Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Puisi, Dagelan, Demokrasi

Pemilu terdengar di radio. Pengalaman itu masa lalu. Pada abad XXI, pemilu dilihat di televisi. Pemilu menjadi tontonan, dari pagi sampai malam. Pemilu pun keributan atau keramaian di media sosial. Sekian orang masih menemukan kesan-kesan kelawasan jika mengikuti hajatan demokrasi mutakhir melalui radio. Pemilu di telinga.

Dulu, pemilu jarang seru. Konon, pemilu-pemilu masa Orde Baru mirip sandiwara terakbar. Sandiwara dengan kehendak penguasa. Orang-orang pesimis dengan demokrasi. Mereka tetap saja mengamati pemilu agar bisa memberi omelan, kutukan, dan ejekan. Pemilu-pemilu justru mengesankan ketakutan penguasa dalam meladeni beragam gugatan atau perlawanan.

Kita bernostalgia pemilu dan radio saat membaca puisi berjudul “Aku Lebih Suka Dagelan”. Puisi digubah Wiji Thukul di Solo: 1987. Puisi mengesankan demokrasi memerlukan teknologi. Radio menjadi sumber berita, hiburan, dan lamunan. Wiji Thukul menikmati keseharian dan pasang-surut demokrasi di radio.

Ia menulis: di radio  aku mendengar berita/ katanya partisipasi politik rakyat kita/ sangat menggembirakan. Ia curiga dengan diksi “partisipasi” dan “menggembirakan”. Radio itu bersuara tentang pesta suara di Indonesia. Wiji Thukul justru prihatin: ada juga yang saling bertengkar/ padahal rumah mereka bersebelahan/ penyebabnya hanya karena mereka berbeda/ tanda gambar. Peristiwa itu masih terjadi sampai sekarang. “Bertengkar” memang telanjur mengiringi kerja-kerja demokrasi di Indonesia. Kini, “bertengkar” paling seru di media sosial dan televisi. Pemilu masa lalu masih mementingkan gambar. Pada masa berbeda, pemilu itu nama-nama tokoh meski tetap mementingkan gambar.

Baca juga:  Nak, Ayo Mondok!

Radio turut dalam arus demokrasi. Di rumah atau warung, radio mula-mula untuk menghibur, tak lekas dalam kepentingan demokrasi. Orang-orang menikmati lagu-lagu dangdut, dagelan, obrolan, iklan, dan lain-lain. Radio menandai kehidupan terus bergerak dan bersuara. Orang-orang masih mungkin melakukan beragam peristiwa bersama radio, berbeda saat “kepatuhan” di depan televisi.

Di dekat radio, Wiji Thukul capek bila marah-marah. Ia ingin terhindar dari politik picisan. Hiburan mutlak diperlukan agar hidup tak sia-sia. Kita membaca pengisahan Wiji Thukul: di radio aku mendengar berita-berita/ tapi aku jadi muak karena isinya/ kebohongan yang tak mengatakan kenyataan/ untunglah warta berita segera bubar/ acara yang kutunggu-tunggu datang: dagelan. Kita mengandaikan ia mendengar dagelan Mataram. Dagelan berbahasa Jawa menguak aib dan keberkahan hidup. Segala derita bisa ditanggapi dengan tawa. Kebahagiaan kadang diraih saat tolol, lupa, dan sembrono. Dagelan selalu menghibur meski pendengar sedang dikutuk nasib. Martabat degelan di atas berita-berita politik bertema pemilu.

Wiji Thukul absen dalam Pemilu 2024. Orang-orang masih membaca dan mengutip puisi-puisi gubahan Wiji Thukul demi waras menonton demokrasi. Dagelan makin lucu. Dagelan terlalu menghibur. Dagelan mengalahkan rapat atau sidang. Kita tak lagi mendengar radio. Sumber-sumber berita pemilu makin beragam. Kedatangan dalam hitungan detik atau menit. Kita “dihajar” berita bisa mengakibatkan sekarat. Wiji Thukul mungkin bakal membahasakan Pemilu 2024: “mahadegelan”. Hari pencoblosan sudah berlalu tapi hasil penghitungan belum disampaikan secara resmi. Pada masa penantian, dagelan-dagelan menghibur tersaji meski mustahil menghilangkan marah dan malu.

Baca juga:  Kemandirian Ekonomi Pesantren dalam Teori Kapital

Pada 1993, A Mustofa Bisri merekam demokrasi berwujud puisi berjudul “Berita Politik”. Ia mengerti keamburadulan demokrasi di Indonesia. Puncak amburadul itu pemilu. Kiai di Rembang itu menulis: ada berita pe-ti-ga berlaga/ ada berita pe-de-I berkelahi/ ada berita golkar bertengkar/ ada berita abri tahun sendiri/ ketika itu di manakah sebenarnya/ posisi kita, bangsa indonesia? Puisi hampir dagelan. Kita bisa tertawa mengetahui lakon demokrasi masa 1990-an. Di hadapan puisi, kita bukan penjawab telat untuk membandingkan dengan demokrasi di Indonesia abad XXI.

Kita masih menemukan selera dagelan dalam puisi berjudul “PT Rekayasa Semesta” gubahan Gus Mus. Puisi dengan tanda waktu: 1415 Hijriah. Dagelan memang biasa digelar di Indonesia. Di pembuka, kita membaca: Melalui suatu rekayasa bersama/ Berdirilah PT kita/ Dan melalui istikharah ulama/ Yang merekayasa/ Akhirnya kita beri nama/ PT Rekayasa Semesta. Perusahaan itu menunaikan beragam pekerjaan. Semua memerlukan modal dan raihan laba.

Gus Mus memberi contoh garapan: PT juga bersedia/ Ikut merekayasa:/ pemilihan-pemilihan/ mulai dari pemilihan umum biasa/ pemilihan kepala desa/ hingga pemilihan ketua perkumpulan. Kita membaca bait bersuasana Orde Baru. Dulu, kemenangan-kemenangan dan kemunculan nama-nama ditentukan pekerjaan-pekerjaan serius mengandung manipulasi, represi, dan ironi. Gus Mus mengingatkan masa lalu, belum mengajukan puisi terbaru mendokumentasi pemilu. Begitu.

Baca juga:  Guru, Lagu, dan Kita sebagai Bangsa
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top