Pada masa 1970-an, perpuisian Indonesia sedang bergerak dengan kejutan-kejutan. Sekian penggubah puisi memilih mengungkap religiositas mendapat sebutan sastra sufi, sastra transendental, sastra keagamaan, atau sastra profetik. Puisi-puisi bermunculan di koran dan majalah, memberi pengaruh dalam arus kesusastraan di Indonesia. Nama-nama mulai tercatat memiliki kekhasan dalam membahasakan religiositas. Sekian puisi terasa terpengaruh dari sastra sufi warisan para leluhur di pelbagai negeri, tak melulu Nusantara. Religiositas kadang bercorak agraris atau pesisiran meski mulai ada kecondongan mengisahkan kota dan modernitas.
Sekian nama memiliki tempat dalam khazanah puisi religius: Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, dan lain-lain. Kita mengingat sebiji puisi gubahan Zawawi Imron, 1979. Ia menulis “Sajak atau Doa”, suguhan bagi orang-orang mau menilik ulang tata kata dalam doa terbiasa diucapkan atau dibatinkan memang doa atau terasa sebagai sajak. Konon, orang-orang memilih doa-doa itu prosa ketimbang puisi. Pilihan kata dan tatanan kata mendingan mudah dimengerti tanpa rumit-rumit. Sekian orang justru menghendaki doa adalah sajak atau puisi, ada kandungan diksi-diksi mumpuni untuk gerak makna tak berkesudahan.
Di Sumenep, Zawawi Imron menggubah puisi-puisi diselingi perjalanan-perjalanan ke pelbagai kota di luar Madura. Biografi beralam memberi pengaruh dalam pengisahan. Ia menulis: dari daging yang menganga/ tak terdengar lagi sekarat jeram/ tapi dari musim ke musim, akhirnya/ dendam pun dalam doa harus diperam/ dan segera akan dilangitkan. Kelembutan doa terasa absen, digantikan pemandangan dan pengalaman keras. Cara mengena setelah menghindari menulis puisi religius sering diawali “Oh, Tuhan”, “Ya, Tuhan”, atau “Duh, Gusti”. Pada bait awal, “drama” berdoa terasakan oleh pembaca. Doa mungkin memuncak dari ketegangan demi ketegangan.
Doa dalam tergesa atau terungkap lepas bisa “bungarampai” gejolak-gejolak berpasang dan surut. Zawawi Imron mengeras dalam menuliskan doa, terbaca lagi dalam penggunaan tanda seru: babak bercakap dengan Tuhan. Ada lantang tapi tak lancang. Kita simak: Tuhan!/ kekamian ini agaknya terlantun dalam nyanyian/ di atas bumi yang gerhana/ berdentum kesia-siaan sepi/ padahal camar-camar bersungguh menjilat pantai. Manusia sebagai pendoa belum tentu memiliki ketulusan atau kelepasan. Ia mungkin ruwet menginginkan atau menuntut dalam sekian doa. Pengimajinasian doa-doa bergerak dari bumi menuju langit, berhitung kecepatan dan kesampaian.
Kita diminta memiliki kesan melihat camar-camar menjilat pantai. Mereka terbang tapi mau turun sejenak. Terbang lagi dan memandangi segala hal tampak di bawah. Burung dekat langit. Manusia jauh dari langit. Manusia melihat camar-camar tak keberatan untuk singgah di pantai. Tanda tak selalu berada di atas. Si pemandang sebagai pendoa boleh mengoreksi segala hal dalam doa itu ulang-alik bumi dan langit. Doa teranggap tak meninggi dan sampai atau turun kembali ke bawah disangka tak berterima. Kenaifan memikirkan doa.
Zawawi Imron dalam “Sajak atau Doa” ingin memicu seru dalam mengerti kias dan lugas. Pada sajak, orang menganggap berlangsung pameran kias. Pada saat orang berdoa, lugas tentu terungkap menuruti keinginan meminta dan persembahan. Zawawi Imron mungkin menjadikan ‘Sajak atau Doa” itu tanggapan atas kebiasaan para penggubah puisi menjuduli doa atau menata doa berpuisi. Pengajuan pilihan dengan “atau” bermaksud batas-pembeda. Di akhir, kita masih membaca ketegangan religius, berlanjut penghiburan: sementara/ perkenankan ratapan itu menjadi api yang berkobar!/ lalu kemudian/ menjadi kupu-kupumu yang lucu! Ia masih mengibaratkan makhluk tak selalu menjejak tanah. Kupu-kupu itu terbang tapi mau hinggap, sebelum terbang lagi memberi molek dan lucu. Begitu.