Di khazanah puisi Indonesia, para penggubah puisi mengenai masjid sering lelaki: Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain. Kita membaca puisi-puisi mengisahkan masjid memiliki tokoh-tokoh lelaki. Mereka mungkin paling sering mengunjungi atau berada dalam masjid. Ibadah ke masjid. Sekian hal pun bisa diselenggarakan di masjid. Puisi-puisi kadang memberi pengaruh dalam “imajinasi” pembaca bahwa masjid itu terceritakan melulu oleh kaum lelaki. Kita belum ingin ada gugatan. Puisi demi puisi bertokoh lelaki mungkin berterima di kalangan pembaca bila tak merasa perlu memikirkan suara-suara dari keragaman pengalaman.
Pada 1996, Medy Loekito menulis puisi berjudul “Anakku Menggambar Masjid (1)”. Puisi mengandung representasi pengalaman dan pemaknaan melalui bocah, ibu bertugas menuliskan tanpa terlalu “turut campur”. Keinginan menahan diri tak terbukti saat kita mendapatkan diksi-diksi itu suara si ibu, tak lagi si anak. Kita ingin mula-mula membaca dengan keluguan. Ibu mengisahkan anak saat memikirkan atau merenungkan masjid: anakku menggambar masjid/ berkubah emas, menara permata dan pualam pilarnya/ pepohon berbatang coklat berdaun mentega/ rerumputnya lautan malam serta gemintang bertebaran. Masjid digambar dalam megah, agung, mewah, indah, dan meriah. Masjid terdapat dalam gambar ditatap ibu. Si bocah menggambar mungkin berdasarkan pengalaman dan imbuhan-imbuhan imajinasi.
Masjid (hampir) sempurna dalam tatapan mata. Kita sadar si ibu melancarkan sindiran-sindira melalui si anak menggambar masjid. Masjid itu bangunan. Insaflah pembaca atas ambisi di desa dan kota mendirikan atau memperbaiki masjid-masjid menjadi indah dengan ongkos besar. Ongkos dari pelbagai sumber. Orang naik bus jurusan Jogja-Surabaya memiliki ingatan orang-orang membawa kotak, amplop, dan proposal biasa masuk dalam bis. Berceramah dilanjutkan mengumpulkan uang dari penumpang. Orang-orang itu mengatakan duit mau disumbangkan dalam pembangunan dan perbaikan masjid. Tahun demi tahun, pola itu belum berubah. Pada masalah berbeda, publik mengetahui kebijakan pemerintah atau institusi-institusi partikelir mendirikan masjid-masjid di kota dengan segala kelebihan. Masjid di tatapan mata, mengarah ke tempat (bakal) dipariwisatakan bercap islami, religius, atau halal.
Di puisi, Medy Loekito melanjutkan: di dalamnya sepi tiada sembahyang// di belakang cakrawala menyala merah dengan/ alif – ba – ta beterbangan di mana-mana. Masjid-masjid besar tampak memikat di luar. Kesaksian di dalam terasa kesepian,. Jumlah orang di masjid terhitung sedikit. Puisi “diakui” mengenai anak menggambar masjid tak lugu lagi saat kita bertemu kritik atau sindiran. Kita menduga “anakku” dalam puisi memiliki pengamatan dan keberanian dalam kritik tanpa memicu hujatan, mengafirkan, penodaan agama, dan lain-lain.
Perbedaan kita temukan dalam puisi berjudul “Anakku Menggambar Masjid (2)”. Puisi mulai memili suara terang dari si anak. Kita berada di belakang si anak dalam pengisahan dan pemaknaan masjid. Si anak mengalami masalah pelik berkaitan masjid. Ia mungkin memikirkan ibadah. Ia juga mengangankan masjid selalu terbuka dan hidup, setiap hari. Bocah dalam keluguan dan kesulitan diri untuk diam bila mengetahui ada perkara-perkara bertema masjid bisa dipikirkan secara tenang, bijak, dan berhikmah.
Kita membaca: dilukiskannya beribu masjid kecil/ di balik ranggas helai ilalang/ hanya ayunnya yang nampak. Bait awal sudah prihatin. Tempat ibadah masih dimengerti dengan ukuran kasat mata. Gambaran masjid berbeda dengan puisi terdahulu atau edisi satu. Si anak sedang menghadirkan “oposisi” pengalaman dan penilaian masjid. Lanjutan cukup mengejutkan: di mana, o di mana/ anakku mulai menangis/ ia kehilangan masjid. Anak menangis dan sedih atas nasib masjid. Ia pun menangis dipengaruhi ibadah wajib dan sunah biasa diadakan di masjid. Menangis bila jumlah orang makin sedikit dan “acara-acara” di masjid dalam kejumudan, selain pelaksanaan ibadah salat. Begitu.