Pada 23 Februari 2019, foto dan gambar Gus Dur bertebaran di Solo, Jawa Tengah. Ribuan orang dari pelbagai kota berdatangan untuk acara-acara menghormati Gus Dur. Mereka itu Gusdurian. Publik bisa melihat sekian foto dan gambar Gus Dur dalam kirab dan diskusi.
Orang-orang memiliki ingatan khas dan kolektif untuk foto-gambar Gus Dur paling khas. Mereka sering memilih adegan Gus Dur tertawa, bukan Gus Dur murung, mengetik, atau makan. Gambar di sampul buku Greg Barton (2003) pun jarang terpilih: Gus Dur menenteng tas.
Pemikiran dan lelucon Gus Dur terlalu sering dibicarakan dan dituliskan di buku-buku. Bermula dari acara di Solo, kita mulai ingin berurusan album foto Gus Dur, dari masa ke masa. Keluarga pasti memiliki sekian album foto Gus Dur. Sumber lain mungkin di kalangan NU pernah akrab bersama Gus Dur. Kita bakal merepotkan mereka jika ingin melihat foto-foto Gus Dur. Kini, kemauan melihat foto Gus Dur telah menebar pelbagai anggapan dan imajinasi.
Kita ingin melihat Gus Dur diperantarai foto dan gambar pernah dipasang di majalah Tempo puluhan edisi. Pada masa lalu, Gus Dur itu kolumnis di Tempo. Ia pun sering jadi berita di Tempo berkaitan NU, partai politik, ICMI, pemilu, dan lain-lain.
Barangkali Tempo itu majalah paling gandrung memamerkan foto Gus Dur, sejak jadi pemikir sampai jadi Presiden Republik Indonesia. Episode setelah meninggalkan istana kekuasaan pun, foto-foto Gus Dur tetap tersaji di Tempo.
Di Tempo, 5 Januari 1985, kita melihat foto Gus Dur bersama dua tokoh pemikir ampuh: Goenawan Mohamad dan Onghokham. Foto hasil jepretan Rizal Pahlevi itu bersejarah. Publik mungkin jarang mengingat peristiwa pertemuan dan percakapan tiga orang keranjingan menulis esai-esai.
Lihatlah, Gus Dur mengenakan batik, berkacamata, dan ramput tertata rapi. Ia berdiri di depan perpustakaan milik Tempo! Tiga lelaki berdiri mungkin sedang bercakap politik di Indonesia atau saling mengabarkan menu terenak untuk disantap bersama.
Keterangan resmi dari redaksi, “Abdurrahman Wahid sudah jarang muncul di kantor Tempo. Dulu, tokoh yang kini Ketua Tanfidiziyah NU itu akan tiba-tiba saja dijumpai sedang mengobrol dengan salah seorang anggota redaksi, atau duduk mengetik dengan cepatnya untuk pengisi kolom majalah ini. Kami memang pernah menyediakan satu meja kosong, terutama setelah melihat kemunculannya yang sering–seperti juga kolumnis lain, Onghokham.”
Foto tiga esais tenar Indonesia penting dikenang meski kita tak pernah mendapat salinan percakapan. Onghokham dan Gus Dur sudah berpamit dari dunia. Goenawan Mohamad mungkin masih ingat hal-hal dipercakapkan selama mereka berdiri di dekat perpustakaan. Tiga orang itu mungkin bercakap sejarah, demokrasi, dan makanan. Goenawan Mohamad, Onghokham, dan Gus Dur rajin menulis kolom-kolom berselera sejarah.
Mereka pun menekuni nasib demokrasi di Indonesia. Urusan upaboga tentu jarang luput dari percakapan. Onghokham mungkin merasa akrab dengan Gus Dur. Onghokam itu juru masak. Gus Dur mengerti makanan-makanan lezat. Goenawan Mohamad sengaja kita tepikan dulu gara-gara jarang berbagi cerita makanan atau serius menulis makanan di esai-esai.
Gus Dur beradegan makan di foto mengingatkan kita pada Rumah Makan Adem Ayem di Solo. Menu utama gudeg di situ masuk daftar pilihan Gus Dur saat melakukan kunjungan atau mampir ke Solo, sejak puluhan tahun lalu.
Kini, warung makan itu sudah berusia 50 tahun. Peringatan dibarengkan dengan kehadiran putri Gus Dur. Yenny Wahid mengumumkan bahwa mendiang Gus Dur adalah penggemar gudeg Adem Ayem (Solopos, 25 Februari 2019). Pada makanan bernama gudeg dan Solo, memori Gus Dur terbentuk dan terkenang oleh keluarga dan kita.
Perkara makanan pernah jadi tema keren di kolom Gus Dur berjudul “Lagu Jawa di Restoran Padang,” dimuat di Tempo, 7 April 1984. Halaman itu memuat tulisan, foto Gus Dur mesem, dan ilustrasi buatan D Sunardi. Pujian demi pujian dialamatkan ke restoran atau rumah makan Padang. Di pelbagai kota, rumah makan Padang sering ada. Gus Dur mengaku sering datang ke restoran Padang. Ia bersantap tanpa perlu menjadi “leluhur” kaum makan dan foto.
Dulu, Gus Dur enggan repot memotret makanan atau berfoto bersama makanan untuk dipamerkan seperti keberlimpahan foto makanan di media sosial. Foto Gus Dur sedang makan tentu ada tapi jarang ditampilkan ke publik sebagai ingatan kolektif.
Pujian Gus Dur: “Tapi lihatlah daya tembus lintas-sektoral restoran Padang dalam kehidupan bangsa. Itu tampak mula-mula dalam kemampuan restoran ini untuk merebut langganan non-Minang di mana-mana, sehingga lambat laun masakan Padang menjadi semacam masakan nasional.”
Tahun berganti tahun, jumlah restoran Padang terus bertambah. Orang lapar lekas mengingat makanan di situ. Mereka jangan khawatir harga. Sekian rumah makan Padang memiliki harga terjangkau.
Pemberian judul kolom terbenarkan dari pengalaman Gus Dur bersantap di restoran Padang di bilangan Pasar Senen, Jakarta. “Pemiliknya orang Minang. Juga semua penyaji hidangan. Namun, yang terdengar dialunkan melalui kaset, adalah lagu-lagu pop Jawa – Jawa Timuran atau Jawa Tengahan,” tulis Gus Dur.
Pengunjung atau langganan restoran itu orang-orang Jawa. Di restoran, Minang dan Jawa bersua melalui makanan dan lagu.
Kita beralih ke penampilan Gus Dur tampak sepaneng alias berpikiran berat. Ia gagal tertawa. Di kulit muka Tempo edisi 16 November 1991, kita melihat gambar Gus Dur beradegan tangan memegang-menggaruk kepala.
Kulit muka majalah itu dikerjakan oleh Susthanto. Di atas gambar, terbaca: “NU Pecah?” Masa itu telah berlalu. Gus Dur dengan wajah murung dan bersedih jarang mendatangi ingatan kita.
Kita mendingan mengingat foto atau gambar Gus Dur tertawa. Adegan itu seperti mengentengkan kita dalam ikhtiar memikirkan dan memuliakan Indonesia tanpa mengumbar cacian, fitnah, benci, dan kemarahan.
Kita melihat Gus Dur untuk memastikan Indonesia tertawa di hari-hari menjelang hajatan demokrasi. Indonesia bergirang dengan tertawa sepanjang masa, tak perlu murung atau cengeng. Begitu.