Sejarah ide dan kemauan membesarkan misi pemuliaan Indonesia terkadang tersimpan di lembaran-lembaran kertas, tak gampang lagi ditemukan atau mendapat pembaca. Kemunculan pelbagai serikat, perkumpulan, dan partai politik sejak awal abad XX memberi warisan berupa buku dan majalah. Sekian hasil cetakan itu mulai sulit dilacak dan didokumentasikan di album sejarah Indonesia. Dulu, “kaoem moeda” menjadikan tulisan sebagai cara terampuh di sebaran ide dan kesanggupan berhadapan dengan pemerintah kolonial. Mereka mulai berpihak ke pesona percetakan dan ambisi literasi di tanah jajahan dihuni jutaan orang belum bisa membaca-menulis.
Sekian hari lalu, kita diingatkan pada ketokohan Kasman Singodimedjo, setelah mendapat gelar pahlawan. Ia pernah bertumbuh di Jong Islamieten Bond (JIB). Kita dituntun ke masa 1920-an dan 1930-an untuk mengerti peran Kasman Singodimedjo sebagai penggerak JIB. Perkumpulan turut dalam pemaknaan Soempah Pemoeda dan pembentukan Indonesia Moeda. Peran tokoh tak melulu melalui pidato. JIB justru mengedarkan pelbagai ide melalui terbitan majalah, bermaksud ada jalan literasi di dakwah dan nasionalisme. Sejarah itu teringat saat kita menilik kalender silam: JIB menentukan anggaran dasar di kongres I bertempat di Jogjakarta, 25-27 Desember 1925.
Penentuan pokok-pokok dalam pembentukan dan pembesaran JIB sudah dimulai sejak awal 1925 di Jakarta. Pokok keputusan terpenting pula adalah penerbitan majalah dinamakan Het Licht. Penamaan dengan bahasa Belanda. Dulu, kaum muda fasih berbahasa Belanda ketimbang bahasa Indonesia. Mereka terpelajar gara-gara pendidikan dan bacaan berbahasa Belanda. Kini, kita masih mungkin mengetahui pamrih penerbitan Het Licht berbekal dua edisi bertahun 1930 dan 1931. Dua majalah itu diperoleh di pedagang buku bekas di Solo dengan harga mahal. Pembelian berdalih mengenang JIB dan peran para tokoh di arus sejarah Indonesia.
Kita mendingan membuka dulu majalah Panji Masyarakat edisi 15 November 1980, membaca artikel kenangan berjudul “Warisan Jong Islamieten Bond: Melahirkan Tokoh-Tokoh Nasional Islam Indonesia” oleh Yusuf Abdullah Puar, mantan Ketua JIB Medan. Ia mengingat agenda penerbitan Het Licht. Di tatapan mata pembaca, nama majalah berbahasa Belanda itu ditaruh di bawah tulisan berhuruf Arab terbaca An Nur berarti cahaya: mengumpamakan iman, ilmu, kesucian, dan kebajikan.
Het Licht terbit perdana tahun 1925. Majalah itu memuat kata pengantar dari Agus Salim selaku penasihat di JIB. Majalah berhasil terbit selama 16 tahun. Kita bakal mendapat berlimpah informasi asal semua edisi masih bisa ditemukan dalam kondisi utuh. Kita mungkin meragu bakal menemukan jika berpikiran adab mengarsip di Indonesia masih lemah dan serampangan. Kenangan Yusuf Abdullah Puar mengajak kita penasaran pada sebaran ide dan peran para tokoh bermisi literasi Indonesia.
Kita mulai menjenguk dua edisi Het Licht berhasil dibeli dan masuk di koleksi milik Bilik Literasi. Het Licht edisi Juni-Juli 1930 menaruh daftar isi di sampul. Pembaca digoda memiliki ketertarikan membaca semua tulisan. Sekian tulisan berbahasa Belanda dan Indonesia. Kita membaca saja tulisan berbahasa Indonesia, ringkasan dari pidato HOS Tjokroaminoto dalam rapat JIB di Jakarta, 27 April 1930. Tulisan dijuduli “Keperempoeanan dan Keisterian dalam Pergaoelan Hidoep Manoesia Bersama.” Tokoh Sarekat Islam itu memulai penjelasan posisi perempuan di pelbagai peradaban besar dan agama, sejak ribuan tahun lalu. Uraian singkat berlanjut ke penjelasan mengacu Islam.
