Tinggal di Bumi, orang-orang memiliki sebutan-sebutan untuk nasib. Mereka mungkin mengatakan sedang menempuhi jalan, berada dalam lorong, terdapat di koridor, atau menapaki titian. Sekian sebutan mengartikan mereka menunaikan amanah hidup, tak semua terpenuhi. Manusia menanggung kecewa, kehilangan, sesalan, girang, dan maklum atas nasib termiliki dengan kegagalan dan capaian memberi pertanggungjawaban amanah. Manusia ingin bahagia tapi belum terjamin. Keinginan bermakna di dunia dan akhirat terus diejawantahkan, sulit penuh dan tuntas.
Bermula dari kitab suci, kita membaca kisah manusia-manusia masa lalu. Mereka berada di zaman-zaman berbeda, melakoni nasib dalam deru tak berulang. Pembandingan manusia mengacu zaman ke zaman menghasilkan “tamsil”. Orang mempelajari, berharap menuai hikmah saat zaman telah berubah, menjauh dari zaman-zaman kadang dianggap “istimewa”. Pembandingan biasa memicu pengutukan zaman sekarang tapi mengagungkan masa lalu memiliki selisih jauh. Pada zaman berbeda, manusia selalu menuntut kesilaman. Nasib terasa tak tertanggungkan.
Gus Tf (1989) dalam puisi berjudul “Seorang dalam Lorong Bernama Zaman” menempatkan manusia memiliki seribu kehendak dan berani meratap berkepanjangan. Gus Tf mengisahkan: ia pelihara, dan tegakkan, kenangan pada kerawanan/ setiap kali, disapanya kerutinan, ia bernyanyi,/ bernyanyi nyanyi melupakan keterpencilan atau/ sesekali sembunyi menyurukkan diri – dari kesakitan/ sakit apa dirinya/ tapi di mana ia. Sejak masa 1950-an, puisi-puisi mengenai keterasingan, keterpencilan, atau keterpurukan terbaca dalam halaman perkembangan sastra Indonesia. Pesimisme tercatat dalam puisi-puisi, menanggapi zaman “buruk” akibat guncangan penciptaan sejarah melalui perang, konflik, pemberontakan, dan lain-lain. Di Bumi, manusia tanpa janji bahagia secara gampang, terlindungi dari kutukan-kutukan zaman. Situasi itu menjadikan orang-orang justru keranjingan menguak makna agama dan Tuhan. Kecaman diserukan tapi keinginan kembali ke iman pun ditempuhi.
Zaman disangka buruk menghasilkan pendapat-pendapat “menghancurkan” ketimbang pemulihan atau kebangkitan. Angan ingin kembali ke zaman terdahulu muncul sebagai “hiburan”. Pada bait berbeda, kita membaca: jam yang mengukur usia, inilah kotanya, daerah/ banyak tuhan yang membuat ia kesepian, lorong ini!/ segalanya tumbuh serupa cendawan, kubus-kubus/ beton, pilar-pilar baja, dengan diskotik/ dan bilbor sebagai penanda: ia baca namanya. Kita mengerti bait bercerita manusia dalam abad XX, ditempatkan di kota-kota bergegas: bertumbuh dengan material mencengangkan dan pemerosotan kaidah-kaidah tentang kemanusiaan-kealaman-ketuhanan. Lumrahlah tokoh dalam puisi pesimis, menjatuhkan diri dalam kubangan melawan tapi sadar kalah-kalah!
Di situ, orang ingin membantah hiburan-hiburan abad XX telah merusak. Suasana kota mendesak keluguan, kehormatan, dan kesederhanaan. Pergaulan manusia berlatar abad XX terduga penuh konflik. Keramaian-keramaian sepanjang hari tapi ingatan waktu menaruh manusia dalam sepi-sepi berketerusan. Ia merasa kehilangan, tak diinginkan zaman, terpencil dari pusat pemaknaan hidup. Ia dilanda bingung: di sanalah dirinya/ tapi ke mana ia. Konon, orang makin bingung menjawab “dari” atau “ke”. Manusia sepi memurungkan Bumi, mengesalkan zaman.
Kita lanjutkan sodoran nasib oleh Gus Tf: ke mana-mana ia, namun di lorongnya saja, hotel-hotel/ beton, losmen-losmen baja, o usia yang mengukur/ sesiapa, ia baca namanya: sebagai pengembara, sebagai/ jembatan bagi setiap jalan sebagai kejadian pada/ sebuah masa – jauh, jauh sekali kemudian. Manusia merasa bergerak, meninggalkan dan menuju. Situasi absurd menjebak manusia tak lagi mengerti “dari mana” dan “ke mana”. Kita membaca sosok, hal, dan suasana berlatar kota, lokasi modernitas selalu berlari tapi membuat berantakan. Manusia lekas kalah tapi merasa masih tegak dan memiliki hidup. Bimbang ditampik argumentasi berlebihan atau omong kosong. Di akhir, kita membaca manusia makin tak mengerti: saat kita sapa, “andakah seseorang dalam lorong/ bernama zaman?” Puisi itu terbaca memberat. Begitu.