Setelah melakukan seleksi dengan sangat ketat pada 96 judul film nasional, yang beredar setahun ke belakang, Komite Oscar 2019 atau The Indonesian Academy Awards Selection Committee memilih dan menetapkan film “Kucumbu Tubuh Indahku” diterjemahkan menjadi “Memories of My Body” untuk mewakili Indonesia di ajang Oscar 2020.
Dengan demikian, film karya Garin Nugroho tersebut akan ikut serta berkompetisi di ajang 92-nd Oscars International Feature Film Award, tahun depan. Atau yang sebelumnya bernama The Oscars Foreign Language Film.
Sebagaimana dijelaskan Ketua Komite Oscar Indonesia, Christine Hakim, terpilihnya film yang diproduseri Ifa Isfansyah itu, berdasarkan beberapa pertimbangan. Di antaranya film produksi Fourcolours Films itu, ditimbang sangat artistik dan local content-nya sangat kuat sekali. Indonesia banget, untuk tidak mengatakan cita rasa Jawa-nya sangat kuat.
Film Kucumbu Tubuh Indahku, menurut Christine Hakim, menggunakan semua medium film yang ada. Hingga medium yang paling subtil, yaitu medium batin atau rasa, bukan hanya monolog dan dialog semata. “Intinya ada medium bahasa rasa dan visual yang sangat indah di film ini,” kata CH — demikian ia biasa disapa dalam sesi final penjurian di Jakarta beberapa waktu lalu.
CH menambahkan, Indonesia terlihat kaya sekali di film ini, dengan didiskripsikan dari sisi kebudayaannya. Bahkan adegan percintaan di film, dalam pandangannya, tidak digambarkan secara verbal dan kasar. “Tapi lewat bahasa simbol yang pas,” imbuh CH diamini anggota Komite Seleksi Oscar 2019.
Tahun 2019 ini, Komite Seleksi Oscar beranggotakan CH selaku Ketua, Sheila Timothy (sekretaris), Firman Bintang, Reza Rahadian, Mathias Muchus, Lola Amaria, Roy Lolang, Benny Setiawan, Adisurya Abdy, Fauzan Zidni, Benny Benke, Alim Sudio, dan Thoersi Argeswara.
“Tidak ada urusan lain, apalagi urusan politik dalam pilihan kami, kecuali estetika belaka,” tambah CH membulatkan suara anggota komite. Meski dalam prosesnya tetap ada dialog hangat dan ketat, antaranggota komite.
Menimbang pengalaman panjangnya terlibat di berbagai festival film berwibawa di dunia, terutama di Eropa, CH menekankan, bahwa setiap festival film mempunyai karakternya sendiri sendiri. Dan film Kucumbu Tubuh Indahku anggota Komite Oscar 2019 ditimbang sebagai film yang paling cocok untuk kategori International Feature Film Award atau Foreign Language di Oscar.
Dengan terpilihnya Kucumbu Tubuh Indahku sekaligus menyisihkan film Ave Maryam (Robby Ertanto), dan 27 Steps of May (Ravi Bharwani), yang menjadi pesaing beratnya. Setelah sebelumnya, juga menggugurkan film Bumi Manusia (Hanung Bramantyo), yang sempat masuk di posisi empat besar.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) Firman Bintang menjelaskan, PPFI sebagai institusi yang ditunjuk langsung panitia Academy Awards sebagai pelaksana Oscars International Feature Film Award di Indonesia, telah melakukan seleksi film Indonesia, sejak tahun 1987. Meski sayangnya dalam keikutsertaan Indonesia di ajang bergengsi itu, belum mencatatkan prestasi gemilang.
Selama penyelenggaraan Oscars International Feature Film Award, film Indonesia belum bisa berbicara banyak. Alasanya, karena berbagai faktor, salah satunya pendanaan.
“Oleh karenanya ke depan perlu dibentuk Komite Khusus Oscar, yang bertugas khusus mencari dana untuk film yang mewakili Indonesia. Agar nanti bisa diberikan kepada film yang mewakili Indonesia, sebagai bekal melakukan promosi di Hollywood,” jelas Firman Bintang.
