Pengajar di Universitas Indonesia sregep menggubah puisi. Ia agak mengejutkan bagi umat sastra dalam kesungguhan menggubah puisi-puisi berselera sejarah. Pada 2000, buku berjudul Dari Batavia Sampai Jakarta: Sejarah Perkembangan Kota Jakarta dalam Sajak mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Pembaca masih dimanjakan sejarah dengan penerbitan buku berjudul Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak (2012). Si penggubah puisi bernama Zeffry Alkatiri memberi citarasa berbeda dalam arus besar perpuisian Indonesia abad XXI. Ia memiliki latar keilmuan sastra Rusia, memilih menekuni penulisan puisi berbahasa Indonesia di jalan sejarah.
Pada 2020, terbit buku puisi berjudul Anarko Book Faith. Zeffry Alkatiri bergerak jauh dan memberi sajian beragam, tak terikat kuat dengan buku-buku terdahulu. Ia menggubah puisi bertema Palestina. Puisi bisa terbaca saat menjelang Lebaran terjadi pecah konflik Israel-Palestina bertitik di masjid bersejarah. Ia menulis: Kami anak-anak Palestina/ Lelaki dan perempuan/ Yang bergerak di perbatasan/ Untuk menjaga setiap jengkal tanah halaman nenek moyang./ Kami tidak takut untuk menghadang/ Barisan tentara, sekalipun dengan peralatan perang…. Kami anak-anak sekolahan/ Yang sia mengisi tas kami/ dengan batu-batuan,/ Untuk sarapan dan makan siang kalian. Puisi itu keras. Melawan!
Kita berpindah ke puisi berjudul “Song for Allah”. Puisi panjang, terbaca dan terasa bersenandung. Puisi religius, lembut tapi berperingatan. Kita simak: Kau tahu, Dia tak akan merasa lelah/ Menyaksikan kesia-siaan manusia./ Padahal sudah diberikan pada setiap akhir bacaanmu./ Jangan sampai lengah./ Sebab kalian tak dapat penangguhan waktu./ Kecuali untuk makhluk yang satu. Manusia di dunia memiliki tanggungan amanah. Ia pun memiliki tuntutan dan kemauan. Di lakon-lakon sering tak indah, manusia mengerti ada batas dan akhir. Diri sadar ada kekuasaan mahamenentukan ketimbang berhitung tentang manusia tergoda angkuh dan lalai. Di situ, kita membaca ada peringatan. Manusia terbatasi waktu.
Kita membaca puisi itu merasa di berada dalam majelis, menikmati petuah-petuah berdasarkan kitab suci. Kita menunduk malu, mendengarkan ingin mengerti tapi mudah lupa. Zeffry Alkatiri menuliskan peirngatan-peringatan keras, terlembutkan oleh diksi dalam judul “song” atau penataan larik-larik mirip tuturan dalam majelis keagamaan. Kita simak lagi: Sungguh sudah berlimpah apa yang disampaikan/ Dan apa yang diberikan./ Sekiranya yang kau pegang menjadi punah./ Yang kau lihat menjadi sirna./ Yang kau dengar menjadi nyata./ Lalu apa yang kau akan pedulikan lebih dulu?/ Mungkin sudah terlambat./ Alangkah baiknya jika aku dulu menjadi debu./ Begitu katamu. Para pembaca puisi-puisi di buku terdahulu mendingan menahan bimbang, dari sejarah menuju sodoran khotbah. Puisi itu belum memastikan kesungguhan menggarap tema religius, terbaca sebagai selingan atau keinginan di arus berbeda tapi masih “coba-coba”.
Puisi-puisi bertema keagamaan di Indonesia sulit mengelak dari pengulangan di khotbah atau buku-buku bertema agama jarang memukau terbaca. Kita membaca puisi gubahan Zeffry Alkatiri, berharap bait-bait berterima tanpa sanggahan dan “kecewa”. Kita mengerti ada ikhtiar mengajak pembaca teringat kitab suci, teringat dalam peristiwa dan suasana berbeda. Kita membaca saja tanpa catatan kaki, menikmati secara enteng: Sungguh telah Aku berikan/ berbagai tanda bahkan kepada orang buta,/ Sebagai bahan renungan./ Maka nikmat Tuhanmu mana pula/ Yang kau akan palingkan?/ Nikmat Tuhanmu manakah/ Yang masih kau ragukan? Kita merampungi puisi dengan sejenis panggilan membuka (lagi) kitab suci, menekuni lagi tafsir-tafsir, dan tak melupa merasakan kelembutan dalam sastra tasawuf. Panggilan untuk menjadikan puisi memang mungkin berurusan dengan keimanan. Begitu.