Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Ranggawarsita, Soekarno, Indonesia

Ranggawarsita, Soekarno, Indonesia

Soekarno menganggap Solo itu penting. Ia pernah berada lama di Jogjakarta demi menegakkan Indonesia. Jogjakarta dan Solo dekat. Di buku-buku sejarah, Soekarno sering diceritakan berlatar Jogjakarta ketimbang Solo. Ia pun diceritakan berlatar Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Solo tetap penting dan acuan sejarah bagi Soekarno.

Pada 11 November 1953, Soekarno berdiri di depan Museum Radya Pustaka (Solo). Berdiri dengan busana putih dan peci berwarna hitam. Di muka corong mikrofon, ia memberi wejangan. Di belakang, ada petugas membawa payung memberi keteduhan untuk Soekarno.

Peristiwa bersejarah tapi jarang dimunculkan saat publik mengingat nasib museum, kesusastraan, kekuasaan, dan kota. Soekarno mengisahkan Jawa dan Indonesia. Ia mengagumi Ranggawarsita. Sekian ajaran Ranggawarsita diberi tafsir berpijak sejarah dan situasi Indonesia masa 1950-an. Dulu, orang-orang melihat Soekarno berpidato, menggerakkan imajinasi sejarah, dan merasakan kehadiran Ranggawarsita. Di situ, mereka memang melihat patung Ranggawarsita. Kehadiran Soekarno meresmikan patung pujangga moncer di Jawa dan berpengaruh sepanjang masa.

Soekarno menggugah sejarah: “Dalam kita mentjapai kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia, didalam perdjoangan mempertahankan Republik Indonesia, nama dan pengaruh djiwa almarhum Ranggawarsita bukan merupakan hal jang asing.” Ia mungkin membuat kalimat sekadar melegakan warga Solo. Kaitan antara Ranggawarsita dan (kemerdekaan) Indonesia itu memerlukan bukti dan argumentasi ketimbang mitos telanjur beredar sejak lama.

Soekarno mengajukan kutipan-kutipan pendek dari teks-teks digubah Ranggawarsita. Ia bukan sebagai kritikus sastra tapi penafsir sastra dan kekuasaan. Soekarno memerlukan Ranggawarsita dalam menggerakkan sejarah dan membarakan revolusi di Indonesia. Ia mendasarkan ajaran atau “ramalan” Ranggawarsita: “Maka dari itulah kita pertjaja dan jakin bahwa pada suatu saat akan datang djaman jang gilang gemilang, walaupun sekarang ini kita sedang mengalami djaman jang bagaimanapun edannja, penderitaan rakjat jang tak terhingga, karena pengatjauan, penggedoran di Djawa Barat, di Kalaimantan, di Sulawesi Selatan dan sekarang menjusul Atjeh, tetapi aku masih pertjaja penuh bahwa karena perdjoangan dan hasil pekerdjaanmu pemuda dan pemudi, nanti utjapan Ranggawarsita itu akan terwujud. Terutama pemuda-pemuda Solo, disini dimana tempat pudjangga Ranggawarsita dilahirkan.”

Baca juga:  Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara

Kita mengingat 1953: Soekarno dan patung Ranggawarsita. Pada saat memberi wejangan, Soekarno memilih mengaitkan Ranggawarsita dengan Hari Pahlawan, bukan membuka lembaran sejarah Kongres Pemuda II (1928) menghasilkan Sumpah Pemuda. Soekarno menginginkan heroisme menjadikan Indonesia tegak dan bersatu. Heroisme membenarkan revolusi.

Kini, kita mengingat Museum Radya Pustaka. Museum itu masih berdiri tegak meski pernah mengalami masa-masa “buru”. Museum berusia tua di Indonesia. Di buku berjudul Nawawindu Radya Pustaka (1960), kita mendapat keterangan: “Paheman Radya Pustaka adalah suatu lembaga ilmu pengetahuan, didirikan pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Maulud Ehe 1820 atau pada 28 Oktober 1890 (masih zaman Ingkang Sinuhun PB IX). Pendiri pertama jalah mendijang KRA Sosrodiningrat IV, Pepatihdalem di Surakarta.” Sejarah pun bergulir dengan kepustakaan, kesenian, benda-benda kuno, dan ceramah.

