Tulisan dinamakan resensi kadang gerombolan kalimat memuji. Pembahasan mengenai buku dan penulis dimaksudkan mengesahkan pujian berdampak orang-orang mau membeli dan membaca buku. Pamrih lumrah tak perlu mengharamkan bila terbantah.
“Indonesia memerlukan sebuah buku yang sangat besar, tapi hal itu tak mungkin ditulis orang,” kalimat pembuka dalam resensi Goenawan Mohamad. Resensi dua halaman dimuat di Tempo, 24 Agustus 1985. Resensi berjudul apik: “Sebuah Pertanyaan dari Pedalaman yang Berubah.”
Pada 19 April 2022, Kromoleo (Buldanul Khuri) di media sosial mengabarkan: “Kangen dengan munculnya buku-buku semacam ini.” Orang-orang pun melihat foto buku berjudul Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya. Buku ditaruh di rak, bergaul dengan beragam buku. Kabar dan pamer buku mendapat perhatian ratusan orang. Kromoleo itu “utusan” di Indonesia untuk mendakwahkan buku. Kabar pun berpahala.
Durjana turut melihat sekian kata dan foto buku. Sekian tahun berlalu, Durjana jarang melihat buku itu saat berbelanja di sekian pasar buku loak. Buku mungkin langka. Buku termiliki orang-orang pilihan, termasuk Kromoleo.
Pada suatu hari, Durjana membeli dan memiliki buku pernah teridamkan gara-gara membaca resensi di Tempo. Ia mulai dari resensi. Penantian agak lama untuk bertemu buku. Dulu, buku dibeli dengan harga terjangkau, tak sampai selembar warna merah. Buku tak mulus. Di sekian halaman, kotor dan bekas jamuran.
Buku terbaca setelah sekian tahun menikmati novel, cerita pendek, dan esai buatan Umar Kayam. Telat! Durjana telat menemukan dan khatam Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya. Buku berhikmah terbitan Gramedia (1985). Buku ditulis dengan anggaran besar dan penerbitan buku diinginkan istimewa. Buku berhasil di pangkuan Durjana meski kotor dan rusak.
Buku pernah membikin cemburu. Persekutuan teks dan foto. Di tatapan mata, halaman-halaman buku menggoda bagi pembaca sering dalam posisi bersila. Buku agak merepotkan di tangan saat berbaring. Ukuran buku itu besar. Durjana di belakang Goenawan Mohamad dan Kromoleo. Mereka sebagai pembaca duluan. Durjana minder saja.
Di resensi, Goenawan Mohamad mengesahkan buku itu unik. Di ujung resensi, terbaca: “Sebab, Semangat Indonesia sebenarnya adalah sebuah fragmen mawas diri.” Kita mengangguk saja dengan tulisan dinamakan resensi oleh sahabat Umar Kayam.
Durjana telat membaca, tak ada niat membuat resensi. Durjana paham dengan isi buku. Kemauan menulis Indonesia melalui perjalanan pasti membutuhkan duit sekarung dan restu politik. Buku terbit mengikutkan tulisan klise pejabat, Durjana membaca kata pengantar Nugroho Notosusanto, sosok penting dalam lakon Orde Baru. Pengarang dan menteri itu menulis: “Identitas kebudayaan, sama halnya dengan budaya itu sendiri, dinamis sifatnya. Diharapkan ia akan berkembang sejajar dengan masyarakatnya, dan juga tumbuh, berkembang, serta berubah terus-menerus.” Kalimat apik dan bermutu khas Orde Baru.
Teks ditulis Umar Kayam berbeda rasa dari esai-esai pernah terbaca Durjana. Buku itu utuh. Si penulis sadar harus membuat jalinan-jalinan. Umar Kayam menjelaskan: “Buku ini juga memusatkan perhatiannya kepada rakyat baik sebagai pencipta, pendukung maupun sebagai penyambung lidah kesenian tradisional dalam mengembangkan siasat mereka untuk merangkul perubahan. Untuk mencapai keinginan itu semua, saya telah menjelajah hampir seluruh kepulauan kita dan mengunjungi berbagai kota dan desa mengobrol dengan berbagai lapisan masyarakat, mengamati kesenian serta upacara mereka dan bahkan minta pertunjukan-pertunjukan khusus dimainkan.”
Umar Kayam menjelajah dengan segala hasrat dan lelah. Durjana cuma membaca, malu bila memberi kritik atau sindiran. Durjana tak pernah menjelajah dan gagal membahasakan beragam hal secara memikat.
Durjana menjadi pengikut hasil bacaan orang-orang saja. Ia beruntung bertemu lagi tanggapan atas Umar Kayam dan buku saat membaca majalah Jakarta Jakarta, 17-31 Mei 1985. Di situ, foto hitam-putih berukuran besar di bawah judul tulisan: “Kresna Gugah”. Foto pengarang tenar di Indonesia: Umar Kayam. Delapan halaman digunakan untuk nukilan dari buku mau diterbitkan Gramedia: Juni 1985. Nukilan mendahului terbitan buku. Orang-orang digoda menikmati nukilan, berlanjut menjadi pembeli dan pembaca buku penting. Pada abad XXI, Durjana belum pernah mendapat berita bila buku itu cetak ulang. Begitu.