Masa lalu, Idul Fitri atau Lebaran itu memiliki arti di kertas-kertas. Kita mengenali sebagai kartu ucapan. Ikhtiar untuk mengucapkan permintaan maaf dituliskan di selembar kartu. Di situ, ada kata-kata dimaksudkan menghubungkan perasaan-perasaan ikhlas di hari Idul Fitri.
Pilihan kata sering sama di pelbagai kartu tapi memungkinkan ada pengindahan di pilihan huruf atau gambar. Kartu ucapan Idul Fitri itu pernah bercerita lama di Indonesia meski sekarang berkesan “langka”.
Pembuatan kartu ucapan menjadi industri diminati publik di hari-hari menjelang Idul Fitri. Pelbagai pihak berharap mendapat pemesanan kartu ucapan. Iklan dari penerbit atau percetakan lumrah dipasang di pelbagai majalah.
Kebutuhan kartu ucapan memang mencapai jutaan di masa lalu. Individu, perusahaan, sekolah, organisasi, dan pelbagai institusi memiliki penanda menjalin hubungan bermisi keluarga, bisnis, pendidikan, sosial, dan politik dengan mengirimkan kartu ucapan.
Di kartu, pesan-pesan terbaca (hampir) sama tapi memiliki makna “mengikat” bagi pengirim dan penerima.
Kita menuju masa lalu. Di majalah Minggu Pagi, 25 April 1954, kita membaca iklan dari penerbit Tjantik. Iklan mengisahkan kebutuhan publik untuk mendapatkan kartu ucapan di selebrasi Idul Fitri. Iklan itu heboh:
“Kartu Lebaran jang terbesar segera menggemparkan seluruh Indonesia. Penerbit Tjantik dengan bangga mempersembahkan kartu Lebaran dengan bentuk jang gilang gemilang.”
Dulu, jenis dan tampilan kartu Lebaran memang menandai identitas, kelas sosial, atau gengsi bagi pengirim dan penerima. Orang-orang berhak memilih kartu Lebaran menuruti selera dan harga.
Pembaca majalah Minggu Pagi berpikir sejenak di depan iklan: “Disediakan 15 matjam kartu Lebaran bersampul dengan beraneka ragam lukisan jang menarik hati. Sengadja disediakan hanja untuk hari raja. Gambar serta lukisan sangat bagus disesuaikan dengan suasana hari Lebaran pada masa abad atoom ini.”
Kartu ucapan itu dijelaskan cocok bagi pangreh praja, tentara, keluarga, pelajar, dan mahasiswa. Orang berminat harus berhitung duit. Pembelian tak boleh satuan. Paling sedikit orang memesan 10 lembar. Orang memesang sampai seribu lembar mendapat harga terhitung murah.
Di iklan, kita membaca pengakuan gambar di kartu dipastikan sesuai dengan “masa atoom”. Kita menduga gambar-gambar itu ingin membuat pengirim-penerima terpukau. Pada gambar, mereka mengerti zaman telah berubah dengan pelbagai kemunculan benda-benda baru dan pemodernan pelbagai alat komunikasi, informasi, dan transportasi. Pilihan kata untuk ucapan dipadukan gambar-gambar tentu membuat orang berpikiran dan berimajinasi kekinian. Di peringatan hari suci, kartu ucapan mengajak orang-orang sadar di zaman baru atau mutakhir.
Iklan kartu ucapan kartu ucapan berukuran sebesar kartu pos buatan penerbit Tjantik: “Dilukis oleh pelukis terkenal dan ternama. Pemesan tidak usah ragu-ragu lagi akan keindahan kartu tersebut. Warna kartu diberi 5 kleur dengan tinta jang serba menarik dan mengagumkan. Utjapan? Kata-katanja tidak kolot, tetapi disesuaikan dengan suasana hari Lebaran pada waktu ini.”
Pilihan kata dipertimbangkan dengan matang agar mengena ke perasaan, bukan kata-kata sembarangan. Penerbit menjamin tak menggunakan kata-kata “kolot”. Kita menduga itu kata-kata bersifat kuno atau klise. Pilihan kata tetap harus mempertimbangkan etika dan dampak makna.
