Islam dan kemaritiman. Kita merasakan saat membaca puisi berjudul “Kayuh Tasbihmu” gubahan Slamet Sukirnanto (1981). Cerita atau sejarah mendakwahkan Islam di Nusantara memiliki sekian kekhasan, dari lakon maritim sampai lakon agraris. Kita memiliki sumber-sumber untuk mengetahui tata cara dan pengaruh Islam saat disampaikan di kalangan dengan beda peradaban di Nusantara. Pilihan bahasa dan simbol terbedakan menurut misi mengajak orang-orang beriman, menetapak diri sebagai penganut Islam. Ingatan tentang mengislamkan Nusantara memang mengacu ke pengisahan-pengisahan tak semua bisa terwariskan dalam tulisan atau catatan. Kita mengerti setelah masih menemukan warisan-warisan dari masa silam berupa perahu, perabot, nisan, dan lain-lain.
Di puisi, Slamet Sukirnanto bukan mengisahkan atau mengabarkan (dakwah) masa lalu. Kita membaca dengan panggilan-panggilan lirih atas kesejarahan maritim dalam sebaran Islam di Nusantara, terutama di tempat-tempat perkembangan sastra Melayu. Puisi digubah Slamet Sukirnanto di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Pulau mengingatkan ketokohan Raja Ali Haji. Pujangga menghasilkan “Gurindam 12”. Tokoh selalu dikagumi dalam dakwah, sastra, dan rintisan membentuk “Indonesia”. Tulisan demi tulisan mengiringi babak-babak perubahan di Nusantara, tergunakan sebagai pemicu dari sekian gerakan dan kemauan berbahasa, bersastra, beriman, dan berbangsa.
Slamet Sukirnanto mungkin menjadi ahli waris dengan menulis larik-larik kemaritiman: Kayuh tasbihmu/ Dayung sampan iman/ Darah daging menuju hulu/ Mengalir, terus mengalir dzikir. Kita berimajinasi berada dalam air. Gelombang atau gerak secara ragawi disempurnakan oleh gerak batin. Gerak berdasarkan iman. Di sampan, orang itu meninggalkan dan menuju. Iman adalah kompas, mengerti gerak untuk pengabdian dan keberserahan kepada Tuhan. Pancaran iman memberikan keberanian, ketabahan, kesungguhan, dan kesantunan. Bait itu mengawali undangan mengerti Islam dan kemaritiman.
Kita lanjutkan dalam renungan agak panjang. Slamet Sukirnanto ingin segera mengajak “masuk” para pembaca ke diksi-diksi keagamaan memuat perintah, imbauan, penerangan, dan peringatan. Kita simak: Keringat tobat subuhmu/ membasahi jagad/ minta cahaya/ Dzikir mengalir sampai mana?/ Pijar penerang/ Jalan tongkangku/ Kadang lurus/ Kadang berliku/ Berputar-putar atau diam/ Di pusaran disergap gelap. Iman dalam diri tak tetap. Orang mengerti iman justru dalam pergolakan-pergolakan. Orang bisa lurus, khilaf, berbelok, insaf, alpa, atau fanatik. Kesanggupan beriman membutuhkan jawaban-jawaban atas beragam situasi. Iman tanpa pergolakan mungkin kemustahilan bagi orang mengenali diri, Tuhan, semesta, dan lain-lain.
Pembaca memasuki puisi keberlimpahan air, mengetahui daratan tapi bermain suasana dan lambang kemaritiman. Pada bait ketiga, mulailah menemukan panggilan sufistik: Hanyut semua ikhwal/ Hanyut semua gejala/ hanyut semua yang fana/ Tertinggal jauh dekat senja. Pemandangan terasa “kehilangan”. Sekian orang mengartikan itu “kemestian-sampai”. Peristiwa “hanyut” bukan kecelakaan tapi ejawantah kehendak-kehendak religius. Segala kefanaan menuju titik-sampai. Fana-fana tampak sebagai kehilangan atau punah tapi berada dalam ketentuan berlaku. Fana sebagai kesementaraan terbaca dalam ragawi, waktu, dan tempat.
Selama berada di tanah sah perkembangan sastra Melayu dan dakwah Islam, Slamet Sukirnanto kelahiran Solo dan pernah tinggal di Jakarta, merangsang pengetahuan dan pengalaman religius. Ia tak mencantumkan nama Raja Ali Haji, para pujangga, dan para ulama telah memberi bobot pengisahan dan dakwah Islam, dari masa ke masa. Pembaca tak diajak berkenalan dengan tokoh-tokoh tapi terjanjikan mengerti ada pengawetan pesan dari masa lalu. Slamet Sukirnanto mengakhiri puisi dengan kebijaksanaan: Kayuh tasbihmu/ Dayung sampan iman/ Makrifat dan salawat/ Berlabuh sangat merapat. Kita terus menemukan dakwah dan pengisahan kemaritiman bagi orang-orang beriman, membahasakan gerak diri dan hidup dalam lambang-lambang telah terpakai para pujangga masa lalu. Begitu.