Di kampung dan kota, azan biasa terdengar. Masjid-masjid mudah ditemukan, bangunan memiliki kekhasan. Pemandangan khas tak cuma kubah atau menara. Kita melihat masjid-masjid memiliki pengeras suara. Pada bagian menara atau atas, kita bisa menghitung jumlah pengeras suara ke pelbagai arah. Azan ingin terdengar sampai jauh. Teknologi suara menambahi pengertian masjid berada di permukiman padat atau berada di desa kadang terasakan sepi. Di pantai, azan terdengar berbarengan suara-suara berulang dari alam.
Kita membaca dan “mendengar” azan dalam puisi berjudul “Karang Azan Magrib” gubahan Jamal D Rahman (2002). Waktu, suara, gerak, dan rupa hadir bersama. Jamal D Rahman menulis: azan magrib jadi karang. membongkah-bongkah dalam diriku/ saat mencarimu di kamar paling gaib itu. nafasku tengadah./ nafasku tumpah. berkarang-karang azan magrib memburuku. Kita tak berada dalam ketenangan. Karang mengingatkan waktu pun “mengeras”.
Pada penglihatan karang itu diam dan kukuh, pembaca justru membaca gerak. Terbacalah pencarian! Panggilan untuk umat bertemu Tuhan, ditanggapi dengan pencarian. Pembaca membedakan kedatangan atas undangan (panggilan) dan pencarian. Di puisi, kesungguhan terkatakan dengan “mencarimu”. Peristiwa berwaktu magrib tertandai azan menjadi tak lazim akibat mencari: “tenggelam dalam biru rindumu”, “terbakar dalam bara cintaku”, “tenggelam dalam karam azan di dasar lautan”.
Azan itu waktu. Orang-orang di desa biasa menandai waktu dengan azan, bukan jam. Mereka mengalami pagi, siang, sore, dan malam ditandai azan. Pengalaman bersama azan dan waktu. Mereka mengerti ibadah dan lakon-lakon keseharian. Azan terdengar dan terartikan individu bisa mengesankan. Di puisi gubahan Jamal D Rahman, kita membaca: waktu arlojimu 10 menit lebih cepat/ dari waktu matahari. tapi tarianmu/ terasa lambat di tubuhku,/ seperti gerak azan magrib sore itu. aha,/engkaukah yang merambat pelan di bibirku?/ ataukah namamu yang kubisikkan dari dasar rindu?/ waktu arlojimu mempercepat tangisku kembali jadi azan,/ sebelum magrib jadi karang. Kita memasuki adegan mendebarkan. Waktu dan azan, kita membaca dalam babak-babak tak biasa: “waktu arlojimu mempercepat tangisku kembali jadi azan.” Pengertian belum tentu cepat terperoleh: “tangis” dan “azan”.
Pengalaman dengan azan terdengar berbeda dari tatapan kita saat azan dimunculkan di televisi. Semula, azan magrib. Pada saat subuh, azan pun terumumkan dan tertampilkan di televisi. Gambar-gambar dalam azan biasa bergantian di pelbagai televisi: desa, sungai, masjid, hutan, pantai, rumah, dan lain-lain. Kita mendapat hal baru bahwa azan itu “tontonan” di televisi. Di situ, penonton kadang melihat para artis kondang. Kita agak bingung menonton azan dengan penghadiran artis dan cerita-cerita disusun dalam hitungan menit.
Pengalaman di depan televisi berbeda dengan di depan puisi. Jamal D Rahman melanjutkan: dengan tubuh berlumur rindu, kupeluk engkau/ dalam getar azan,/ tapi tak juga sampai pelukanku pada rahasia dekapan./ sampai kapan, adikku, dekapan merahasia/ dalam pelukan-pelukan kita. Gambaran itu jauh dari cerita dalam siaran azan di televisi. Dulu, menonton azan bisa lanjutan dari kebiasaan “baru” bagi orang-orang pernah menikmati azan di radio. Mereka mendengarkan azan dari siaran radio, selain azan dari masjid.
Pada puisi, pembaca dalam pengalaman tak mungkin bersanding azan terdengar dari radio atau menonton azan di televisi. Kita memasuki pengisahan azan tak selalu panggilan tergamblangkan untuk salat. Di penutup, kita membaca: kudekap engkau di karang-karang,/ berharap airmatamu berdenyaran/ di azan-azan. Begitu.