Sedang Membaca
Umar Kayam: Makanan dan Matematika
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Umar Kayam: Makanan dan Matematika

Fb Img 1579249227140.jpg

Umar Kayam, pengarang bertema makan(an). Ia rajin berbagi dengan kata-kata. Ia mahir bercerita memuliakan makanan. Bahasa untuk bercerita itu memunculkan penghormatan atas peran-peran pembantu di rumah, pedagang, leluhur, dan lain-lain. Di rumah dan pelbagai tempat, Umar Kayam menjadikan makan itu ejawantah kenikmatan, kebersamaan, hiburan, dan kehormatan.

Warisan masih bakal terus dibaca berupa buku berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990). Halaman demi halaman dalam buku memberi rangsang pembaca untuk “makan cerita” dan menikmati makanan di pelbagai tempat. Umar Kayam tak ingin persitiwa makan sia-sia atau terlupa. Tulisan ingin mengekalkan. Tulisan memicu imajinasi lapar. Pembaca berharap khatam dan menuntaskan lapar.

Umar Kayam memberi sodoran “ketetapan” dianut orang-orang Jawa dalam urusan makanan: “Jadi dari sudut gizi, gudeg itu nyaris tidak berarti. Ia termasuk makanan yang overovercooked alias sangat terlalu lama dimasak sehingga menguap sari-sari vitaminnya. Tetapi, apakah masakan asli kita pernah sangat peduli tentang vitamin? Lodeh, sambel goreng ati dan pete, opor, oblok-oblok, abon bukankah tidak terlalu menggubris akan kesegaran vitamin? Yang penting eca, lezat, nyuus.” Umar Kayam tetap saja bersantap beragam makanan, mengajak keluarga dan teman-teman.

Sejak puluhan tahun lalu, Umar Kayam biasa berucap mengenai makanan. Tulisan-tulisan terus bermunculan tetap berurusan makanan. Tulisan-tulisan mengesahkan Umar Kayam sebagai “pemikir” atau “pencerita” pangan. Predikat itu membuat para pembaca kangen membaca novel, cerita pendek, dan esai suguhan Umar Kayam. Di Indonesia, rombongan tulisan itu memastikan makanan bersekutu dengan kata-kata.

Baca juga:  Mesir Pernah Bersinar, Jepang pun Datang Belajar

Di majalah Selera edisi Maret 1984, Umar Kayam memberi keterangan agak mengejutkan: “Dua daerah (Jawa dan Padang) itulah yang saya rasa paling menonjol. Namun, saya cenderung berpendapat bahwa masakan Jawa lebih dikenal dan meluas di seluruh Indonesia. Ini karena apa? Pada umumnya, dapur orang Batak, Manado, Minang sekalipun, dihuni pembantu-pembantu rumah tangga yang berasal dari Jawa. Sedikit banyak sentuhan Jawa pada masakan di daerah lain, bukan suku lain, selalu ada.” Keterangan mengacu pengamatan dan pengalaman. Umar Kayam tak sedang membual. Ia menempatkan pembantu rumah tanggap dalam posisi tebar pengaruh masakan.

Kita mulai berpikiran tentang pembantu rumah tangga. Di perkuliahan, para mahasiswa ingat dan mengerti kebiasaan Umar Kayam meminta pengisahan pembantu rumah tangga. Para mahasiswa biasa kebingungan dalam bercerita gara-gara tak mengetahui nama lengkap, kampung asal, kebiasaan, dan lain-lain. Umar Kayam sebagai dosen menginginkan para mahasiswa menghormati dan akrab dengan pembantu rumah tangga. Sikap untuk mengerti hidup dan makanan. Mahasiswa pun diajak menerapkan pengetahuan-pengetahuan diperoleh di universitas. Pengetahuan meninggikan derajat makanan-makanan, tak sekadar urusan mulut dan perut.

Umar Kayam memuji dan menghormati pembantu rumah tangga. Penghormatan tak melulu makanan. Pada 1981, terbit Pengakuan Pariyem gubahan Linus Suryadi AG. Buku mencantumkan keterangan: “prosa lirik untuk Umar Kayam”. Linus mengisahkan pembantu rumah tangga di Jogjakarta. Pembantu paham situasi rumah, “penentu” nasib perut keluarga. Ia “berkuasa” di dapur dan menjadikan meja dihuni sekian makanan.

