Pada 1965-1966, Indonesia muram, berantakan, lusuh, dan terluka. Orang-orang mengucap politik masih dipenuhi marah, dendam, dan fitnah. Di sela bara-bara politik, orang-orang merenung dengan keraguan-keraguan nasib Indonesia. Orang-orang tak jelas nasib, melanjutkan hidup atau “rampung” tanpa kejelasan. Di luar politik selalu kusut, para pengarang menulis diri dan Indonesia. Sekian puisi protes terbacakan. Prosa-prosa rekaman zaman memberi peringatan kebiadaban dan keinginan-keinginan luhur. Arifin C Noer berada dalam ruang dan waktu tak tentu saat 1965-1966 adalah tahun-tahun keparat.
Di kertas, ia menggubah serial puisi berjudul “Dalam Langgar”. Ia menaruh diri dalam kekisruhan dan kerusuhan sosial-politik tapi memilih bercakap dengan Tuhan. Di langgar, ia bercerita dan mengajukan masalah-masalah ruwet belum bisa dirampungi di Indonesia. Kita memilih “Dalam Langgar (III)” untuk mengetahui masa lalu sempat tercatat. Arifin C Noer sudah menapaki sastra dan teater, belum ke film. Kepekaan-kepekaan termiliki, mampu terbahasakan. Ia memang belum tenar pada masa 1960-an. Puisi-puisi sudah digubah dan terbit di majalah-majalah mengesankan ia memilih sastra “kesadaran” bertambah sastra “kasmaran” setelah berjumpa pujaan.
Arifin C Noer (1965) mengisahkan: Kebohongan mengenakan pakaian pengantin jang gemerlapan/ Ia akan dikawinkan dengan martabat dan harta kekajaan/ Rumah-rumah dari katja telah didirikan/ Tidak lupa, pesta sepandjang waktu mengisi kebudajaan. Protes! Ia mengamati kehidupan elite politik atau petualang-petualang dalam pertempuran ideologi masa 1960-an. Indonesia diajak berpesta dengan segala kemunafikan di atas kejelataan. Indonesia sedang merana tapi orang-orang berduit dan merasa memiliki kekuasaan justru memilih senang. Di tatapan mata, mereka menghinakan Indonesia.
Nasib kaum miskin makin tak jelas. Sengketa politik tak pernah rampung. Makanan diperlukan segera, bukan pidato dan poster. Arifin C Noer berseru: Sebagai si miskin tak usahlah kita bergumam/ Tegaklah dan tantanglah mereka/ sebagaimana Allah menundjukkan telundjukNja/ Sudahlah tjukup waktu untuk tetap selalu membisu/ sementara khotib-khotib telah menghiasi pidato-pidatonja/ dengan kata-kata usang berdebu dan tak bertolak dari djiwa. Ia berada dalam langgar: beribadah dan membuka gugatan-gugatan. Ruang religius menjadi tempat penentuan membentuk kesadaran untuk berani melawan atau berlindung dari kutukan-kutukan zaman.
Puisi berwatak keras itu mungkin terbandingkan dengan puisi-puisi gubahan Rendra ketimbang ledekan lagak Taufiq Ismail. Kita mengerti puisi-puisi “keras” bermunculan masa 1950-an dan 1960-an: tanggapan atas zaman tak keruan. Arifin C Noer dalam pengalaman mengerti Indonesia selama di Solo dan Jogjakarta memilih berpuisi, berharap memiliki kemauan waras dan memungkinkan seruan-seruan kesadaran. Penempatan diri sebagai penggubah puisi pun terbaca: Sudahlah tiba masanja ditulis sadjak seperti ini/ walau pahit dan hampir kehilangan kemesraannja/ sebagai puisi/ Kedjudjuran tak akan mampu mengibarkan pandji-pandji Kebenaran/ tanpa dipotong keberanian. Berdiam diri dan membiar tinta/ menguap sia-sia/ akan mentjemarkan sedjarah bangsa. Ia mengungkap kelugasan, enggan kecebur dalam metafora-metafora sulit di zaman sulit. Pola itu terasa tergunakan saat Arifin C Noer menggarap film-film berselera rezim Orde Baru dalam menghampiri sejarah berlatar 1965-1966.
Puisi-puisi gubahan Arifin C Noer pada masa berbeda jarang teringat, setelah ia rajin menulis naskah-naskah pementasan teater dan keranjingan membikin film. Hal tak berubah adalah religiositas. Ia tetap menguak religiositas berkaitan kemiskinan, politik, keluarga, perkotaan, dan lain-lain. Di puisi berjudul “Dalam Langgar (III)”, kita menemukan kemarahan tapi berlambaran pengharapan di ruang ibadah dan “sambat” demi menjadikan diri tetap menanggungkan kewarasan. Arifin C Noer ingin mengalami hari-hari tak terpuruk. Penulisan puisi dan pengungkapan hal-hal politis dan religius menjadi kewajaran bagi orang-orang mengalami zaman bimbang bertitik tolak 1965. Begitu.