Sedang Membaca
Malam Takbiran: Gus Dur, Andre Moller…
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Malam Takbiran: Gus Dur, Andre Moller…

Berita-berita menjelang Lebaran sering masalah mudik, harga, dan makanan. Kita mendapatkan berita-berita itu berulang setiap tahun. Kita telah mengerti meski sekian hal tetapi luput dari pemahaman.

Pada 2019, kita mendapat berita (agak) baru mengenai takbiran. Di Republika  31 Mei 2019, ada berita berjudul “NTB Siap Pecahkan rekor MURI pada Malam Takbiran.” Berita itu sulit memicu kagum. Kita mungkin telah memiliki pemahaman bahwa takbiran menjadi peristiwa religius dan kultural di desa dan kota. Sejak puluhan tahun lalu, takbiran itu menggembirakan untuk sampai ke “hari kemenangan.” Dulu, kita tak pernah berpikiran jika malam takbiran dapat dijadikan dalih pemecahan rekor. Argumentasi memecahkan rekor mungkin membuat kita wajib berpikir sambil menunduk. Apakah itu berfaedah atau berhikmah?

Kutipan dari berita: “Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Dinas Pariwisata NTB mencanangkan kegiatan malam takbiran di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan peserta terbanyak. Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Muhammad Faozal mengatakan, malam takbiran di NTB akan dikemas dengan menarik demi menyemarakkan syiar Islam.” Penjelasan itu agak kita mengerti meski ada ganjalan. Acara untuk “menyemarakkan syiar Islam.” Penjelasan belum cukup. Pejabat itu menambahi bahwa kemungkinan akan ada pemecahan rekor MURI di malam takbiran dengan peserta takbir terbanyak. Takbiran mulai berdasarkan “ter-“ atau “paling”. Kita mulai sulit mengerti. Takbiran menjadi acara bagi Dinas Pariwisata menggunakan ukuran rekor. Kita berharapan acara tetap religius. Dugaan pemecahan rekor mungkin masalah dan latah bagi sekian dinas dan institusi selalu berpikiran mendapat sertifikat, tepuk tangan, pujian, dan terberitakan. Kita berhak memilih takbiran tak perlu rekor. Takbiran itu kebersamaan dan pujian tanpa wajib mendapat sertifikat atau para pejabat berfoto di atas panggung.

Baca juga:  Tradisi Damai di Ambon: Jacky dari Kristen dan Hasbollah dari Islam

Kita meninggalkan berita agak membuat “ragu” dengan menengok tulisan lawas buatan Abdurahman Wahid (Gus Dur) berjudul “Lebaran Tanpa Takbiran” dimuat di Tempo, 26 Maret 1994. Artikel tak mencantumkan “rekor” tapi dokumentasi dari perbedaan mengartikan penentuan Idul Fitri di pihak pemerintah dan NU masa lalu. Judul artikel mengejutkan. Gus Dur memang memancing penasaran. Kita diingatkan: “Suatu hal yang langka selama hampir 50 tahun Indonesia merdeka telah terjadi: selama tiga tahun berturut-turut terjadi dua Idul Fitri. Pekan lalu, Nahdlatul Ulama (NU) berbeda dengan pemerintah dalam penetapan jatuhnya 1 Syawal alias Idul Fitri.” Perbedaan itu mengakibatkan orang-orang membuat pertimbangan tak mengadakan takbiran (akbar) di malam berbeda atau menerapkan tata krama demi kebersamaan.

Di pelbagai daerah, pelaksanaan salat Idul Fitri menurut penetapan NU adalah 13 Maret 1994. Pemerintah memilih 14 Maret 1994. Perbedaan memunculkan sikap moderat. Di daerah-daerah, malam takbiran berlangsung ramah tapi tanpa takbiran keliling seperti sering diselenggarakan di tahun-tahun lalu. Sikap ingin menghargai bagi orang-orang masih menjalankan puasa. Tata krama pun berlangsung di Jakarta dengan meniadakan takbiran biasa keliling kota dengan alunan bedug atau pengeras suara. Argumentasi untuk bersikap atas perbedaan telah teruji. Kejadian-kejadian itu diusulkan oleh Gus Dur agar dijadikan tema dalam kajian antropologi. Artikel itu membuktikan bahwa takbiran di masa lalu tak pernah ada maksud kehebohan atau raihan pemecahan rekor. Gus Dur mungkin tak pernah menduga bahwa takbiran terpilih sebagai acara demi rekor.