Tjokroaminoto mengungkapkan: “Adjaran Islam jang pertama-tama jang haroes kami pertondjoekkan disini oentoek menjatakan bahwa Islam itoe soenggoeh-soenggoeh menghendaki persamaan laki-laki dan perempoean ialah ajat ke-1 daripada soerah An-Nissa, Qoeran Soetji: Hai manoesia! Takoetlah kamoe kepada Toehanmpoe, jang telah mendjadikan kamoe daripada itoe nafs (dzat) jang satoe dan jang mendjadikan djodonja daripada itoe djoega dan daripada doea ini menjiarkan (menangkarkan) banjak orang laki-laki dan orang perempoean…” Pidato itu mungkin tanggapan atas kemunculan peran perempuan di Indonesia, setelah Kongres Perempoean I di Jogjakarta, 1928.
Di Het Licht misi literasi terasa menguat. Di halaman belakang, pembaca menemukan iklan-iklan buku dan surat kabar. Pada masa 1930-an, keaksaraan di kalangan Islam memastikan ada kemauan besar mengubah nasib tanah jajahan. Kita simak iklan buku: “Hadji A Salim di Geneve.” Buku berisi “salinan pidato-pidato dalam Internationale Arbeidsconfebentie, Mei-Juni 1929.” Pihak penerbit menghimbau: “Sangat penting, terisi segala alasan penjangkal dan penolak heerendienst dan perloenja?”
Majalah itu mengiklankan suarat kabar Isteri. Kita simak: “Sokonglah pergerakan perempoean Indonesia dengan mendjadi langganan soerat kabar Isteri, satoe-satoenja soerat kabar oemoem oentoek perempoean Indonesia. Penerbit Isteri beralamat di Kemajoran, Weltevreden. Surat kabar di Tapanuli pun dikabarkan ke pembaca: “Berlanggananlah toean dengan Fadjar Islam. Satoe-satoenja soerat kabar Islam di Tapanoeli, jang diterbitkan di Sibolga, tiap-tiap boelan Arab. siapa jang maoe tahoe bagaimana igama Islam terhadap kepada pergaoelan hidoep bersama, dan tentang kemadjoean jang modern dan mengikis segala rintangan jang mengenai igama Islam, perloe benarlah ia berlanggan dengan Fadjar Islam.”
Kita lanjutkan membuka Het Licht edisi Maret 1931. Het Licht pengesahan pengurus JIB, 1931. Perkumpulan itu semakin bertumbuh dan memiliki pengaruh gara-gara rutin menerbitkan Het Licht. Redaksi melaporan situasi 1931: “Ialah soeatoe tahoen, dimana JIB telah dapat bikin Java dan Sumatra-tournee. Jang tidak sadja berarti meloeaskan atau menebalkan barisan JIB, akan tetapi djoega menambah pengetahoean dan pengalaman JIB, jang tentoe sekali perloe dan penting sekali oentoek sekalian jang doedoek di pimpinan JIB. Maka tampaklah dengan pengalaman itoe bahwa misih banjak djalan-djalan jang haros dan jang dapat dilaloei oleh JIB oentoek menoedjoe kepada segala maksoed-maksoednja.” Oprimisme masih menjalar demi capaian dakwah dan nasionalisme.
Kita cuma sejenak “mengunjungi” dua edisi Het Licht sambil memikirkan keterpencilan majalah-majalah saat dakwah dan politik di Indonesia mutakhir cenderung memilih lini di media sosial. Pilihan di pikat percetakan oleh JIB menjadi masa lalu tak semua teringat. Kini, kita sempat mengenang majalah-majalah ada di alur memajukan dakwah dan memuliakan Indonesia, memungkinkan adab keaksaraan ketimbang keriuhan dan kesembronoan di media sosial gampang memicu polemik mengandung benci, dendam, marah, khilaf, dan petaka. Begitu. (RM)