Pada suatu masa, ia rajin protes. Di hadapan kekuasaan, ia berani berucap dan menulis. Keberanian diganjar hidup dalam penjara. Ia tetap bergerak dengan kata-kata. Buku-buku pun terbit. Publik mengingat M. Fadjroel Rachman sebagai mahasiswa galak, penulis, dan pemikir demokrasi. Kini, ia berada dekat dengan Joko Widodo. Situasi berubah tapi kita masih mungkin membaca tulisan-tulisan berupa puisi. Ia tercatat dan terakui sebagai pujangga.
Kita memilih membaca buku berjudul Dongeng untuk Poppy (2007). Puluhan puisi dengan larik-larik panjang. Pembaca harap sabar bergerak di larik sekian cm. Ia mungkin ingin cerewet. Puisi berlimpahan kata, berharap bergelimang makna. Pembaca agak terengah, tak cepat membiasakan diri bersama larik-larik panjang. Beragam hal disampaikan dengan cara (hampir) sama. Kita menerima puisi-puisi sambil berharapan bersua makna-makna religius.
Kita menghadapi dua halaman memuat puisi berjudul “Azan Magrib Tersesat.” Kita menikmati puisi, bukan keterangan di televisi: “menanti azan magrib” atau “selamat menunaikan salat magrib.” Kebiasaan menikmati magrib di depan televisi berbeda dengan segala prosa dan puisi berkaitan magrib. Kita membaca: ke langit mana bunga kering dimakamkan? “tidak ada talqin & azan untuk bunga-bunga!”/ sepasang kupu-kupu bunuh diri di kelopak mawar, mayatnya membiru lepuh di aspal hitam/ “semuanya akan mati, tak ada tersisa.” sedap malam mengeluh. “bercinta atau bunuh diri!”/ sungguh tak ada gunanya lagi airmata kehilangan, angin & lautan berpusing di langit sama. Situasi tenang diselingi tegang. Sekian lambang gampang berterima: langit, mawar, kupu-kupu, angin, dan lautan.
Magrib, setelah sore bergerak ke malam. Kita mengalami situasi peralihan sambil masih bisa melihat “ini-itu” tapi mulai tergantikan dengan “ini-itu” berbeda. Penampakan-penampakan tak terjamin matahari, berubah ke pilihan mengamati atau menerima sekian hal sah milik malam. Di situ, kita belum sampai kemendalaman religius. Suasana saja. Suasana terbentuk dari deskripsi (teramat) panjang dan “melelahkan”. Kita membaca: pintu-pintu langit terbuka menerima segala yang akan sirna, menguburnya di awan terjauh/ sepasang kupu-kupu terbang menembus bintang-bintang, menerobos miliar sungai galaksi/ “menemu siapakah?” tanya belalang yang bersembunyi ketakutan ditatap malaikat maut/ langit senja jatuh di biru laut, bosang menyanyikan teror cinta dan gairah hidup yang sia-sia. Pembaca berada dalam pemangadang luas. Semua ingin terlihat dan hadir.
Pada diri tenang menikmati puisi, percik-percik religius mungkin terperoleh saat membaca puisi gubahan Fadjroel Rachman. Puisi digubah pada 2007, berselang lama dari puisi-puisi terbaca religius gubahan Amir Hamzah dan para pujangga masa 1970-an. Kealaman masih dituliskan Fadjroel Rachman, belum mau menghadirkan lambang-lambang keurbanan “menguasai” pengisahan. Kita lanjutkan: “apakah engkau takut kehilangan?” letih azan magrib tersesat demam warna-warni bunga/ aroma mawar menyekap perempuan tanpa cinta di harem sultan menguliti jemari purnama. Kita diajak menuju ke kejauhan. Lambang melompat tanpa terduga.
Di larik-larik terakhir, geram dan tegang memuncak terbaca. Fadjroel Rachman terbawa sejenis gugatan, sikap ingin mengatasi segala dianggap sulit berkenan. Simak: anjing menyalak menyeret malam, mengencingi tiang-tiang suci rumah tuhan dan dewa/ belerang panas menyusup paru-paru kumbang lepuh membengkak, berjinjit maut & dosa/ hujan jarum cemara menyesaki keranda, bunga-bunga menyebarkan wangi mengerat nisan/ “sungguhkah tak ada talqin dan azan untuk bunga-bunga bila nama tuhan sirna di kalbu?” kita sampai kewajaran dari kebiasaan orang menulis puisi berkaitan batin, menghadirkan diri dan tuhan, memerlukan bahasa-bahasa sering repetitif. Fadjroel Rachman masih terbawa dengan suara keras setelah menginginkan larik-larik dalam situasi (setelah) magrib. Begitu.