Pada masa lalu, orang-orang mengingat Grafiti itu buku. Penamaan pernah agak membingungkan: Grafitipers dan Pustaka Utama Grafiti. Kita mengingat saja Grafiti. Buku-buku terbitan Grafiti sering diiklankan dan diresensi dalam majalah Tempo. Kebijakan berdasarkan mufakat “keluarga”. Mereka memang “serumah”.
Logo mengesankan Grafiti: pena. Logo bertahan lama. Kita melihat logo lekas mengingat buku-buku bermutu. Dulu, orang-orang mengemari buku-buku edisi terjemahan bahasa Indonesia terbitan Grafiti. Sekian disertasi dan buku sejarah garapan sarjana asing diterbitkan Grafiti, membentuk selera keintelektualan sulit ditandingi penerbit-penerbit lain.
Grafiti tak cuma penerbit buku. Di majalah Tempo, 21 November 1987, iklan mengenai toko buku bernama Grafiti. Foto bangunan toko ditampilkan, sederhana dan anggun. Nama dipasang berukuran besar. Logo digunakan sama dengan logo untuk penerbit.
Pengumuman: “Sekarang, ada kami di Kelapa Gading Permai.” Tempat beralamat di Jakarta. Pengumuman bagi orang-orang tinggal di Jakarta. Toko buku di perumahan. Kita berimajinasi perumahan itu padat dan ramai. Para penghuni menggandrungi buku. Kehadiran toko buku tentu membahagiakan.
“Toko Buku Grafiti dipersembahkan oleh grup majalah Tempo”, tulis dalam iklan. Kita makin mengerti majalah itu bermisi besar menggirangkan Indonesia dengan buku-buku.
Keterangan menggoda dari pengiklan: “Tempat berbelanja buku yang mudah-mudahan bisa memenuhi kebutuhan Anda sekeluarga: kecil namun lengkap, sederhana namun akrab. Berada di wilayah perumahan modern yang mudah dikunjungi dari arah mana pun Anda berangkat, terutama bagi yang tinggal di Rawamangun, Kayu Putih, Pulo gadung, dan sekitarnya.” Pembukaan bisnis berupa toko buku mengharuskan paham geografi. Alamat menentukan untung dan rugi. Keberanian mengadakan toko buku di perumahan, bermaksud menghadirkan bacaan berbarengan orang-orang merasa suntuk, sumpek, murung, lelah, dan gerah menjadi penghuni kota.
Bujukan seperti ingin membuat perbandingan setelah orang-orang mengetahui ada sekian toko buku terkenal di Jakarta. Deret kata minta dibuktikan: “Tak perlu lagi ke tempat lain yang jauh….” Pembeli buku dan toko buku dimengerti dalam jarak.
Pada masa Orde Baru, bisnis toko buku cukup ramai tanpa dijanjikan untung besar. Keramaian toko sering berurusan dagangan buku pelajaran dan buku kuliah. Rezim menghendaki jutaan orang “cerdas” dengan membaca buku-buku menentukan nilai, kenaikan kelas, dan kelulusan.
Kabar berbeda kita ketahui dalam majalah Tempo, 17 Februari 1990. Toko Buku Grafiti berada di Slipi Jaya Plaza, Jl S Parman, Slipi, Jakarta Barat. Toko (mungkin) pindah alamat, setelah berusaha mencari peruntungan di Kelapa Gading Permai. Sangkaan lain, pembukaan toko buku di pelbagai tempat untuk memanjakan publik ketagihan buku.
Pengumuman melibatkan pelbagai pihak, membenarkan “selamat dan sukses”. Di deret pemberi ucapan, kita membaca: Penerbit Erlangga, Rajawali Pers, PT Intermasa, dan Andi Offset. Kita mengenali mereka itu penerbit buku-buku diakrabi para pembaca di Indonesia.
Pengumuman dua halaman mengesankan keseriusan mengisahkan Indonesia melalui toko buku. Tahun-tahun berlalu, orang-orang perlahan tak mengetahui berita dan cerita Toko Buku Grafiti. Kita menduga toko buku berakhir berlatar situasi politik tak keruan, 1998-1999.
Kini, kita mengenang saja tapi belum mengetahui album penjelasan dan pengisahan mungkin termiliki orang-orang sering mengunjungi Toko Buku Grafiti. Kita pastikan, pengumuman toko buku dua alamat tercatat dalam sejarah (bisnis) perbukuan di Indonesia. Masa lalu toko buku itu berjurus “namun”. Begitu.