Rifai Ali, pujangga mungkin tak mudah diingat bila membuka halaman-halaman sastra masa 1930-an dan 1940-an. Pujangga kelahiran Padang Panjang, 24 April 1909, mempersembahkan puisi-puisi “berdakwah” jarang dikutip dalam perbincangan sastra keagamaan di Indonesia. Ia teringat dan tercatat dalam bungan rampai Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (HB Jassin) dan Tonggak (Linus Suryadi AG). Nama pernah ada, puisi-puisi pernah terbaca. Masa demi masa, jumlah pengutip makin berkurang dalam menghormati puisi-puisi termuat dalam surat kabar dan buku.
Pada 24 April 2021, kita mengenang dan memberi penghormatan dengan membaca sebiji puisi gubahan Rifai Ali berjudul “Akhirat dalam Dunia.” Puisi bisa dibacakan saat ceramah agama atau dikutip dalam buletin-buletin dakwah. Puisi bercorak lama, tak ingin rimbun kiasan tapi tetap mengingatkan pembaca pada ibarat-ibarat biasa. Kita membaca tanpa kesusahan. Puisi itu sederhana, terduga digubah sengaja memenuhi misi dakwah: ingin terang dan terpahamkan. Rifai menulis: Saya bertemu dengan Muhammad,/ Yang memandang ibadat tiap laku,/ Segala tanda gerak hayat,/ Dengan syarat yang ada satu.// Ialah niat, kesadaran hati,/ Bahwa sesuatu perbuatan/ Dilakukan dengan mengerti,/ Bahwa ia disukai Tuhan.
Puisi mudah dimengerti murid SMP atau SMA. Tatanan memang puisi “lama”, tak ada pilihan kata sulit atau geliat imajinatif. Puisi adalah salinan dari khotbah tapi dibuat mengesankan memenuhi kaidah kesusastraan. Orang awam mengerti maksud dalam dua bait: ibadah bergantung niat, perbuatan ditentukan niat. Pembaca berpikir singkat, belum perlu renungan panjang berbelit.
Puisi menggunakan cara lama bernasihat. Cerita tertata dan urut. Pesan-pesan selalu ada berkaitan. Kita baca lagi: Muhammad nabiku sudah tepat,/ Meneladannya genap bahagia,/ Sebab di dalam menuju akhirat/ Aku hidup di pusat dunia.// Dari mandi bergosok gigi,/ Bersisir berharum badan,/ Sampai bercinta dengan isteri/ Terhitung semua jadi amalan. Kita membaca perlahan: lekas paham. Peristiwa-peristiwa keseharian berbobot ibadah ditentukan niat. Pelaku berhak menjadikan Muhammad adalah teladan. Semua terhindar dari sia-sia. Selama hidup di dunia, mengalami dan memaknai dengan ibadah mengarahkan ke akhirat. Peristiwa-peristiwa sering dianggap biasa saja, berbeda pengertian bila menggunakan pendasaran agama. Di situ, perhitungan pahala terjadi, menjauhi sia-sia dan dosa. Dua bait belum membuat pembaca berpikir pelik. Hal biasa disampaikan penceramah, terbaca dalam buku-buku (pelajaran) agama.
Contoh-contoh bobok peristiwa dan makna-amalan disajikan lagi berkaitan tata kehidupan modern: Sejak pencangkul tanah di gunung,/ Yang berpanas di sawah ladang,/ Hingga ke bankir di dalam gedung,/ Terpandang mujahid yang berjuang.// Mulai dari mengadu suara/ Mempertahankan hak beras sebutir,/ Sampai mempersilatkan ilmu negara/ Membela kehormatan tanah air.
Pada peristiwa-peristiwa berbeda, niat tetap pedoma. Kesadaran bahwa itu (termasuk) ibadah menjadikan orang ikhlas, tulus, dan bertanggung jawab. Ia tak sekadar dalam peristiwa-peristiwa duniawi. Ada pemberian bobot keagamaan, menghasilkan misi-misi kebaikan, kebenaran, keadilan, kebahagiaan, kerukunan, dan lain-lain. Dulu, para pembaca puisi itu mungkin sedang merasa diceramahi. Puisi mengesankan digubah orang sudah tua, menempatkan puisi sebagai nasihat-nasihat untuk anak dan cucu. Puisi tanpa riak. Kita membaca bait demi bait belum dituntut merenung panjang. Puisi condong gamblang.
Kita membaca lagi puisi mungkin cuma tercetak di kertas terbiarkan lama tanpa tatapan mata. Membaca dengan penerimaan lumrah, tak menuntut mutu estetika atau kelincahan berbahasa. Di depan puisi, kita menjadi sederhana dan menerima. Puncak konklusi, setelah bait-bait terang: Semua hidup dan mati,/ Asal lillah di dalam niat,/ Semuanya menjadi bakti,/ Menurut ajaran rasul Muhammad. Kita makin mengerti bahwa dakwah melalui puisi bisa basi bila terlalu gamblang. Begitu.