Sedang Membaca
Dinamika Media dalam Wacana Keislaman
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Dinamika Media dalam Wacana Keislaman

Jurnalisme Kosmopolitan

Pada peringatan usia 15 tahun majalah Tempo (1971-1986), Dick Hartoko (pastor dan Pemimpin Redaksi Majalah Basis) memberi komentar bahwa Tempo “tidak menghamba, berdiri, atau membela suatu golongan atau kepentingan tertentu.” Komentar berdasarkan ketekunan membaca edisi-edisi Tempo selama sekian tahun. Komentar berargumentasi: “Ini bisa dilihat pada beberapa berita. Suatu kali Tempo seperti cenderung bersuara Islam, tapi suatu kali juga ‘mengutik-utik’ masalah dalam Islam dengan gaya meledek…”

Kutipan komentar itu tiada di buku Janet Steele berjudul Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara (2018) saat membahas Tempo berkaitan Islam kosmopolitan. Sejak puluhan tahun silam, Tempo diakui majalah berita mingguan terkemuka di Indonesia.

Isu-isu besar sering dimunculkan Tempo menghasilkan perdebatan panjang di halaman surat, komentar, atau kolom. Perdebatan pun menular ke ruang-ruang diskusi dan perkuliahan. Khusus, isu-isu agama gampang disahut pelbagai pihak meramaikan polemik. Tempo rajin memberitakan hal-hal mengenai Islam tapi tetap memberi ruang bagi pluralisme dan minoritas.

Pembaca lama bakal mengenang Tempo adalah majalah pengenalan dan pembesaran ide-ide Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kenangan bertambah jika orang mencatat nama Ahmad Wahib, selaku wartawan Tempo dan pemikir tema-tema Islam dalam catatan harian: terbit menjadi buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam.

Baca juga:  Delapan Penemuan Penting dari Rahim Peradaban Islam

Peran besar Tempo dalam pemberitaan dan pemuatan kolom-kolom mengenai pembaharuan pemikiran Islam telah memberi penularan berpikir kritis atau menempatkan Islam kosmopolitan dalam alur berindonesia di masa Orde Baru.

Janet mencantumkan perkataan Syu’bah Asa mengenai posisi Tempo: “Goenawan Mohamad bilang kamu harus membela masyarakat Islam karena mereka telah lama diperlakukan secara tidak adil. Dan, jika ternyata Islam justru memperlakukan pihak lain secara tidak adil, kami akan mengkritik Islam.”

Di Indonesia, jumlah pemeluk agama Islam besar tapi tak memastikan memiliki terbitan koran atau majalah melulu membesarkan berita dan opini Islam. Janet meneliti Sabili, Tempo, dan Republika dengan latar Orde Baru dan situasi mutakhir. Penerimaan dan penolakan untuk menjadi kosmopolitan diujikan di penelitian majalah dan koran memiliki jumlah pembaca melimpah di Indonesia, selama puluhan tahun.

Janet menganggap majalah Sabili dipengaruhi tarbiah atau gerakan pendidikan Islam, mengacu ke Alquran dan hadis. Republika pada abad XXI memilih memuat artikel-artikel mengenai Islam untuk memikat komunitas Muslim arus utama. Posisi berbeda tampak pada majalah Tempo dan Koran Tempo.

Pluralisme dipentingkan ketimbang melulu Islam meski Tempo telah memberi ruang bagi pemikir Islam progresif sejak masa 1970-an. Peran itu mengartikan Tempo ada di lakon kosmopolitan, berbeda arah dari Sabili dan Republika. Janet seperti mengingatkan kita melalui buku memuat penelitian-penelitian serius mudah dijadikan dalih saling berdebat.

Baca juga:  Ini Tantangan buat Kamu yang Suka Online Zoom Saat Pandemi

Sabili sudah berpamit tapi masih pantas dibicarakan untuk mengetahui hubungan jurnalistik dan Islam. Majalah itu sering bersinggungan politik dan memicu keberpihakan berlebihan. Liddle (1996) sempat ragu pada posisi tepat Sabili sebagai media berpihak ke Islam. Liddle pun menengarai Sabili itu skripturalis, literalis, dan fundamentalis.

Sabili terbit pada 1984. Kaum Muslim pada masa 1980-an merasa dipinggirkan oleh penguasa. Penerbitan Sabili jadi juru bicara pembelaan dan pemuliaan demi Islam. Selama terbit sampai 1993, majalah itu memiliki puluhan ribu pembaca setia. Pembesaran semakin terjadi saat Sabili terbit lagi pada 1998 berlatar keruntuhan rezim Orde Baru. Sabili semakin memihak ke urusan Islam politik di jalur kaum garis keras. Episode itu berakhir pada 2013.

Pada masa kekuasaan berbeda, Sabili jadi bacaan ratusan ribu orang tiap edisi. Majalah bercap Islam, terbit dan tutup dipengaruhi sikap penguasa pada kaum muslim dan kepiawaian menjalankan bisnis. Cap itu justru memicu politik sengit dan perbedaan paham di kalangan Islam di Indonesia.

Pada pembahasan koran Republika, Janet mengajak pembaca membuat perbedaan “selera” keberpihakan pada Islam saat berada di naungan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan masuk ke bisnis Mahaka Media. Pada 1993, Republika terbit berdalih memberi suguhan bacaan bagi komunitas Muslim.

Dulu, Republika erat dengan kekuasaan diperantarai ICMI. Insitusi bagi cendekiawan itu mendapat restu Soeharto. Republika tentu tak sealur dengan Sabili saat merasa ada di seberang kebijakan-kebijakan penguasa. Publik sempat menganggap Republika adalah contoh pers Islam bisa besar dan berpengaruh. Pada 2016, Republika tercatat di peringkat tiga untuk korang paling dimintai pembaca di Indonesia.

Baca juga:  Fariez Alniezar Menggugat Bahasa Kekuasaan

Catatan itu berlaku saat Republika semakin komersial di bawah Mahaka Media (2000), tak lagi ditentukan oleh ICMI. Bisnis koran itu sukses, tak cuma dalam membesarkan isu-isu Islam tapi pembuktian mendapatkan keuntungan ketimbang berjatuhan seperti koran dan majalah bercap Islam pada masa lalu.

Kebesaran diperoleh dengan mengarahkan Republika ke kelas menengah perkotaan. Islam diakui sebagai ceruk pasar. Republika pun terus terbit sampai sekarang, mengarungi titian pers dengan selamat. Pada tahun-tahun terakhir, Janet membaca gelagat para pembaca mulai meragu mengenai keberlanjutan Republika berpihak pada kepentingan komunitas muslim. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top