Duh, kangen (membaca) buku berjudul Dialog Dengan Jin Muslim. Buku laris banget pada masa 1990-an. Penjualan buku di toko buku dan kios-kios pusat perdagangan buku di pelbagai kota. Di perempatan jalan dan bus, buku itu dijual bersaing dengan buku kumpulan doa dan tuntutan salat. Masa itu mengingatkan ke Muhammad Isa Dawud meski kita wajib mengingat pula sekian penulis Indonesia.
Sekian hari sebelum Ramadan, penulis dolan ke toko buku. Sepi. Di meja, tatanan buku baru bertema agama masih sama dengan seminggu lalu. Buku baru belum terbit atau sulit datang gara-gara wabah? Buku paling menggoda: Kosakata Keagamaan (2020) susunan Quraish Shihab. Di meja dan rak, buku-buku agama beragam penampilan.
Lihatlah, “persaingan” buku-buku garapan penulis Indonesia dan terjemahan! Buku-buku menanti pembeli dan pembaca. Pada saat wabah, buku-buku agama itu kesepian seperti nasib ribuan judul novel di puluhan rak. Kini, ada kesan Ramadan tak terlalu erat dengan buku-buku. Kita menghindari keluhan tapi mengingat saja.
Pada 2020, terbitan buku-buku bertema agam mungkin tetap andalan bagi ratusan penerbit di Indonesia. Buku terbit dengan kebingungan dan keraguan dalam penjualan.
Gatra edisi 15 Februari 1997 memuat suplemen “Info Buku” berjudul “Maraknya Buku Agama”. Halaman-halaman penting bagi orang gandrung buku dan selalu membuat Ramadan bergelimang bacaan ketimbang menonton televisi sampai mampus dan tidur ngiler dua liter.
Hari-hari berpuasa dengan membaca buku itu kenikmatan: menanggungkan lapar dan “lapar”. Lapar di raga, “lapar” di pikiran. Buku-buku pun santapan. Pada masa 1990-an, buku-buku agama memasuki epsiode laris saat Ramadan. Kini, laris sulit berulang. Kita mengenang saja sambil menatap buku-buku di rak atau lemari di rumah: masih harus dikhatamkan.
Haidar Bagir memberi keterangan tentang peningkatan penerbitan dan penjualan buku-buku bertema agama: “Jumlah kaum muslim dari keluarga santri yang mampu membeli buku sudah jauh lebih besar.” Buku-buku masuk rumah menjadi bacaan bagi orang-orang ingin paham agama. Dalih lanjutan: kecenderungan mencari “pegangan keagamaan”.
Pilihan buku-buku menjelaskan keberpihakan atau anutan untuk meningkatkan pemahaman Islam berbeda mazhab. Pada masa 1990-an, kelarisan buku itu masih milik buku-buku terjemahan, belum buku-buku ditulis orang-orang Indonesia. Contoh paling teringat tentu buku berjudul Dialog Dengan Jin Muslim.
Suplemen di Gatra agak terasa aneh saat memunculkan profil pembaca atau penggemar buku. Tokoh itu bernama Rhoma Irama. Ia sering tampil memegang gitar. Di situ, adegan berubah: Rhoma Irama itu ksatria berbuku. Gitar leren dulu. Kita melihat perbedaan kesan tangan memegang gitar atau buku. Tangan itu berkesan belum mahir memegangi buku. Lho! Kita jangan bercuriga.
Halaman itu membuat pembaca kaget. Pengakuan Rhoma Irama: “Di tempat tidur sebelah kanan, saya letakkan gitar. Di sebelah kiri, rak buku. Jadi ketika bangun tidur, kalau tidak gitar, ya, buku yang saya pegang.” Wah, ia sungguh-sungguh tokoh panutan bagi kita.
Pada abad XXI, kita menanti ada penulisan novel mengenai Rhoma Irama. Kita ingin menghormati beliau dengan buku, tak melulu lagu. Kita mengandaikan novel digubah oleh Habiburrahman El Shirazy atau Tere Liye. Novel memadukan asmara, musik, agama, politik, dan lain-lain. Kita ingin novel itu dua ribu halaman! Berharaplah, novel memang lekas ditulis dan terbit. Laris! Anak-cucu kelak bakal mengingat: Rhoma Irama itu lagu dan buku. Begitu.