Ramadan itu suara-suara berasal dari masjid. Muadzin melantunkan adzan dengan teknologi suara. Para pengkhotbah memberi suara berlari jauh sampai ke rumah-rumah di sekitar masjid. Alat pengeras atau pelantang suara menjadikan tausiah dan pengajian tak cuma bagi orang-orang di dalam masjid.
Pengurus masjid berseru keras melalui teknologi suara agar umat lekas bangun dini hari untuk sahur. Lagu-lagu rohani dan lantunan Alquran kadang diputar agar umat berkenan menikmati meski dengan suara keras. Agama adalah urusan teknologi suara. Kini, suara-suara berasal dari mesin dan alat-alat teknologi di masjid.
Kita malah teringat esai di Tempo edisi 20 Februari 1982. Esai itu berjudul ‘Islam Kaset’ dengan Kebisingannya garapan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Judul agak mengejutkan dan memicu penasaran. Halaman itu memuat ilustrasi mengandung kritik: kaset di atas bantal. Alinea keempat berisi kalimat-kalimat mengacu realitas di Indonesia:
“Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Al Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih terasa akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?”
Barangkali Gus Dur sedang menantang pembaca agar memberi pandangan kritis beragumentasi: mendakwa kegandrungan para pengurus masjid mengadakan kaset bermaksud dakwah dan ibadah.
Urusan penting tak melulu ke kaset tapi otoritas para pengurus masjid. Kita menduga tugas pengurus masjid adalah memutar kaset dan mengeraskan suara agar terdengar di telinga-telinga.
Gus Dur mengajak kita bersikap atas “kebijaksanaan suara lantang di tengah malam” dan tugas kaset. Dulu, polemik itu meredup tanpa ada keputusan-keputusan penting. Di masjid-masjid, koleksi kaset terus bertambah. Alat pengeras suara tetap ada di atas atap masjid dan menara.
Di masjid, kita biasa menemukan ada ruangan di sebelah imam berisi alat-alat elektronik bercap teknologi suara. Di kamar, kaset-kaset bertumpuk. Pengurus masjid bisa memutar kaset mengaji Alquran, ceramah para ulama, dan lagu-lagu rohani.
Indonesia pernah memiliki masa subur kaset berkaitan agama. Pada masa 1980-an, acara ceramah agama di radio mendapat perhatian umat. Mereka mempersiapkan diri agar bisa mendengar demi pembelajaran agama. Sekian ceramah mungkin tak bisa diikuti berkaitan waktu dan pekerjaan. Umat tak usah bersedih. Kaset menjadi jawaban.
Di Jakarta, acara kuliah subuh oleh Hamka melalui RRI mendapatkan jutaan pendengar. Dakwah di radio memberi faedah keterjangkauan. Pilihan berceramah di studio radio memang menentukan pengaruh dan tingkat keberhasilan dakwah. Hamka tak menolak tenologi meski terbiasa berceramah di masjid atau ruang-ruang publik.
Di studio, Hamka memberi kuliah subuh, tak berhadapan dengan orang-orang seperti saat di masjid. Kehadiran umat itu terimajinasikan. Mereka berada di pelbagai tempat. Siaran radio memungkinkan orang di pelbagi tempat terhubung menjadi pendengar suara Hamka.
Acara kuliah subuh menghasilkan kaset. Semula, publik mengenali Hamka adalah penulis dan penceramah. Produksi kaset menambahi pengenalan tentang Hamka melalui rekaman suara. Orang-orang mulai melihat kaset-kaset bersampul wajah Hamka.
Di majalah Panji Masyarakat edisi 11 September 1983, halaman sampul sisi dalam memuat iklan: “Masih tersedia! Kaset-kaset kuliah subuh oleh Buya Prof. Dr. Hamka. Terdiri dari lima volume.”
Rekaman kuliah subuh memuat tema-tema cinta (mahabbah), cemburu (ghirah), kejujuran, haus, hidup sesudah mati, kemanisan iman, dan hati manusia. Kaset-kaset diproduksi demi berdakwah. Orang-orang bisa memesan kaset ke Penerbit Pustaka Panjimas, beralamat di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta.
Dakwah tak cuma disampaikan melalui buku dan majalah. Kaset telah muncul sebagai alat berdakwah, mengajak telinga-telinga umat mendengar ceramah agar meningkatkan pengetahuan agama.
Kaset-kaset Hamka berisi ceramah, bermisi dakwah dan ajakan meningkatkan ibadah. Kita agak membedakan faedah kaset ceramah dan kaset mengaji Alquran dalam tulisan Gus Dur. Penggunaan atau pemutaran kaset mengaji Alquran di masjid mengandung kesan tak ada lagi orang mau mengaji secara langsung di masjid.
Para ulama sering menganjurkan agar orang-orang mengaji Alquran untuk meningkatkan iman dan takwa pada bulan Ramadan. Peristiwa membaca Alquran juga berpahala.
Pilihan mendelegasikan ke kaset mungkin berdalih efektif dan “penggampangan” meski agak menimbulkan dilema tentang pahala. Keputusan pengurus masjid memutar kaset agar orang-orang bangun untuk beribadah rawan pemaksaan. Kaset tampak bertugas mengajak orang beribadah.
Barangkali tugas itu berlebihan. Agama pun pantas diperkarakan saat memilih teknologi suara dan menjadikan masjid sebagai sumber sebaran suara. Begitu.