Pada masa berbeda, kita menemukan imajinasi kartu ucapan Lebaran di cerita bergambar dimuat di Djaja Baja, 24 Desember 1967. Di situ, kita melihat gambar kartu ucapan berpita. Kata-kata di kartu:“Selamat Hari Raya Idul Fitri/ 1 Sawal 1388/ Maafkan Lahir Batin.”Kartu itu mengawali pembaca simak cerita bergambar lucu di seri Pak Sotol. Lihatlah, kartu ucapan sengaja dipasang untuk membedakan peristiwa mengirim-menerima kartu ucapan dan pertemuan dengan sesama. Kita mulai mengerti ada tatanan pergaulan sosial agak berubah di Indonesia. Kesempatan bertemu kadang tergantikan oleh kartu ucapan.
Pengandaian jika orang-orang masih bisa bertemu disajikan di Djaja Baja. Dua lelaki memberi lucu. Pak Sotol mendatangi Simbah dan berkata dalam bahasa Jawa: “Suwe ora djamu, djamu pisan godong kara, Mbah.” Simbah belum mengerti maksud permainan kata Pak Sotol: “Apa kuwi?” Pak Sotol lekas menjelaskan maksud pertemuan:“Suwe ora ketemu, temu pisan apura ing apura ja, Mbah.”Simbah pun mengerti: “O, hija, hija, Pak Tol.” Saling memberi kata disempurnakan dengan salaman. Eh, tangan Simbah menggenggam kuat tangan Pak Sotol. Terjadilah kejutan gara-gara Pak Sotol teriak kesakitan dan tampak mencelat.
Dulu, pembuatan kartu ucapan Lebaran memiliki “teman” berupa iklan-ucapan di majalah-majalah. Di edisi Lebaran, majalah-majalah biasa sediakan sekian halaman untuk iklan-iklan berupa ucapan Lebaran dari pelbagai pihak. Iklan tentu berongkos. Pilihan membuat iklan-ucapan berharapan dibaca oleh ribuan orang. Konon, itu terhitung ngirit ketimbang memesan ribuan kartu ucapan. Iklan kadang terangga memiliki gengsi “terbaca” publik ketimbang kartu ucapan.
Penerbit majalah Pesat edisi 29 Mei 1953 membuat pengumuman ke pembaca: “Advertensi hari raja Idul Fitri tahun 1884. Beaja dan ukuran untuk….” Kita menbaca daftar harga bagi pemesan: “para pelanggan” dan “bukan pelanggan”. Harga berbeda bagi pelanggan Pesat dan bukan pelanggan Pesat. Selisih agak besar. Pemesan berhak membuat teks atau memilih kalimat bakal dipasang di iklan-ucapan. Pembaca tinggal menunggu penerbit Pesat edisi Lebaran. Sekian iklan-ucapan bakal tersaji di halaman-halaman diharapkan dibaca oleh orang-orang. Tata cara itu mengartikan selebrasi Lebaran bernalar “iklan” dan “pertemuan” di lembaran-lembaran majalah.
Kehadiran mesin cetak memicu kemungkinan-kemungkinan perubahan dalam ungkapan keberagamaan dan pergaulan sosial. Hasil cetakan berupa kartu ucapan tak cuma untuk Lebaran. Kekhasan jika diproduksi untuk Lebaran adalah pemberian simbol-simbol mengarah ke Islam. Dulu, kita lazim melihat ada gambar masjid, bulan bintang, ketupat, dan lain-lain. Gambar-gambar itu mengimbuhi makna dari pilihan kata. Kartu ucapan mungkin pernah jadi koleksi di masa lalu. Pengirim dan penerima memiliki daftar nama. Di situ, orang mengetahui jenis dan makna hubungan dengan orang lain. Lebaran di kartu ucapan menjadikan makna persaudaraan dan pertemanan “terpegang” dan “terbaca”.
Produksi cetak berupa iklan-ucapan di majalah mungkin muncul terbatas dibandingkan iklan-iklan komersial. Pemuatan saat majalah beredisi Lebaran terasa berbeda dan “bertambah” makna. kini, sejarah itu berubah dengan kebiasaan iklan-ucapan di televisi. Orang-orang pun gampang memasang ucapan di media sosial. Lebaran tetap selebrasi ucapan, tak harus lagi kartu ucapan atau iklan-ucapan dicetak di koran dan majalah. Begitu.