Sejak Indonesia merdeka (1945), masalah terpelik sulit dirampungkan secara bijak adalah pangan. Pada sekian babak sejarah, pangan membuat pemerintah kebingunan dalam mencukupi kebutuhan jutaan orang dan menghormati cara hidup beragam di seantero Indonesia. Gagasan-gagasan besar ingin diwujudkan tapi masalah pangan justru terus berkepanjangan. “Jawaban” termudah dan klise atas masalah pangan adalah produksi beras. Indonesia diceritakan sebagai negara bergantung beras.
Soekarno memberi perintah untuk mengisahkan Indonesia tak cuma beras. Perintah melahirkan buku berjudul Mustikarasa Indonesia: Resep Masakan Indonesia (1967). Buku memuat beragam makanan pokok Indonesia: beras, jagung, umbi-umbian, dan sagu. Buku tak mampu menghapus sejarah bahwa penduduk Indonesia pernah kelaparan dan memiliki ketergantungan berasa pada masa pemerintahan Soekarno. Kemerdekaan belum berarti kecukupan pangan dan beragam makanan pokok. Beras terlalu berkuasa.
Pada babak sejarah berbeda, rezim Orde Baru teringat sebagai “rezim beras”. Soeharto sering mengartikan pangan adalah beras. Kebijakan-kebijakan besar bermisi pembangunan nasional atau swasembada pangan melulu beras.
Pada 1982, terbit buku berjudul Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia garapan Leon A Mears. Semula buku terbit pada 1961 membahas perberasan masa 1940-an sampai 1950-an. Pemerintah meminta Leon A Mears melanjutkan penelitian dari masa 1960-an sampai 1980-an. Buku tebal diprakarsai Bulog semakin menjadikan beras “mahapenting” bagi Indonesia dan nasib rezim Orde Baru. Ingat, Soeharto dalam biografi susunan OG Roeder mengaku “anak desa”. Sejak lahir dan tumbuh di desa sampai menjadi presiden, ia membuat biografi pangan itu beras.
Prisma edisi Mei 1993 berjudul utama: “Menuju Era Penganekaragaman dan Swasembada Pangan.” Para ahli dan kaum intelektual mengingatkan pangan di Indonesia sebagai kebutuhan pokok tak cuma beras. Orang-orang di pelbagai pula di seantero Indonesia juga memiliki makanan pokok berupa jagung, singkong, dan ubi jalar. Kritik gamblang diarahkan pada rezim Orde Baru berpijak swasembada beras 1984. Paulus Widiyanto mengingatkan: “Namun beras bukanlah satu-satunya bahan baku pangan kebutuhan masyarakat. Dinamika masyarakat telah membangkitkan selera dan tuntutan baru terhadap keanekaragaman pangan. Pangan nonberas menjadi komoditas penting bagi masyarakat Indonesia sekarang dan masa depan.” Kalimat sulit mewujud sampai abad XXI. Kita mengetahui dari buku berjudul Sagu Papua untuk Dunia susunan Ahmad Arif. Buku dipersembahkan “untuk masyarakat Papua yang masih menjaga sagu sebagai salah satu sumber pangan tertua di Nusantara.”
Buku terbit dan terbaca sebelum Indonesia menanggungkan wabah memicu ketakutan pemerintah atas ketersediaan pangan. Pemerintah tetap mengartikan pangan itu beras. Presiden Joko Widodo malah lekas memberi “mandat” mengadakan lumbung pangan. Kerja besar diurusi sekian kementerian. Prabowo Subianto turut memikul tanggung jawab pangan dengan cap “ketahanan pangan” meski ia bukan menteri beramanat pertanian. Lumbung pangan mendapat komentar beragam dan kritik. Kementerian Pertanian tergesa memberi warta bahwa beras tersedia untuk sekian bulan. Kita diajak lagi berpikiran beras, sulit menganut penganekaragaman pangan.
Kita menjadi sadar dan mungkin “bertobat” dari gagasan pangan melulu beras melalui penjelasan Ahmad Arif: “Keberhasilan Indonesia dalam swasembada beras pada era 1980-an, serta berubahnya pola konsumsi masyarakat di kawasan timur, perlahan mendorong pati sagu ke pinggiran. Sagu turun kelas menjadi makanan alternatif atau sekadar bahan dasar produk konsumsi pelengkap. Budaya memelihara dan mengolah tanaman hutan hujan tropis ini juga terdesak oleh pembukaan sawah dan budi daya padi.” Politik berpusat di Jakarta terlalu lama mendikte dan menentukan nasib beragam makanan pokok di Indonesia. Gagasan besar tentang pertanian mementingkan sawah dengan adegan Soeharto dan para pejabat sering berfoto saat panen besar. Mereka berlagak mengumumkan Indonesia makmur dan sejahtera tapi telah berlaku buruk atas sejarah pangan di pelbagai pulau.
