Kesalahan berbahasa di bulan suci mendapat koreksi. Kita lama tak sadar ada tatanan kata salah. Berulang setiap tahun. Kita membaca kalimat itu tercantum di koran, majalah, spanduk, dan poster: “Selamat menjalankan ibadah puasa.” Kalimat sederhana tapi bermasalah bagi orang memiliki ilmu ampuh dalam bahasa Indonesia. Kalimat itu salah!
Eko Endarmoko menganjurkan pada kita agar mengubah kata kerja di kalimat: “menjalankan” menjadi “menjalani”. Di imajinasi kebahasaan, “menjalankan” seperti mengajak orang membuat ibadah puisi itu bisa berjalan. Perubahan ke kata kerja “menjalani” memastikan orang sedang berpuasa, bukan membuat puasa itu berjalan. Koreksi anggap saja datang terlambat, setelah puluhan tahun kalimat salah itu dibiarkan merajalela setiap bulan suci.
Pembaca masih bingung berhak membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Di lema jalan, kita mengetahui perbedaan menjalani dan menjalankan. Pengertian menjalani: “menempuh; melalui”, “melakukan atau mengalami”, “melalui”. Menjalankan berarti: “melakukan”, “membuat supaya berjalan”, “mengemudikan”, “memutarkan”, “mengamalkan; mematuhi; mempraktikkan”, “mengerjakan; memecahkan; mencari.”
Ucapan berbeda tanpa menimbulkan masalah: “Selamat menunaikan ibadah puasa.” Kalimat itu pernah digunakan Joko Pinurbo dalam misi berpuisi: “Selamat menunaikan ibadah puisi.” Joko Pinurbo beruntung tak memilih kalimat salah dengan kata kerja “menjalankan”. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemilihan kata “menunaikan” itu benar. Kita mengutip pengertian resmi di kamus. Menunaikan berarti: “membayar (kaul, nadar)”, “mengamalkan (perintah, ajaran)”, “melakukan atau melaksanakan (tugas, ikrar, janji).” Pada bulan puasa, kita diajak berpikir bahasa. Kita tak berpuasa kata agar peristiwa-peristiwa bisa dimengerti dengan terang dan bermakna.
Dulu, kesalahan berbahasa juga bersumber dari penamaan bulan saat kita beribadah puasa. Sekian orang tetap memilih menggunakan sebutan Ramadhan. Kata itu telah dipakai sejak lama. Pada masa berbeda, ada anjuran menuliskan secara baku menjadi Ramadan, ada penghilangan “h”. Kita memang diajari ikhlas berpusing mengurusi kata. Sebutan Ramadhan atau Ramadan berasal dari bahasa Arab diributkan oleh pengguna bahasa Indonesia. Sudjoko (2003) malah memberi peringatan bahwa keributan itu tak perlu. Dua penulisan belum selesai diperdebatkan, kita mendapat lagi sebutan Romadon di ucapan para penceramah atau teman. Sudjoko ikut menambahi masalah dengan mengajukan keruwetan berbahasa juga terjadi di penggunaan ungkapan “bulan puasa”. Kata “puasa” itu berasal dari bahasa Kawi, bukan bahasa Arab.
Kita berhenti dulu dari perkara rumit untuk memikirkan penjelasan Eko Endarmoko: “Kita lihatlah, hari ini rujukan tentang soal-soal kebahasaan relatif mudah diperoleh. Mudah, sebab bisa dikerjakan sambil tetap terus menulis, yaitu dengan membuka banyak sekali situs internet yang menyediakan informasi yang relevan. Jadi, tak perlu lagi membuang lumayan banyak waktu (dan tenaga dan uang) ke toko buku atau perpustakaan.” Sindiran bagi kita mulai mengalami kemalasan belajar bahasa Indonesia.
Kita mungkin sepakat dengan anjuran mengandung sindiran dari Eko Endarmoko meski tetap memiliki kemauan membuka puluhan buku mengenai bahasa Indonesia sudah dihasilkan para ahli bahasa: Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (Sutan Takdir Alisjahbana), Djalan Bahasa Indonesia (Sutan Mohamad Zain), Diksi dan Gaya Bahasa (Gorys Keraf), Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar (JS Badudu), Pembentukan Kata dalam Bahasa (Harimurti Kridalaksana), Membina Bahasa Indonesia Baku (Badudu), dan Kata Depan atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia (M Ramlan).
Di hadapan buku berjudul Polisi Bahasa, kita memang mendapat penjelasan bahwa tulisan-tulisan di situ semula ditampilkan di situs Beritagar. Keinginan mengumpulkan dan menerbitkan berupa buku cetak memberi pembaca “kelonggaran” mengenai pelbagai maksud puluhan tulisan. Gagasan-gagasan dituliskan secara pendek tapi menggugah pembaca turut memikirkan. Kini, buku kita pelajari tanpa harus bergantung lagi ke tampilan awal. Kita mungkin membaca sambil membuka buku-buku kebahasaan dan kamus-kamus, tak wajib membuka puluhan situs internet.
Eko Endarmoko mengajak kita berpikir di tulisan berjudul “Mengaji”. Pada saat kita berpuasa, masjid-masjid dan pelbagai komunitas sering mengadakan pengajian. Acara untuk menambahi ilmu agama dan meningkatkan keimanan. Sejak puluhan tahun lalu, pengajian itu bukan istilah membingungkan. Kita mulai bingung jika berurusan arti “mengaji” dan “mengkaji.” Penjelasan Eko Endarmoko mengurangi kebingungan: “Kata kaji berimbuhan yang mengingkari kaidah, mengkaji, pengkajian, mulai banyak dipakai sejak sekitar awal 1974, yaitu setelah terbentuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Di ranah keilmuan, penutur bahasa Indonesia pun seperti mendapat berkah dengan kehadiran kata ‘baru’ itu.” Kita tak sedang “puasa” berpikir atau belajar.
Kita lanjutkan dengan memikirkan bahasa berkaitan Lebaran. Di tulisan berjudul “Pulang”, Eko Endarmoko masih saja membuat kita rela berpikir sejenak: melawan kemalasan dan kebodohan. Kita membaca kalimat-kalimat mengarah ke berpikir mencari jawaban: “Tiap Lebaran pulang boleh jadi rada membingungkan, sebab kata itu tampak membawa dua pengertian berseberangan.” Pulang itu mudik, kembali ke kampung atau desa asal. Pulang pun berarti kembali ke kota perantauan atau tempat bekerja dan tinggal. Pulang memang unik: dapat merepresentasikan dua kegiatan berbeda. Kata itu mengalami perubahan arti jika dituliskan “berpulang”. Orang-orang menganggap jika ada orang “berpulang” atau meninggal saat bulan suci atau Lebaran, ia termasuk dalam kematian diidamkan orang beragama Islam.
Kita sengaja membaca buku mengenai bahasa untuk semakin menjadikan ibadah puasa bermakna ketimbang melulu berpikiran politik dan acara-acara hiburan di televisi.
Judul : Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur yang Absen
Penulis : Eko Endarmoko
Penerbit : Kompas
Cetak : 2019
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978 602 412 696 4