Sejarah itu masih bisa dipelajari dengan datang ke Museum Radya Pustaka. Patung Ranggawarsita pun masih ada. Acara-acara kesenian dan pengetahuan tetap diselenggarakan meski tak terlalu berpengaruh seperti masa lalu. Kita berhak berimajinasi Soekarno saat berada di depan museum. Pada masa berbeda, kita belum mengetahui kehadiran para presiden di Museum Radya Pustaka. Kita pun susah meramalkan para calon presiden bakal memberi pidato di depan museum, membuat babak lanjutan dari jejak-jejak Soekarno.

Baca juga:  Persekutuan al-Idrisi dan Raja Kafir

Orang-orang sering mengingat 28 Oktober itu Kongres Pemuda II, Sumpah Pemuda, atau Indonesia Raya. Tanggal itu mengingatkan pula Radya Pustaka. Kita diajak memikirkan masa lalu dengan album bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Museum itu mungkin sepi dari sejarah dan pengharapan masa depan saat publik condong berpikiran ruang-ruang kekuasaan, modal, dan hiburan.

Kita pun tak menduga bakal terjadi “penghormatan” dan “pemujaan Soekarno” dengan pembuatan patung-patung. Dulu, Soekarno meresmikan patung Ranggawarsita sambil memberi tafsir mengacu gubahan sastra. Pada masa berbeda, jumlah patung Soekarno terus bertambah. Pada masa lalu, Soekarno memang memiliki ambisi mengisahkan sejarah dengan patung dan monumen meski tak meramal para pejabat di Indonesia bergairah membuat patung Soekarno.

Kita mendingan mengingat warisan Ranggawarsita. Ingatan mengacu teks, bukan patung. Pada masa muda, Ranggawarsita menggubah Serat Jayengbaya, berlatar abad XIX. Serat itu penuh ambisi dan kelucuan. Serat tak dikutip Soekarno. Kita membaca sastra bergelimang humor dan kritik meski jarang mendapat perhatian dan tepuk tangan dalam sejarah dan perkembangan sastra di Jawa (Indonesia). Ranggawarsita mengajarkan kelucuan, tak sekadar urusan-urusan batiniah dan heroisme.

Pada abad XXI, kita wajib membaca lagi Serat Jayengbaya. Kita berharap serat itu dikoleksi di Museum Radya Pustaka atau dibaca elite politik dan para pengusaha. Ranggawarsita mengisahkan keinginan orang mencari pekerjaan, berhitung untung-rugi, dan menanggapi situasi zaman. Kini, orang-orang makin sulit mencari pekerjaan. Mereka justru melihat para artis, pengusaha, dan tokoh-tokoh kondang mencari “pekerjaan” untuk menjadi anggota DPR, anggota DPD, presiden, dan wakil presiden.

Baca juga:  Lukisan Nabi Muhammad dalam Lintasan Sejarah

Sejak abad XIX, Ranggawarsita sudah mengingatkan makna manusia dan pekerjaan tapi serat itu terbiarkan sepi. Kita mengutip sedikit dari Serat Jayengbaya untuk mengingat masa lalu: “Nora sotah nora sotir, dadi buyunging Walanda, angur dadi batur tledhek, kerep nenocok kang eca, gaweane tak rekasa, nggendhong kinang manggul payung, tur ta oleh sesenggolan.”  L Mardiwarsita (1988) memberi terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Tidak sudi tidak mau, jadi kacung Belanda, lebih baik jadi pelayan tandak, acapkali makan enak, kerjanya tidak berat, menggendong sirih memanggul payung, tambah pula dapat senggolan.” Kutipan mungkin tak penting tapi hari-hari dengan politik membara menguak masalah besar di Indonesia: pekerjaan. Kita boleh tertawa sinis atau menangis. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top