Usulan Gus Dur “dijawab” Andre Moller. Kita menduga saja ada jawaban di buku berjudulRamadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005) garapan Andre Moller, intelektual asal Swedia. Buku antropologi itu memberi pengisahan dan penjelasan mengenai takbiran. Halaman untuk takbiran memang terbatas tapi memungkinkan kita mengerti keinginan umat Islam mengadakan malam takbiran, terutama di Jawa. Andre Moller menulis: “Takbiran ini diperdengarkan dari salat magrib sampai salad id pada esok harinya, dan malam ini dikenal dengan sebutan ‘malem takbiran’ di Jawa. Ini merupakan malam kebahagiaan yang mengandung beberapa unsur kesedihan pula. Banyak orang susah melukiskan perasaannya pada malam ini. Di satu pihak, mereka senang bahwa Ramadan sudah usai, sebab puasa selama 30 hari memang cukup berat, dan sebab kemaafan Ilahi ditunggu-tunggu. Di lain pihak, mereka juga bersedih hati berpisah dengan ‘tamu agung tahunan’ ini.” Malam takbiran, malam mendua makna tapi berpokok ke religius.

Baca juga:  Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan

Buku itu belum memunculkan tanda-tanda bahwa bakal ada misi memecahkan rekor dalam pelaksanaan “malem takbiran” di Jawa. Andre Moller mungkin belum menemukan pengisahan atau pengakuan orang-orang di masa lalu mengenai kebermaknaan memecahkan rekor. Takbiran itu takbiran, bukan peristiwa untuk rekor kadang sulit berhubungan dengan arti pokok religus-kultural. Buku tebal itu agak sulit dilanjutkan dengan studi panjang memasukkan rekor dalam bab kecil. Kita menduga saja gelagat mengadakan pemecahan rekor menjadi perkara “baru” dalam studi antropologi. Peneliti agak kelabakan saat mendapatkan penjelasan atas pembuatan acara oleh Dinas Pariwisata di NTB. Malam takbiran telah masuk program pariwisata?

Kita cukup “bersedih” dengan pamrih pemecahan rekor di malam takbiran. Sedih tak berkaitan dengan sedih menimpa lelaki dan perempuan di Centong, desa beralamat di Jawa. Kita menjumpai dua tokoh itu “bersedih” saat malam takbiran. Mahfud Ikhwan menceritakan ke kita melalui novel berjudulKambing dan Hujan (2015). Perbedaan penentuan hari Idul Fitri membuat dua orang bernama Miftahul Abrar dan Fauzia itu menanggung sedih. Mereka berasal dari keluarga berbeda paham (ormas) dan memicu perbedaan kedetakan dengan segala keputusan pemerintah berkaitan agama. Jalinan asmara bergelimang ribut gara-gara dua orang itu berasal dari keluarga “modernis” dan “tradisionalis”.

Baca juga:  Bagi-Bagi Tugas ala Gus Dur dan Gus Im

Perbedaan penetapan Idul Fitri memastikan beda dalam mengadakan malam takbiran. Semula, Mif dan Fauzia ingin mengalami hari Idu Fitri itu bersama tanpa perbedaan keputusan pemerintah dan NU. Pengharapan tak terkabul. Mereka kebingungan dalam mengartikan malam takbiran dan ribet membuat jadwa kunjungan di hari Idul Fitri. Jadwal untuk meredakan “permusuhan” dua keluarga dan menguatkan ikatan asmara menuju pernikahan. Malam takbiran, malam dilema bagi Mif dan Fauzia.

Kita simak pengisahan Mahfud Ikhwan: “Tidak ada enaknya terdapat dua hari raya di desa sekecil Centong. Sungguh. Jika ditanya, semua orang, baik orang Selatan maupun orang Utara, akan bilang tidak suka. Orang Selatan harus mengakui, benar belaka ejekan halus orang Utara soap apa enaknya memastikan 1 Syawal pada tengah malam. Takbiran sepanjang malam, dimulai darimanjing magrib hingga keesokan harinya, adalah dambaan semua orang Islam yang telah berpuasa sebulan. Maka, sungguh tidak nyaman memulai takbiran pada pertengahan malam.” Novel itu berlatar di Jawa tapi tak harus terbaca seperti kita menikmai uraian dari Andre Moller.

Di Jawa, malam takbiran kadang dilema berkaitan tata cara penentuan. Dilema pun melanda orang-orang sedang kasmaran. Kita mengutip perasaan Mif:

“Pada 29 Ramadan, Tuhan malah memperlihatkan bulan tanggal satu kepada seseorang.” Duh, perasaan lelaki itu bersedih sambil mengartikan ibadah dan kebersamaan dengan kekasih di hari suci. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top