Sejarah itu sagu. “Sekalipun tumbuhan sagu menyebar cukup luas di Asia Tenggara, kajian biologi molekular terbaru menguatkan bahwa Indonesia memang merupakan tanah asal sagu dan Papua (termasuk Papua Nugini) memiliki keragaman sagu paling tinggi,” tulis Ahmad Arif. Selama wabah, para pejabat atau pihak-pihak penentu kebijakan mungkin tak membaca buku Sagu Papua untuk Dunia saat mereka berseru tentang bekerja dari rumah. Waktu-waktu membaca buku tak dimiliki gara-gara melaksanakan tugas-tugas besar. Mereka melanjutkan pengabaian sagu. Situasi semakin tak keruan. Orang-orang memerlukan makan tapi lakon Orde Baru telanjur membentuk kebiasaan bahwa pangan utama itu beras, menular sampai sekarang. Kini, sagu wajib dipikirkan demi keselamatan sejarah dan martabat kehidupan bersama di Indonesia.
Kritik bertema pangan terus bermunculan selama wabah. Di Jawa Pos edisi 2 Mei 2020, ada 2 berita mengandung kritik: “Indonesia itu (bukan cuma) negeri beras.” Pemerintah dianggap gagal melakukan diversifikasi pangan. Guru Besar IPB, Dwi Andreas Santosa, mengingatkan situasi krisis memungkinkan substitusi beras haruslah makanan pokok lokal, bukan impor. Ia mencatat pemerintah justru meningkatkan jumlah impor gandum. Ia lugas mengusulkan agar pemerintah berpikiran sagu dan umbi-umbian teranggap sangat cocok dengan kondisi pertanian dan geografi Indonesia.
Kebijakan-kebijakan sering fatal. Kita mendingan belajar lagi tentang sagu. Pemaknaan sagu sering luput dari opini mengenai pangan dan peradaban. Penjelasan memikat dari Ahmad Arif: “Bagi masyarakat Papua, sagu tidak hanya sumber makanan pokok, tetapi juga memberikan seperangkat emic, sumber pengetahuan, dan sistem religi. Hal ini, misalnya, terlihat saat pengambilan sagu dalam masyarakat adat yang biasanya tidak dilakukan secara serampangan, tetapi ada ritus yang mengiringinya…” Makanan itu berpijak ritual, tak selalu bernalar industrial dan selalu dibebani pesan-pesan birokrasi.
Sejak SD sampai SMA, kita jarang atau tak pernah mendapatkan pengajaran pangan-pangan di Nusantara secara mendalam dan bermutu. Murid-murid dari masa 1970-an sampai 1990-an menjadi sasaran nalar Orde Baru: mengartikan Indonesia adalah negeri beras. Konon, pendidikan mereka juga ditentukan oleh konsumsi beras dalam keseharian. Dulu, kita mengenali dalam program sarapan. Pengetahuan tentang sagu, umbi-umbian, jagung, dan lain-lain semakin sulit dengan keterbatasan pustaka.
Ahmad Arif juga memberi kritik kebijakan bias pada masa pemerintahan Joko Widodo. Sekian kebijakan berpamrih mencetak jutaan hektare sawah baru menghasilkan beras. Kalimat mengandung tanda seru diajukan sebelum Indonesia dalam kondisi pandemi: “Pengabaian ragam pangan lokal telah mengarahkan Indonesia ke dalam ancaman krisis.” Kini, kita mulai merasakan ada tanda-tanda krisis pangan di Indonesia dan dunia.
Keinginan mengetahui dan memuliakan sagu berbarengan wabah mungkin memberi prihatin dan sesalan. Kita pun mengetahui Papua pun menanggungkan wabah dengan penanggulangan terbatas, tak seperti di Jawa. Kita mengaku malu telat belajar sagu dan mengetahui nasib Papua sebagai tanah asal sagu sedang berduka gara-gara wabah. Begitu.
Judul : Sagu Papua untuk Dunia
Penulis : Ahmad Arif
Penerbi : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak : 2019
Tebal : xvi + 208 halaman
ISBN : 978 602 481 199 0