Pada suatu hari, Haruki Murakami tiba di kota suci. Di sana, ia berpidato berkaitan sastra. Semula, ia meragu untuk menerima Yerusalem Prize. Ia sadar bakal ada pihak-pihak menolak atau melawan, berpengaruh bagi ketokohan dalam sastra dunia. Haruki Murakami memilih datang, tak gentar bila dikecam atau dibenci. Novelis kondang itu memberi pidato di tanah suci belum rampuk diterpa konflik. Ia mengomongkan sastra, memberi pula ibarat-ibarat berkaitan politik dan agama. Pada abad XXI, Yerusalem tetap tempat suci bersejarah perang-perang dan babak-babak religiositas.
Yerusalem pun terbaca memukau dan mengharukan dalam buku garapan Karen Amstrong. Kota itu hidup dalam biografi miliaran umat: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dulu, kita membaca buku-buku garapan Edward W Said tentu mendapat pengisahan dan penjelasan Yerusalem. Kita bergumul dalam politik, agama, sastra, bisnis, dan lain-lain. Semua berkiblat Yerusalem. Ingatan dan pemaknaan Yerusalem terbaca pula dan puisi-puisi gubahan Mahmoud Darwish. Sekian puisi tentang kota suci sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kita membaca puisi sampai ke sejarah dan masa depan sulit teramalkan. Yerusalem tetap “puisi” belum rampung terbaca. Pengisahan puitis dan bergelimang drama terbaca dalam buku susunan Simon Sebag Montefiore. Tebal dan mengagumkan dalam olahan beragam referensi.
Para pengarang Indonesia rajin mengisahkan Yerusalem dan puisi dan prosa. Setiap konflik Israel-Palestina, orang-orang teringat Yerusalem. Gubahan-gubahan sastra bermunculan, bertambah dan memastikan sastra Indonesia terhubung kota suci di negeri jauh. Pada 1996, Goenawan Mohamad menggubah puisi berjudul “Di Yerusalem”. Puisi jarang menjadi pilihan bacaan bagi para pengagum Goenawan Mohamad. Puisi agak panjang, mengajukan pengenalan dan tafsiran orang Indonesia tentang Yerusalem. Goenawan Mohamad menuli: Di Yerusalem orang tetap tak mengerti siapa sebenarnya yang/ mengalahkan kota ini: lelaki Arab yang berjalan kaki di sisi seekor/ onta yang lelah – dan kemudian dengan tangan sendiri membersihkan/ Baitullah – atau para penyerbu khalif, kavaleri, deru dan kerikil dan debu. Puisi itu mungkin digubah setelah membaca dan kunjungan Goenawan Mohamad ke Yerusalem. Terbaca ada kehadiran. Sejarah rancu mengawali melihat Yerusalem belum “damai” sampai abad XXI.
Warisan-warisan cerita selama ratusan tahun belum memastikan kebenaran. Yerusalem tetap berdarah, memiliki lakon kematian, dendam, dan doa-doa tak berkesudahan. Kita turut dalam sejarah berumus “mungkin” melalui larik-larik bercerita: Barangkali dulu memang datang, berbaris-baris, pasukan dari sebuah/ jazirah jauh, perang yang bergiliran, tentara dari sebuah tahta yang/ terusik, orang-orang cemas yang mengerahkan kuda dan tubuh mereka,/ amis dan bengis, dalam zirah bersisik// atau dendam yang tersimpan dalam, iman yang seperti sepatah seru/ “Sesungguhnyalah, Tuhan, mereka fasik/ dan kami berseteru. Yerusalem adalah iman. Iman beragam nama tapi memiliki acuan tokoh-tokoh suci sering sama. Di Indonesia, Yerusalem terur termiliki umat dalam ingatan agama dan terimbuhi berita-berita memunculkan kekisruhan opini global. Yerusalem berita terlalu panjang.
Di khotbah-khotbah, Yerusalam terucap dengan seru dan ratapan. Di jalan-jalan, demonstras mengatakan Yerusalem. Artikel-artikel di pelbagai koran dan majalah memuat pendapat-pendapat tentang Yerusalem, cepat berubah dan berebutan pengaruh. Di puisi, Goenawan Mohamad seperti menghindari pengungkapan Yerusalem dalam khotbah dan pers. Kita membaca puisi untuk masuk ke sejarah terpanjang dan situasi belum menentu sampai abad XXI. Pada bait pelik, Goenawan Mohamad menuntun kita ke tempat dan peristiwa bersejarahkan suci atau kudus: Harapan kadang singgah juga di sini, seperti seekor reptil buta/ di antara kerikil yang bertebar/ di kebun Al-Aqsa. Puisi itu menghadirkan kita seolah di Yerusalem. Masa demi masa, kita di Indonesia masih bimbang dalam membaca kebenaran-kebenaran Yerusalem, setelah perselisihan pengisahan di dunia dan keberlimpahan berita saling berseberangan. Singgah di puisi, kita ingin mengingat Yerusalem tanpa tergesa gamblang. Begitu.