Pada hari-hari menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, Jumaldi Alfi rajin menebar pesan-pesan di media sosial. Ia tentu mengisahkan diri dan berceloteh beragam hal. Di situ, Alfi bukan pemberi nasihat-nasihat bijak. Sekian tahun, ia memang suka menebar kata-kata bukan sebagai sosok berpredikat penulis. Ia mungkin berpikiran itu siasat percakapan terdokumentasi.
Pada 12 November 2022, ia melakukan perjalanan Jogja-Solo. Ia dan teman-teman ingin mengikuti Muktamar Pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif. Perjalanan bersama teman-teman diselingi sarapan soto di Klaten. Alfi bergairah dengan Muhammadiyah. Ia memastikan ingin turut meramaikan muktamar bakal menghasilkan keputusan-keputusan besar. Di situ, Alfi bukan penentu keputusan, berperan sebagai saksi dan pengisah kecil-kecil saja.
Di alif.id, 20 Juli 2020, kita mengutip pengakuan Alfi: “Secara terang-terangan atau formil saya tak pernah memproklamirkan atau mengklaim diri sebagai anggota Persyarikatan Muhammadiyah.” Ia belum mewajibkan diri memiliki kartu atau nomor. Pengakuan sebagai bagian Muhammadiyah berlaku dari tata cara hidup dan pemikiran. Ia bertumbuh dalam Muhammadiyah tanpa keharusan-keharusan penggamblangan administratif.
“Secara kultural, saya tumbuh dalam tradisi Muhammadiyah, tapi saya bukanlah kader tulen,” tulis Alfi pada 13 Mei 2019. Pada masa dewasa, “bukan tulen” itu terbukti saat Alfi memiliki pergaulan dengan beragam orang. Pada suatu hari, ia malah mengaku sebagai Muhammadiyah “tercemar” NU. Di alif.id, 15 September 2017, ia membuat pengumuman: “Kemuhammadiyahan saya tak perlu diragukan lagi, dari anak-anak sampai dewasa, dari keluarga hingga lingkungan.” Ia memang cuma membuat tulisan-tulisan pendek, belum ada maksud menghasilkan otobiografi. Sebaran tulisan-tulisan cukup menjelaskan Alfi dalam beragama, berkesenian, berkeluarga, dan lain-lain.
Pada 1990, terbit buku berjudul Mencari Islam: Kumpulan Otobiografi Intelektual dengan editor Ihsan Ali Fauzi dan Haidar Bagir. Buku diterbitkan Mizan, memuat sosok-sosok masih muda tapi kini menua dengan ketenaran dan berpengaruh besar. Kita menilik pengalaman hidup Ali Munhanif, sosok berasal dari Blora pernah mengalami perseteruan tapi memihak keselarasan.
Pemicu perseteruan itu politik: Pemilu 1971. Ali mengisahkan: “Bermula dari keharusan keluarga kami untuk memilih salah satu partai politik Islam yang menjadi kontestan pemilu, bapak dan ibu harus menanggung risiko yang tak terbayangkan: berpisah. Tuntutan militansi dari suatu pemihakan partai politik, mendorong keluarga untuk mempersoalkan kembali latar belakang paham keagamaan bapak dan ibu yang memang berbeda.” Muhammadiyah dan NU menjadi dalih untuk berseteru. Masa lalu itu getir tapi berubah berbarengan kesadaran memilih bersama dan berjalan beriringan.
Bermula dari politik, perbedaan-perbedaan itu menguat dalam ibadah. Alfi mengalami hari-hari sebagai bocah dan remaja dalam ketegangan. Pada masa 1970-an dan 1980-an, perbedaan memang sering menghasilkan “ribut-ribut” ketimbang jalinan erat. Kita mengerti ada situasi politik dan pihak-pihak sengaja membuat Muhammadiyah dan NU di jalan keributan.
Pengalaman itu berbeda dengan Alfi, mengalami masa-masa untuk “berkelakar” dalam memahami diri dan bergaul dengan orang-orang berbeda paham keagamaan. Jalinan pun terjadi dengan pihak-pihak beda anutan keintelektualan dan selera politik. Alfi bertumbuh di Minang dan Jawa. Ia mengerti ada kekhasan-kekhasan dalam pengertian adat, agama, keilmuan, dan politik. Pada masa dewasa di Jogja, ia membawa masa lalu dan bergerak dengan terbuka untuk mencipta indah, bahagia, damai, dan kocak.
Buku-buku mungkin turut berpengaruh bagi Alfi dalam membentuk biografi. Ia tak cuma sibuk dalam seni rupa tapi menempatkan diri sebagai pembaca buku. Pengakuan berulang: ia jarang khatam buku dan bukan serakah pemikiran. Alfi tetap memilih sebagai pembeli dan pemilik buku.
