Remaja itu pemberani dan pelanggar nasihat. Kita ikuti ulah Lulu, sosok turut dalam menentukan biografi Lupus: “Si Lulu ternyata gokil juga. Dia nekat bersandal jepit-ria ke sekolahnya Lupus, padahal maminya udah wanti-wanti ngebilangin, ‘Nanti perginya pakai sepatu ya, Lu? Jadilah anak yang manis.’ Tapi Lulu cuwek. Emang sih, dari rumah dia udah pake sepatu, tapi pas sampe di halaman depan, dicopot diganti sandal jepit swallow biru. Sepatunya dilempar ke kamar lewat jendela. Setelah itu berlarilah dia sekencang-kencangnya ke jalanan. Takut ketahuan maminya.”
Pada suatu masa, sekolah itu tempat memberi dan melaksanakan perintah. Murid-murid masa lalu ingat bahwa bersepatu itu perintah. Kaki-kaki ingin bergerak dan mendapat angin terpaksa ditutupi sepatu. Konon, sepatu demi kerapian, keindahan, kepantasan, dan ketertiban. Lulu tak sedang melakukan demonstrasi sendirian melawan perintah-perintah. Ia menunaikan misi membawa surat izin Lupus untuk diberikan kepada wali kelas di SMA. Misi malah mengikutkan keberpihakan berisiko: sepatu atau sandal.
Pada masa 1980-an, cerita lucu berjudul “Lupus Sakit” itu mungkin membuat para remaja bersukacita mengartikan diri dan sandal jepit. Cerita termuat dalam buku berjudul Topi-Topi Centil (1988) persembahan Hilman. Si pengarang membuat kaum remaja keranjingan membaca cerita, menjadikan buku adalah benda keramat dan penghiburan sepanjang hari. Kita mengingat lagi lakon remaja masa lalu mengacu cerita-cerita gubahan Hilman telah berpamitan dari kita dan dunia: 9 Maret 2022. Remaja dan sekolah itu ketetapan dalam cerita tapi sekian hal masih mungkin terceritakan dengan haru, tertawa, bingung, seru, dan absurd.
Kita berlanjut menikmati “pemujaan” sandal Jepit oleh Lulu dan Lupus dalam buku berjudul Sandal Jepit (1989).
Di sampul buku, sandal jepit itu berwarna putih dan merah, tak lagi biru. Hilman seperti sedang membuat gerakan bersandal jepit di seantero Indonesia. Di cerita, ia berseru sandal jepit: “Sandajepitmania sedang melanda Lupus dan Lulu. Ini semacam penyakit kegilaan akan sandal jepit. Selama liburan, adik-kakak itu kompak banget dalam hal sandal jepit. Ke mana-mana, selalu pake sandal jepit. Mau bobo, pake sandal jepit. Mau jalan-jalan, pake sandal jepit. Mau pipis, juga pake sandal jepit.”
Penampilan remaja tak selalu ingin rapi dan mematuhi segala perintah bijak orangtua. Selera busana menjadi cara remaja mengungkap identitas dan membuat persekutuan dengan sesama. Mereka memikirkan dampak-dampak dalam berbusana, termasuk mengurusi kaki. Sandal jepit itu pembebasan. Mereka mengartikan sandal jepit mengartikan kesantaian dan derajat sedang diumumkan di hadapan publik. Peradaban kaki mereka berhadapan pelbagai peraturan di sekolah, rumah, dan ruang publik. Hilman merekam zaman dengan pengisahan remaja “memuja” sandal jepit. Masa 1980-an, remaja ingin lolos atau melanggar perintah-perintah menjemukan dan memberi siksaan.
Remaja masa 1980-an dan 1990-an di pelbagai kota juga membentuk biografi dengan bis. Mereka belum terlalu bersaing mengendarai sepeda motor. Kebersamaan dan petualangan terpenuhi dengan naik bis untuk beragam urusan: sekolah, dolan, atau iseng. Di bis, mereka mengetahui hidup. Mereka mengetahui cewek dan cowok. Konon, bis masa lalu biasa menguak debar-debar asmara. Remaja naik bis seperti sedang memerankan tokoh kasmaran memiliki ribuan impian. Lumrah saja ada lagu-lagu bertema bis mengiringi kehidupan para remaja masa Orde Baru.
Kita membuka berjudul Makhluk Manis Dalam Bis (1987). Hilman berbagi cerita kebiasaan para remaja naik bis menuju Blok M. Para remaja mengikuti keinginan-keinginan seru. Kita berimajinasi peristiwa 4 remaja: “… berlompatan naik ke dalam bis yang enggan berhenti. Sang kondektur melirik jengkel pada mereka. Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naik bis pada ribut sekali. Padahal bayarnya cuma gocap. Dia apal betul. Terutama Lupus yang selalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboy SMA Merah Putih yang wajahnya gabungan antara Jaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok banget deh!).” Di bis, mereka bikin ribut gara-gara ada cewek manis.
Omongan-omongan mereka sadis, memicu tawa dan malu. Bis menjadi tempat mengumbar kata dan pengharapan sambil bersaing ledekan. Kaum remaja memang cerewet tapi tak membosankan bila dibandingkan pidato pejabat-pejabat Orde Baru atau para pembina upacara bendera.
Lupus pun berpidato bijak. Pidato tanpa teks dan misi meraih kekuasaan: “Ngejar-ngejar cewek mungkin lebih enak daripada kalau udah ngedapetin. Soalnya, kita masih remaja. Masih ingin bebas. Jiwa hura-hura kita kan lebih besar daripada jiwa romantisme kita. Dan kata orang, cewek itu ibarat bis. Lewat yang satu, bisa menunggu yang berikutnya. Jadi nggak usah terlalu dikejar. Apalagi pake patah hati segala.” Lupus memang bijak. Tokoh terlalu dimiliki kaum remaja masa lalu. Indonesia tanpa Lupus mungkin sepi dan murung. Hilman telah memberikan Lupus agar kaum remaja Indonesia memiliki panutan ketimbang selalu mencontoh pejabat dan artis. Lupus, sosok menjadikan Indonesia memiliki ribuan atau jutaan pembaca. Kebenaran tak terbantah. Begitu.