Tugas Komite Khusus Oscar ini, imbuh dia, penting karena dibutuhkan figur di bidang pemasaran film lndonesia di ajang Oscar. Figur itu yang akan melakukan lobi dan membangun akses ke dalam panitia Oscar.
Tujuan akhirnya agar film Indonesia mendapat perhatian di ajang tersebut. Karena belanja iklan yang dibutuhkan di ajang sekelas Oscar memang tidak sedikit. Karena, setelah sampai di Hollywood, persoalannya bukan melulu estetika belaka. Ada bilangan nominal dolar AS yang tidak sedikit di sana, yang harus dibelanjakan.
Dengan menyediakan pos belanja yang “pas” dan sepatutnya, paling tidak film Indonesia terpilih itu, diharapkan bisa terstimulus masuk ke daftar 9 film unggulan atau short list yang dinominasikan. “Oleh karenanya, film terpilih itu, juga harus dibuat dengan memenuhi atau minimal mendekati kriteria penilaian juri Oscar, sejak dari pemikiran, ” tambah Firman Bintang.
Kucumbu.. akan bersaing dengan sejumlah film berkualifikasi lainnya dari berbagai belahan dunia. Seperti film Parasite dari Korsel yang baru-baru ini memenangi Palme d’Or di Cannes Film Festival 2019, lalu film animasi dari Jepang berjudul Weathering With You dan film dokumenter Finding Faredeh dari Iran, serta sejumlah film terbaik lainnya.
Sanggupkah Kucumbu...berbicara banyak di Oscar? Apapun itu, Garin Nugroho sangat berterima kasih atas pilihan anggota Komite Oscar 2019. Karena menurut dia, Komite Oscar 2019 sangat berani. “Ini pilihan yang sangat berani sekali,” kata Garin Nugroho. Segendang sepenarian, Ifa Isfansyah mengutarakan hal senada. “Salut untuk pilihan yang berani! Semoga film ini bermanfaat,” kata Ifa.
Ifa memang pantas bahagia dan berbangga. Setelah dua tahun lalu film Turah, yang juga diproduksi Fourcolours dipilih dewan juri Komite Oscar 2017, untuk mewakili Indonesia di ajang Foreign Language di Academy Awards 2018. Tahun ini, film Kucumbu Tubuh Indahku kembali ditunjuk anggota dewan juri Komite Oscar 2019, kembali mewakili Indonesia di kategori yang sama untuk gelaran Oscar 2020.
Apa yang membuat Ifa dengan Four Colours-nya begitu lihai menghasilkan film berkualitas, sehingga sampai dua kali ditunjuk mewakili Indonesia di ajang bergengsi sekelas Oscar? Berikut perbincangan saya (anggota Komite Oscar 2019) dengan Ifa, suami Kamila Andini, putri Garin Nugroho (sutradara Kucumbu Tubuh Indahku):
Setelah diputar di banyak tempat dan festival, dan yang terkini mendapatkan perlakuan kurang pas di Semarang, film Kucumbu…oleh Komite Oscar 2019 atau The Indonesian Academy Awards Selection Committee, dipilih mewakili Indonesia di ajang Oscar 2020? Apa komentar Anda sebagai produser film ini?
Yang pertama ini jelas keputusan yang berani dari komite seleksi. Saya sangat respect dengan keputusan ini. Bukan hanya karena saya produser dari film ini, tapi artinya komite seleksi sudah sangat terbuka dengan keberagaman tema dan ini penting sekali untuk perfilman Indonesia. Bahwa masyarakat masih belum siap, tentu hal itu wajar terjadi di negara seperti Indonesia. Tapi semoga ke depannya akan semakin biasa menyikapi perbedaan perspektif dan keberagaman.
