lennon.
Setelah fase ini. Mereka memilih menjadi manusia dengan persolan kesehariannya. Berumah tangga, menikah dengan wanita pilihan masingmasing, dan tetap menghasilkam album yang dicatat sebagai salah satu album terbesar sepanjang sejarah manusia: Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club.
Yang dirilis pada 26 May 1967 di Inggris. Sebelum adegan dipungkasi dengan konser penghabisan The Beatles pada 30 Januari 1969, di rooftop studio mereka di London, Inggris. Sejarah selalu menciptakan kebesarannnya dengan cara ajaibnya. Sebagaimana The Beatles yang penuh keajaiban dan kontraversinya. Seperti sirkus kehidupan sebenarnya. (SI)