Sedang Membaca
Sajak-sajak Gus Mus dan Pengisahan Indonesia
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Sajak-sajak Gus Mus dan Pengisahan Indonesia

Dua tokoh mengingatkan kita pada lakon pembelaan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Tokoh bernama Yap Thiam Hien (25 Mei 1913-24 April 1989), dijadikan nama penghargaan HAM. Tokoh bernama Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus menjadi penerima Yap Thiam Hien Award  2017.

Penghargaan bagi tokoh berpengaruh dalam arus pemuliaan HAM saat Indonesia mengalami pelbagai kisruh berlatar politik, agama, ekonomi, sosial, pendidikan, dan kultural. Hak asasi manusia adalah keutamaan untuk menjadikan konstitusi tegak di Indonesia dan memberi kedamaian bagi jutaan orang.

Pengisahan hak asasi manusia  di Indonesia tak mungkin meluputkan nama Yap Thiam Hien Selebrasi HAM pada masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto turut dipengaruhi suguhan argumentasi Yap Thiam Hien atas sekian peristiwa politik, sosial, ekonomi, kultural.

Yap Thiam Hien pun membuat tindakan-tindakan kontroversial di mata penguasa. Pembelaan dan penghormatan HAM memang mengandung risiko. Yap Thiam Hien tak gentar menanggung hujatan atau hukuman.

Pada masa lalu, Abdurrahman Wahid (1979) pernah mengabarkan pesimisme selebrasi HAM di Indonesia:

“… masalah hak-hak asasi manusia semakin lama semakin menjemukan untuk diperbincangkan di negara-negara sedang berkembang.”

Penguasa otoriter dan nalar ekonomi-kapitalistik menempatkan HAM cuma  catatan kaki pembangunan nasional. HAM berada di pinggiran titian menggapai ilusi kemakmuran dan kesejahteraan. Dominasi dan diskriminasi berlaku tanpa penghormatan HAM. Yap Thiam Hien berada di situasi pelik. Agenda-agenda HAM justru rawan tuduhan tindakan subversif.

Pengetahuan dan amalan HAM memang belum meresap utuh ke benak penguasa dan rakyat. Sebaran dalil-dalil HAM dan adu tafsiran di Indonesia cenderung dirancukan imperatif-imperatif penguasa berdalih UUD 1945 atau Pancasila. Pengaburan gagasan HAM semakin menjauhkan penguasa dari adab berpolitik.

Baca juga:  Gus Dur Kanak-Kanak Tumbuh dengan Buku

Fransisco Budi Hardiman (2011) menganggap dilema amalan HAM di Indonesia memiliki dua dalil besar: kecurigaan poskolonial bahwa hak-hak asasi manusia adalah konsep Barat dan pelbagai kalangan masih menganggap bahwa hak-hak asasi manusia bertentangan dengan agama.

Nama dan cerita itu dipertemukan dengan tokoh berpengaruh bernama Gus Mus. Orang-orang mengenali sebagai ulama, pujangga, pelukis, esais, dan perajin humor. Sekian sebutan menggamblangkan kemauan Gus Mus turut dalam pemuliaan HAM di Indonesia.

Ikhtiar membela HAM memang tak melulu di  jalur hukum atau politik. HAM pun pantas diwartakan-diceritakan melalui gubahan puisi. Kata-kata bergelimang makna berupa puisi tentu turut memberitahu ke publik mengenai masalah dan kesanggupan mengartikan HAM, penghindaran dari penodaan nilai-nilai kemanusiaan dan penciptaan hidup bersama dalam damai.

Kita ingin mengutip ulang puisi Gus Mus di buku puisi Pahlawan dan Tikus (2005). Gus Mus menulis puisi berjudul “Di Negeri Amplop”, berisi getir Indonesia. Puisi mengingatkan wabah korupsi: Di negeri amplop/ Amplop-amplop mengamplopi/ apa dan siapa saja. Daftar koruptor terus bertambah, menghinakan dan menistakan Indonesia. Amplop menjadi simbol gamblang atas keberlangsungan korupsi di Indonesia.

Di mata Gus Mus, pesta korupsi para elite turut jadi penentu dari keruntuhan agenda-agenda HAM dan kegagalan memberi teladan amalan HAM demi kebahagiaan bersama. Puisi-puisi disodorkan Gus Mus dalam menilik dan mengusahakan penjelasan kritis atas situasi Indonesia.