Baca juga:  Pesantren di Mata Rendra

Pariyem bercerita: Kini, hari jam 6.30 pagi/ Kerja suntuk sudah saya lalui/ Kopi, nasi goreng, dan telor ceplok/ sudah siap-sedia di meja makan/ Tinggal saya menggarap isi rumah/ dengan serbet dan air, ngepel. Ia menunaikan kerja setiap hari, mengubur keluhan dan berharap segala peristiwa itu kebaikan. Ia memilih berkah. Ritual terpenting di dapur. Ia mewajibkan diri bisa meladeni keluarga majikan agar bisa bersantap dengan bahagia. Makanan itu keutamaan.

Kita mengikuti lagi kebiasaan Pariyem: Pagi sudah menjelang siang/ Jam 11.00 tanda tatrap masak:/ Saya pun menyat menuju ke dapur/ nanak nasi dan masak sayuran/ sedang dengung jam Westmeinster/ masih tersisa bergaung-gaung. Pariyem, perempuan asal desa bekerja di keluarga (priyayi) di kota. Pembaca tak mendapat konflik-konflik seru mengenai makanan. Mereka mengerti beragam jenis masakan. Kiblat utama tentu Jawa.

Dua buku garapan Umar Kayam dan Linus Suryadi AG mengajak kita menempuhi halaman-halaman mengenai makanan. Kita pun berjumpa pembantu rumah tangga. Keluarga bakal bahagia dan puas bila masakan-masakan sesuai selera (bersama). Pembantu rumah tangga belajar beragam hal dan kepekaan dalam melegakan kemauan makan. Ia mula-mula memikirkan masakan tapi perlahan mengerti watak dan pengetahuan (kuliner) di keluarga majikan.

Di negara berbeda, kita membaca cerita mengenai majikan tak terlalu menggubris makanan. Ia disapa profesor. Di rumah beralamat di Jepang, ia hidup dalam pikat matematika. Pembantu atau pengurus rumah tangga menjamin tersedia makanan setiap hari demi kesehatan dan kekuatan berpikir profesor.

Baca juga:  Memperbanyak Kader ala Gus Dur

Pengurus rumah tangga itu berbagi cerita: “Aku membuat sup krim untuk makan malam, dengan sayuran dan protein yang bisa dia santap hanya dengan menggunakan sebuah sendok. Agar dia bisa makan tanpa harus memisahkan tulang-tulang atau cangkang. Tata kramanya di meja makan tidak bagus, mungkin karena dia kehilangan orangtuanya pada usia yang sangat muda. Dia tidak pernah mengucapkan doa syukur sebelum mulai makan, dan dia menumpahkan makanan hampir setiap kali menyuap.” Profesor sudah tua dan bermasalah dengan ingatan.

Pengisahan terbaca dalam novel berjudul The Housekeeper & the Professor (2016) gubahan Yoko Ogawa. Pengurus rumah tak terlalu bermasalah dengan masakan. Ia justru berusaha menanggapi dan memberi penghormatan besar atas keunikan-keunikan profesor. Selama bekerja di rumah profesor, pengurus atau pembantu rumah tangga malah “diajari” matematika. Percakapan mereka tak terikat makanan tapi matematika. Pembaca mengira profesor mementingkan matematika ketimbang makanan. Tokoh terpenting justru pengurus rumah tangga. Ia berada dalam situasi menegangkan untuk bekerja dan “terjerat” matematika.

Di Jepang, penokohan pembantu rumah tangga dalam novel seperti “belokan jauh” dari kebiasaan para pengarang di Indonesia mengajukan tokoh pembantu rumah tangga dalam cerita pendek dan novel. Memasak tetap peristiwa terpenting. Novel dari Jepang itu seperti memberi “pelengkap” atau “belokan” bahwa ada gejolak keilmuan dalam mengalami hari-hari bekerja untuk majikan. Begitu.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top