Pada suatu hari, teman mengabarkan ada penjualan buku murah di penerbit Lentera Hati. Tafsir Al Mishbah, 15 jilid, susunan Quraish Shihab mendapat diskon besar. Oh, kabar baik saat Ramadan. Oh, kabar belum baik bagi penulis tak bergaji atau mendapat tunjangan pemerintah. Penulis cuma pendoa crigis dengan kata-kata dalam esai, resesensi, atau catatan-kliping.
Sejak kabar itu sampai, ia berdoa agar ada orang-orang terlalu beriman dan bertakwa tiba-tiba mengirimkan 15 jilid itu menuju Bilik Literasi (Solo). Orang itu pasti tak salah tafsir bahwa kebaikan jangan tergesa berbalas surga. Kehadiran 15 jilid belum tentu pula terbaca untuk meningkatkan iman dan takwa mumpung Ramadan.
Ah, ingat godaan masa lalu. “Katakan dengan ENI!” Sebiji kalimat di Tempo, 21 Maret 1992. Kita membaca ENI. Sekian orang mengingat perempuan bernama Eni, bukan Ani, kekasih Rhoma Irama dalam lagu romantis. Penulisan menggunakan huruf kapital. Wah, akronim belum tentu mengartikan perempuan! ENI itu Ensiklopedia Nasional Indonesia. Foto di iklan menampilkan jajaran ensiklopedia 18 jilid.
Pada masa 1990-an, ensiklopedia berupa buku besar, tebal, berat, dan mahal masih digemari orang-orang mau pintar. Ensiklopedia, benda dipamerkan pejabat, saudagar, dan tokoh publik dengan menaruh di lemari kaca atau rak buku di kantor, ruang tamu, atau ruang keluarga. Orang-orang memandang diminta kagum dan cemburu.
Pada 1950, Robert A Heinlein menulis: “Krisis terbesar yang kita hadapi adalah penataan dan kemudahan mendapatkan pengetahuan. Kita memiliki ‘ensiklopedia’ amat besar yang bahkan tak tersusun menurut abjad. ‘Kartu indeks’ kita berserakan dan acak-acakan. Jawaban yang kita inginkan bisa jadi berada di dasar timbunan, tapi untuk menemukan dua fakta yang sudah diketahui, menyandingkan keduanya, dan menyimpulkan fakta ketiga yang benar-benar kita perlukan, mungkin butuh waktu seumur hidup.”
Pesimisme dan ejekan paling menjengkelkan bagi orang-orang terbujuk mengoleksi dan membaca belasan jilid ensiklopedia. Pendapat “sinis” itu dicantumkan di halaman awal dalam buku berjudul The Google Boys (2016) garapan George Beahm. Duh, kutipan menjawab dan memerintahkan kita agar “beriman” pada Google untuk mencari apa saja. Ensiklopedia bukan pujaan lagi.
Kalimat-kalimat dari tahun 1950 itu terbukti! Kita menemukan rumus termudah, tercepat, dan termurah. Orang jangan mencari secuil pengetahuan sampai menggeh-menggeh seumur hidup atau mampus. Orang masih berhak pacaran, makan enak, tidur, pelesiran, atau menonton film asal jangan berlagak mencari pengetahuan sampai mati gara-gara kisruh menghadapi ensiklopedia. Abad XXI membuat ensiklopedia menganggur.
Di pasar buku loak, beragam ensiklopedia masa lalu ditumpuk dan diikat, berharap ada orang mau membeli. Hari demi hari menanti ensiklopedia laku, orang-orang malah memilih jurus searching. Ensiklopedia pun merana dan mendekati ajal.
Dulu, penerbit dan distributor Ensiklopedia Nasional Indonesia menawarkan ke umat Islam: belilah untuk hadiah Idul Fitri. Bujukan mengganti bingkisan Lebaran berisi sirup, sarung, kurma, roti. Bingkisan terindah adalah 15 jilid ensiklopedia. Usulan menimbulkan pahala berpengetahuan ketimbang makan.
Kita simak: “Wujudkan simpati Anda dengan cara modern dengan menghadiahkan 1 (satu) set Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI) kepada para sahabat, relasi, anggota keluarga atau orang yang Anda sayang dan hormati.” Kita berimajinasi ada remaja mendapat 15 jilid dari bapak ibu. Kita mengingat ada orang menangis mendapat 15 jilid dari kekasih. Harga mahal tapi setimpal.
Si penerima bingkisan boleh klenger atau mabuk pengetahuan menikmati Lebaran, menghindari makanan-makanan enak mengakibatkan darah tinggi, kolesterol, atau gemuk. Begitu.