Film ini banyak berbicara lewat bahasa simbol, tanpa mengurangi ketersampaian pesan yang ingin disampaikan. Penentuan bahasa simbolisme itu hak prerogatif sutradara atau hasil rembukan dengan tim? Bagaimana prosesnya?
Saat saya memutuskan menjadi seorang produser, saya ingin menjadi produser untuk project-project film yang “director’s driven”. Saya bukan produser yang memilih cerita kemudian memanggil sutradara untuk mengeksekusi berdasarkan visi saya. Harus merupakan visi sutradara, baik statement maupun visi kreatif. Saya mengikuti visi tersebut, memberi ruang, dan menghitung penyesuaian visi tersebut dengan investasi yang masuk akal. Karena bagaimana pun juga pada akhirnya tetap berpikir bagaimana cara mempertemukan film (statement) tersebut pada penonton. Jadi bisa dibilang 100% adalah visi sutradara, visi yang juga saya sepakati.
Dari mula isu yang diangkat dalam film ini beririsan dengan isyu LGBT, sebuah pilihan yang berjarak, bahkan berpunggungan dengan isyu umum masyarakat Indonesia. Meski justru menjadi isyu kesetaraan di mancanegara (Eropa/AS), bagaimana tim menyiasatinya.
Sebenarnya kami tidak pernah ada niat sedikit pun untuk membuat film LGBT. Maksudnya LGBT tidak kami letakkan di layer pertama diskusi atau pembuatan film ini. Kami berpicara tentang gender dalam hubungannya dengan budaya di Indonesia. Bahwa yang disebut sebagai LGBT itu sudah organik ada di dalamnya. Dan oleh karena itu film ini menjadi sangat penting bahwa isu tersebut bahkan sudah ada di fondasi budaya ini. Tergantung dari perspektif mana isyu tersebut dilihat. Banyak sekali yang hanya melihat dari permukaan dan langsung tidak setuju dengan film ini.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang dan dikirim ke panitia Academy, apa harapan Ifa kepada negara (Pusbangfilm, Kemendikbud) sebagai bentuk dukungan pada film ini agar total berkompetisi di Oscar?
Saya sangat berharap sekali film ini tetap terus dianggap sebagai film Indonesia yang mewakili Indonesia di ajang Oscar 2020. Karena yang seringkali terjadi, saat film tersebut dipilih sebagai film Indonesia, tapi setelah terpilih diserahkan begitu saja kepada produser atau individu pemilik film untuk berjuang sendirian.
Mengkampanyekan film tersebut di academy awards bersaing dengan 90 film berkualitas yang lain. Sudah saatnya pemerintah tidak hanya membentuk tim pemilih, tapi juga tim promosi sekaligus dengan dukungan pembiayaannya, karena ini merupakan kepentingan kita bersama, bukan hanya kepentingan pribadi pembuat film.
Di tahap ini saya sudah bekerja sama dengan publicist di LA dan sudah ada plan yang jelas tentang rencana promosinya. Sudah saya sampaikan juga ke Pusbang Film dan Bekraf semoga bisa didukung secara maksimal.
Ini adalah film kedua Fourcolours setelah Turah yang menang dan juga dikirim ke ajang yang sama. Ada ramuan khusus Fourcolours membuat film, sehingga acap merajai sejumlah festival film?
Kami tidak pernah membuat film untuk memenangkan awards dan sebagainya. Tapi mungkin karena kami selalu membuat film yang director’s driven. Statemen dan voices sutradara menjadi sangat penting untuk disuarakan. Dan suara-suara tersebut menjadi susah sekali terdengar jika dibenturkan dengan kepentingan bisnis/material.
Saat visi sutradara diletakkan di layer pertama, suara di dalam film tersebut menjadi lebih jujur dan terdengar. Dan di situlah kekuatan film muncul. Kami senang sekali bisa membantu menyuarakan suara-suara sutradara tersebut, baik bakat-bakat baru seperti Wicaksono Wisnu Legowo (film Turah) maupun sutradara veteran seperti Garin Nugroho (Kucumbu Tubuh Indahku). (SI)