Gus Mus memberi penjelasan atas pelbagai gubahan puisi menurut derajat kepahaman publik. Puisi dibedakan menjadi puisi remang-remang, agak terang, terang, terang-terangan, dan penerang. Gus Mus tak gentar mempersembahkan puisi bergelimang kritik demi nasib Indonesia. Kritik Gus Mus dalam puisi berjudul “Negeriku”, mengarah ke pengisahan tragis Indonesia:

Baca juga:  Buku Menjerat Gus Dur: Oligarki yang Tak Pernah Usai

negeriku menumbuhkan konglomerat/ dan mengikis habis kaum melarat/ rata-rata pemimpin negeriku/ dan handai taulannya/ terkaya di Indonesia.

Anggapan Indonesia adalah negeri kaum melarat mendapat “sangkalan” oleh arogansi kaum konglomerat. Puja uang dan harta melanda Indonesia, menguak ketakberesan ejawantah kebijakan politik dan ekonomi. Sindiran Gus Mus:

rakyat-rakyat kecil menyumbang/ negara tanpa imbalan/ rampok-rampok diberi rekomendasi/ dengan kop sakti instansi/ maling-maling diberi konsensi/ tikus dan kucing/ dengan asyik berkolusi.

Indonesia “milik” kaum pencari dan pengumpul uang dengan cara-cara kotor, keji, dan curang. HAM sengaja diremehkan kaum berduit untuk semakin menghajar kenestapaan di kalangan bawah.

Gus Mus adalah ulama bergairah menulis puisi, tak lupa mengusung atau memberi percikan isu-isu HAM. Di Indonesia, Gus Mus tentu ulama terhormat dengan kesanggupan bersastra-berdakwah mengurusi politik, agama, moral, dan kultural. Gus Mus tak jemu mengingatkan kerja pemaknaan Indonesia adalah negeri mulia dan negeri beradab.

Gus Mus pun tak sungkan memberi kritik diri selaku ulama dan seniman. Ulama tak mesti harus selalu menasihati. Peran sebagai seniman pun tak melulu berlagak paling berhak memberi kritik. Kini, pemberian penghargaan Yap Thiam Hien pada Gus Mus memberi penjelasan ke publik bahwa ulama dan seniman memiliki peran dan pengaruh besar dalam arus penegakan HAM di Indonesia.

Baca juga:  Tradisi Maulid dan Solidaritas Kebangsaan

Di Matra edisi Agustus 1997, Gus Mus berkata tentang makna adil dalam jalinan dialog di Indonesia mencipta damai, toleransi, dan penghindari dari pelanggaran HAM: “Orang yang sudah tidak adil tidak akan bisa berdialog.” Pada saat Indonesia gampang tergoda dengan konflik dan kekerasan, Gus Mus menginginkan orang-orang wajib adil demi dialog. Keinginan itu jarang sesuai situasi sosial-politik.

“Kita ini sudah tidak jejeg(lurus) semua. Terlalu benci atau senang dulu, hingga tak mendengarkan orang lain,” keluh Gus Mus.

Indonesia bukan negara bergelimang keluhan dan terbiarkan. Gus Mus memilih turut mengubah dengan gubahan-gubahan puisi berlumuran kritik tapi tak sungkan jenaka. Puisi pun jadi cara berdakwah menolak klise dan jemu.

Di jalan dakwah agama dan kesenian, peran Gus Mus tergambarkan dengan penjelasan Zuly Qodir di buku berjudul Yap Thiam Hien: Pejuang Lintas Batas (editor Josef P Widyaatmadja, 2013). Situasi Indonesia abad XXI masih rawan konflik dan kekerasan berdalih agama. Gus Mus tentu memiliki pengaruh melalui khatbah dan tulisan. Peran ulama teramat menentukan agar umat beragama memahami HAM. Zuly Qodir menulis:

“Agama harus dibebaskan dari kepentingan kelompok yang akan menumbuhkan kekerasan dan sektarianisme yang membelenggu masyarakat. Agama harus dihadirkan untuk membela rakyat yang melarat dan terdiskriminasi, bukan membela para raja dan penguasa.”

Gus Mus tentu sudah menunaikan dengan dakwah dan kerja sastra untuk menautkan agama dan HAM demi kebahagiaan bersama di Indonesia. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top