Orang-orang sibuk berpolitik. Orang-orang sibuk mengurusi nama-nama penggerak dan pembentuk sejarah. Orang-orang memilih nama-nama untuk membawa Indonesia menuju masa depan atau “masa rawan”.
Pada beragam peristiwa dan isu politik, nama Soekarno lekas muncul menjadi referensi. Kini, kita tak selalu mengucap nama dan mengingat sekian pemikiran. Pada abad XXI, kita justru diajak melihat patung-patung Soekarno di pelbagai kota dan desa. Soekarno itu patung dengan adegan-adegan terpilih saat ia membaca teks proklamasi dan menjadi penguasa. Kita belum sempat mencatat jumlah tapi kabar-kabar terus berdatangan bahwa patung-patung dengan beragam ukuran diresmikan oleh tokoh-tokoh politik. Publik kadang memberi kritik berkaitan sejarah, ketokohan, anggaran, dan estetika.
Pembaca buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) susunan Cindy Adams mungkin tak menduga bakal bermunculan “saingan” demi mengingat tokoh dan sejarah. Dulu, orang-orang mengagumi atau membenci Soekarno memilih membaca buku-buku. Imbuhan agak lumrah adalah foto dan poster.
Di sampul buku lawas, kita melihat foto Soekarno berpeci hitam. Halaman-halaman isi memuat foto-foto Soekarno (kecil, muda, dan tua) dalam beragam peristiwa. Pada masa berkuasa, Soekarno sadar kekuatan makan patung, monumen, atau tugu. Ia menjadikan Indonesia ramai sejarah di ruang publik dan tempat-tempat pilihan. Pada masa berbeda, patung-patung Soekarno tampak berdiri dan duduk. Orang-orang perlahan mengingat patung-patung ketimbang menjadi pembaca buku-buku Soekarno.
Kita membuka buku berjudul Monumen dan Patung di Jakarta (1993) terbitan Dinas Museum dan Sejarah, DKI Jakarta. Di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, terdapat Monumen Soekarno-Hatta. Di situ, ada dua patung dalam posisi berdiri. Pembuatan monumen atas prakarsa Soeharto. keterangan terbaca: “Patung Bung Karno dibuat dari bahan perunggu dengan ketinggian 4,60 m dan berat 1,2 ton. Patung Bung Hatta dibuat dari bahan perunggu dengan ketinggian 4,30 m dan berat 1,2 ton.” Kita tidak menemukan jumlah anggaran. Keterangan terpenting: peresmian oleh Soeharto, 16 Agustus 1980. Soeharto mungkin tak menduga jika jumlah patung Soekarno bertambah setelah kejatuhan rezim Orde Baru.
Patung dianggap sebagai pengingat sejarah. Patung untuk menghormati tokoh. Patung memberi kebanggaan Indonesia. Segala argumentasi diajukan dalam pendirian monumen dan patung. Misi makin membesar pada abad XXI. Orang-orang mengatakan itu “zaman digital” tapi Indonesia malah memasuki “zaman patung”.
Kita mengingat masalah-masalah patung demi (sejarah dan masa depan) Indonesia. Ingatan terbaca dalam berita dimuat di majalah Tempo, 15 September 1979: “Sikap Bung Karno dan Bung Hatta, agaknya menjadi masalah pokok bagi peserta sayembara patung proklamator. Bung Karno memegang naskah proklamasi dengan kedua tangan atau hanya sebelah? Dan Bung Hatta? Belum lagi latar belakangnya.”
Puluhan seniman menjadi peserta agar bisa memberi persembahan patung Soekarno dan Hatta. Mereka bergairah tapi kurang peka referensi sejarah. Kritik dan prihatin disampaikan: “Yang agak mengherankan, kenapa tak ada yang mencoba menimba ilham dari foto dokumentasi IPPHOS. Soekarno-Hatta di depan, dan di belakangnya sejumlah orang dengan khidmat mengikuti pembacaan naskah proklamasi. Sekaligus banyak hal bisa dicapai dengan itu: suasana waktu itu yang bisa digambarkan dengan pakaian, figur, dan makna proklamasi yang didukung seluruh rakyat.” Berita bisa terbaca (lagi) sambil menonton patung dua tokoh di Jakarta dan pelbagai kota.
Pada abad XXI, patung-patung Soekarno diharapkan bermakna tentang proklamasi, Pancasila, buku, kepemimpinan, dan lain-lain. Soekarno makin terkenang dengan patung. Kita biasa melihat ada kutipan kata-kata di patung atau monumen. Di depan mata, patung-patung Soekarno lekas dimengerti publik sebagai tempat untuk berpotret. Mereka menampilkan raga dan pakaian belum tentu selaras dengan patung-patung. Jumlah potret itu mungkin mengalahkan jumlah potret orang sedang membaca buku-buku Soekarno.
Kita belum perlu menagih setiap pembuatan dan peresmian patung dilengkapi brosur atau buku kecil mengenai Soekarno dan sejarah. Konon, jumlah patung terus bertambah itu demi kepentingan politik ketimbang sejarah. Patung dianggap memadai dalam pengenalan tokoh dan memberi penggalan-penggalan sejarah. Kita tak usah sedih atau malu bila orang-orang tak lagi membaca buku-buku Soekarno. Pada abad XXI, patung mungkin lebih memikat ketimbang kita. Kita jangan keterlaluan dengan membuat “perseteruan” makna antara buku dan patung.
Pada masa lalu, patung-patung itu masalah. Kita masih menemukan berita kecil di Tempo, 15 September 1979. Sumber masalah dari Istana Negara. Dua anak proklamator membuat surat pembaca atas acara resepsi Hari Proklamasi dengan menghadirkan dua patung Soekarno-Hatta berukuran kecil. Patung datang dari sponsor: President Hotel. Keprihatinan disampaikan: proklamator mengungkapkan: “… patung kedua proklamator yang menggambarkan adegan sangat bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia itu dibuat dari mentega dan hanya berfungsi sebagai dekorasi makanan.” Ajakan menghormati tokoh dan mengingat sejarah melalui patung. Di tatapan mata, para tamu di Istana Negara melihat itu mentega.
Kita disadarkan bahan-bahan dalam pembuatan ratusan patung Soekarno, sejak dulu sampai sekarang. Penggunaan bahak dan ukuran menentukan anggaran. Orang berpikiran serius bisa membuat hitungan jumlah rupiah demi mendirikan patung-patung Soekarno. Ia mungkin “malu” mengetahui bujukan sejarah itu (terlalu) mahal. Jumlah miliaran atau triliunan rupiah bisa menjadi buku-buku “mencukupi” dibagikan di seantero Indonesia. Begitu.