Pada 13 Februari 2020, Alfi enteng mengabarkan sebagai penggandrung buku: “Dari buku yang tipis bagaikan kulit ari sampai buku yang setebal bantal dan berjilid-jilid.” Kita mungkin menebak ia ketagihan (membaca) buku. Ketagihan cuma dalam urusan membeli dan memandang. Alfi berkelakar: “Saya suka kalap kalau sudah masuk toko buku… saya cukup puas dan merasa keren dengan hanya memajang di rak-rak buku dan lemari penyimpanan yang saya siapkan. Tidaklah heran, bila banyak jua buku di rak itu masih berbungkus plastik, utuh belum dibuka. Ajaibnya beberapa buku malah ada yang dobel. Sungguh terpuji.” Kelakar mengandung “sombong” dan “pantang malu”. Ia memang menghormati buku meski tanpa jaminan khatam ribuan buku.
Ia bakal kebablasan menulis cerita mirip Rumah Kertas garapan Carlos Maria Dominguez. Buku itu tipis dengan ironi tokoh-tokoh bersama buku. di Jogja, Alfi bergaul dengan para penulis dan kaum buku. Ia memang mau membaca tapi sadar belum “tulen” atau ketagihan untuk menjadi pemikir. Ia memilih terhibur dan girang gara-gara buku dan pergaulan bersama kaum buku. Kita selaku pembaca buku tentu ingat Alfi memang tekun dalam buku dengan bukti ia mengurusi gambar di sampul buku-buku terbitan Bentang, puluhan tahun lalu. Dulu, orang menghormati Alfi di sampul buku. Kini, Alfi disahkan sebagai penulis buku berjudul Taman Rasa.
Semula, ia tak bermaksud menerbitkan buku. Ia memilih menjadi pengisah dan pemberi kabar di media sosial. Buku bisa terbit dengan permintaan dan kerepotan pelbagai pihak. Sekian tulisan pernah dimuat di alif.id. Kini, kita berhak mengusulkan setelah penerbitan Taman Rasa bakal terpujilah Alfi bila melanjutkan membuat alfi.id. Situs memuat tulisan-tulisan Alfi dan orang-orang mau berbagi cerita. Alfi boleh menjanjikan tulisan-tulisan di alfi.id kelak terbit menjadi buku dengan sampul menggunakan gambar Alfi dan diobrolkan di pelbagai tempat.
Alfi beruntung memiliki kenalan dan sahabat dari kubu perbukuan. Ia pun bergaul dengan orang-orang bijak dan penebar kata. Ia memiliki guru bernama Zawawi Imron. Di sastra Indonesia, Zawawi Imron itu moncer dengan puisi-puisi. Sekian buku mendapat penghargaan, berpengaruh dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Pada 25 Maret 2019, Alfi berbagi pengalaman bertemu Zawawi Imron. Guru itu mengunjungi Minang, menemukan beragam keunikan untuk dijadikan sumber cerita. Ia mengabarkan kepada Alfi dalam suatu perjumpaan: “Sekarang, aku baru paham, mengapa kamu dan orang-orang Minang itu senang berdebat dan hebat dalam bersilat lidah.” Zawawi Imron mengurusi silat lidah, bukan pencak silat.
Pada 1996, terbit buku berjudul Apresiasi Generasi Muda Terhadap Pencak Silat di Daerah Sumatera Barat diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pencak silat menjadikan orang disegani dan dihormati oleh kawan dan lawan. Pencak silat dilestarikan tapi mungkin kalah seru dengan bersilat lidah gara-gara politik. Zawawi Imron berbagi cerita kepada Alfi pun mengandung sejenis humor politik: “Sungguh pemandangan yang menakjubkan, beruk dan kera di kampungmu saja sudah pintar saling berdebat.” Perkataan berlatar hajatan politik dengan pameran poster tokoh-tokoh berhasrat kekuasaan. Pemasangan poster (politik) nekat di pohon-pohon bisa dilihat dan diperdebatkan para binatang.
Tulisan-tulisan di Taman Rasa tak kental politik. Kita mengaku beruntung dengan tulisan-tulisan mengenai agama, buku, seni, rumah, pekerjaan, dan lain-lain. Alfi tak perlu berlagak mengerti politik atau berlanjut menjadi tokoh berpolitik. Ia boleh mencukupkan diri sebagai seniman. Dulu, ia sempat berputus asa untuk menjadi seniman. Kini, ia dipastikan seniman besar.
Alfi berbagi masa lalu di media sosial, 13 Agustus 2020: “Saya orang Minang. Bagi kami orang Minang, seni adalah pamenan atau permainan. Kami tidak punya kebudayaan yang mengagung-agungkan seni sebagai sesuatu yang suci, dibela mati-matian atau hidup merana karena seni.” Ia memiliki album ingatan terbagikan kepada sidang pembaca. Ia di jalan seni membuat pembaca terpikat meski cerita tak pernah lengkap. Kita memang menantikan Alfi mengadakan alfi.id agar terjadi “percakapan” beragam tulisan untuk dinikmati para pembaca di seantero Indonesia dan pelbagai negara. Begitu.
Judul : Taman rasa
Penulis : Jumaldi Alfi
Penerbit : JBS, Jogja
Cetak : 2022
Tebal : 284 halaman
ISBN : 9786239545864