Pada suatu masa, Lebaran adalah menonton siaran ulang Srimulat di televisi. Sekian hari, orang-orang di televisi terhibur: tertawa sampai lapar. Makanan di atas meja dihabiskan untuk mendapatkan energi. Menonton lagi! Pagi, siang, sore, dan malam: Srimulat. Menonton televisi membikin lapar setelah tertawa 136 kali.
Pada kenangan berbeda, Lebaran dinikmati dengan sajian ketoprak humor. Tertawa. Waduh, Lebaran bermakna tertawa! Jutaan orang di depan televisi sebagai jemaah tertawa. Penetapan nostalgia Lebaran itu lucu dikuatkan dengan pemutaran film-film Warkop DKI. Lebaran milik Dono-Kasino-Indro ditemani sekian perempuan cantik dan bahenol. Semua itu sering tampil di stasiun-stasiun televisi partikelir. Masa orang-orang mengartikan Lebaran bersama Indosiar, RCTI, SCTV, dan lain-lain.
Sekian tahun, TVRI “kalah” dalam garapan dan suguhan acara-acara Lebaran. Pada abad XXI, TVRI tak lagi memiliki “kemenangan” seperti puluhan tahun lalu. Para leluhur kita mengingat Lebaran itu operet di TVRI. Ingat operet, ingat Titiek Puspa. Sejak 1972, operet di TVRI ingin mencipta hiburan bagi penonton. Tahun demi tahun, operet dikerjakan oleh Papiko (Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota) dengan pimpinan Titiek Puspa. Kita tak memiliki masa lalu duduk atau tiduran sambil menikmati operet di TVRI.
Di Tempo, 6 Mei 1989, kita membaca “perubahan” atau “perbedaan” kebijakan TVRI. Operet Lebaran masih dibuat dan disiarkan tapi digarap oleh Grup Patria (Pengayom Artis Parahiangan). Musik dikerjakan oleh Harry Roesli. Oh, kita berimajinasi musik pasti mbeling atau lucu. Di sejarah musik Indonesia, Harry Roesli itu ada di halaman tak biasa. Penonton jeda dari corak-corak rutin dibuat oleh Titiek Puspa dan teman-teman. Pada 1989, orang-orang menikmati operet Lebaran bertema dan bernuansa desa. Kita simak di berita: “… operet ini akrab dengan suasana pedesaan. Bukan saja ratusan figurannya orang-orang desa, tetapi artis-artis pendukungnya menghayati benar kehidupan di desa, termasuk kehidupan sosial keagamaannya.” Duh, para penonton mulai jenuh dengan kota!
Operet lucu tapi ingin berbagi pesan religius. Para artis pendukung sudah dikenal publik adalah Tri Utami dan Atiek CB. Ongkos pembuatan operet murah: 20 juta rupiah. Operet itu memberi kritik tentang godaan hidup di kota. Penonton diharapkan paham: “desa menjanjikan kehidupan yang lebih tenteram.” Pada masa lalu, TVRI itu memberi tontonan menghibur dan berhikmah bagi jutaan orang di Indonesia, sebelum muncul godaan-godaan baru: RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, dan lain-lain. Pada masa 1990-an, Lebaran memuat rebutan acara televisi. Bapak, ibu, dan anak belum tentu gampang mufakat dalam menentukan pilihan acara di televisi. TVRI jarang terpilih.
Sekian tahun, operet Lebaran memunculkan ketokohan Titiek Puspa. Selingan pernah terjadi dengan penggarapan oleh Bimbo. Pada saat Titiek Puspa tak mengerjakan operet, dimuatlah berita kecil di Tempo, 22 September 1979. Penjelasan Titiek Puspa: “Bukan bosan. Seumpama makanan, menunya kali ini berbeda. Juga agar jangan timbul kesan bahwa Papiko memonopoli acara demikian.” Titiek Puspa, artis kondang dan berpengaruh di Indonesia. Di panggung, ia bersenandung. Titiek Puspa pun tampil dalam iklan-iklan dimuat di pelbagai majalah. Selama puluhan tahun, Titiek Puspa selalu dalam berita dan pergosipan.
Para leluhur memiliki nostalgia bahwa Lebaran itu menonton operet di TVRI. Kini, kita Lebaran di rumah. Kita tak bisa memesan acara untuk disiarkan di televisi. Kita terpaksa berada di depan televisi atau memilih duduk di serambi: melamun diselingi tertawa gara-gara merasa lucu mengalami Lebaran tanpa bepergian. Begitu.