Dulu, kita disuguhi buku berjudul Puisi Arab Modern (1983). Buku disusun dan diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja. Buku penting bagi pembaca ingin mengenali sejarah dan perkembangan puisi di Arab. Hartojo Andandjaja menerjemahkan dari edisi bahasa Inggris, bukan bahasa Arab. Penerjemah berikhtiar “memberikan gambaran cukup mengesankan tentang situasi persajakan Arab modern.” Buku sering cetak ulang dan menjadi acuan bagi pembaca ingin terhubung ke sastra di negeri-negeri Arab.
Pada 2019, buku itu diterbitkan ulang oleh Kakatua, bentuk penghormatan ke penerjemah dan pengenalan (lagi) puisi-puisi asal Arab ke pembaca di Indonesia.
Di situ, kita membaca pengantar panjang mengaitkan sastra, politik, agama, kemanusiaan, dan lain-lain. Kita simak: “Pada akhir Perang Dunia II timbul paradoks besar yang menjadi bertambah jelas setelah malapetaka Palestina terjadi dan negara Israel berdiri di tahun 1948. Perbedaan-perbedaan antara dunia Arab dan Barat makin bertambah banyak dan tajam, mengakibatkan timbulnya serangkaian revolusi-revolusi yang bertujuan mencapai emansipasi politik yang penuh terhadap dominasi Barat. Namun di balik itu, secara tak sadar atau dengan tujuan yang sadar, pikiran Arab kontemporer dan sastra Arab kontemporer semakin terbuka bagi benturan pengaruh dari Barat yang semakin meningkat dalam periode sesudah perang itu. Sebagai akibat dari paradoks ini, gerakan-gerakan baru timbul, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang sastra, dan bidang-bidang seni yang lain.”
Kita mendapat keterangan apik tapi belum mendapat terjemahan puisi-puisi gubahan Mahmoud Darwish, pujangga kelahiran Palestina.
Kita mungkin telat mengenali Mahmoud Darwish. Pada 2019, Hamzah Muhammad menerjemahkan puisi-puisi gubahan Mahmoud Darwish terbit menjadi buku berjudul Almon yang Mekar dan Hal-Hal Lainnya.
Nama itu disodorkan saat para pembaca puisi di Indonesia masih terpikat ke puisi-puisi berasal dari Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Serikat. Kehadiran Mahmoud Darwish pun mengacu ke edisi bahasa Inggris. Kita diajak membaca sambil menambahi daftar nama pujangga untuk diberi perhatian, setelah terbitan Puisi Arab Modern (1983).
Mahmoud Darwish mengalami masa-masa penentuan di Palestina. Kata pengantar buatan Mohammad Shaheen mengutip pengakuan Mahmoud Darwish semasa bocah di sengketa bersejarah Palestina-Israel.
Mahmoud Darwish lahir di Palestina, 1941. Pada 1948, ia dan keluarga menjadi pengungsi, bergerak ke Lebanon. Di situasi sulit akibat politik, Mahmoud Darwish menempuhi pendidikan dengan segala represi dan diskriminasi. Pada saat bertumbuh dewasa, ia sudah bersuara nasib dan negeri. Mahmoud Darwish mulai terbiasa masuk-keluar penjara.
Ia memang ditempa sejarah. Kita mengutip penjelasan di Puisi Arab Modern untuk mengetahui latar biografi Mahmoud Darwish menentukan sikap politik dan selera estetika saat tampil sebagai pujangga terkemuka. Kita membaca:
“Tragedi Palestina di tahun 1948, dengan segala pantulannya di dunia Arab, ternyata merupakan saat timbulnya perubahan besar dalam sejarah modern bangsa Arab, baik politik maupun kultural. Sebagai reaksi terhadap bencana itu revolusi demi revolusi melanda sebagian besar pemerintahan lama di dunia Arab. Dan di lingkungan sastra, suatu usaha yang kuat untuk mengarahkan perhatian pada perjuangan dan penderitaan bangsa, untuk mengkristalisasikan sikap pemikiran dan pernyataan keinginan-keinginan bangsa dan merangsang harapan-harapan dan aspirasi-aspirasinya yang baru, berakibat dengan ditolaknya corak-corak puisi yang ada ketika itu dan diciptakannya jenis puisi yang baru lagi yang menimbulkan revolusi persajakan Arab dalam seluruh watak dan fungsinya.”
Mahmoud Darwish melawan Israel. Ia bersikap dengan politik dan sastra. Pada masa 1970-an, ia mulai menempuh studi di pelbagai negera, bergerak untuk melawan dengan publikasi tulisan dan mengelola majalah. Di pengasingan, Mahmoud Darwish semakin memiliki dalil-dalil menghasilkan puisi dan menebar pengaruh berkaitan politik dan sastra di Arab.
Pada 1990-an, Mahmud Darwish menjadi suara tajam. Ia mungkin bertaburan pujian tapi berhadapan dengan penguasa-penguasa di Arab. Puisi-puisi terus terbit. Puisi-puisi pun diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Mahmoud Darwish, nama penting meski terlambat dipujikan di Indonesia. Kita menghormati Mahmoud Darwish, penulis puisi-puisi mengenai Palestina dan menebarkan “kebaruan” dengan beragam tema untuk pembaca di pelbagai negeri.
Di puisi berjudul “Sekarang, di Pengasingan” kita membaca resah pujangga setelah mengalami tahun-tahun perlawanan dan ketekunan menggumuli sastra. Ia menulis: Bergeraklah tanpa tergesa, Kehidupan, hingga aku bisa melihatmu/ berikut semua kehilangan yang kualami. Betapa aku/ telah melupakanmu/ kurenggut satu dari rahasiamu, kau akan tegas berkata:/ Alangkah bodohnya dirimu! Sengketa belum berakhir. Revolusi-revolusi meredup dan muncul secara mencengangkan di Arab. Mahmoud Darwish sudah menata biografi dengan segala kehilangan. Sekian masih terpegang, teringat dalam ketuaan. Puisi-puisi masih bersuara, menemui pembaca-pembaca di Arab dan negeri-negeri terjauh. Nama tak menghilang. Makna menekuma jalan semakin panjang.
Pujangga tangguh, pujangga menolak dipatuhkan oleh rezim atau gagasan-gagasan politik picisan. Ia terus bersastra, mengantarkan puisi-puisi di keramaian omongan dan perjanjian-perjanjian politik sering teringkari. Puisi-puisi di derita dan kematian. Puisi terbaca saat Palestina masih kesengsaraan di akhir abad XX. Puisi masih mungkin mengingatkan kata, hidup, kemauan, dan perlawanan. Mahmoud Darwish dalam puisi berjudul “Kata-Kata Inilah” mengingatkan: Aku berkata: aku masih hidup, sebab kulihat kata-kata/ mengawang di pikiran./ Dalam pikiran, lagu berseliweran di antara kehadiran/ dan ketiadaan, membuka pintu hanya untuk menutupnya./ Sebuah lagu tentang hidup yang berkabut, meski, mematuhi/ hanya kata-kata yang telah kulupakan. Pada kata-kata, diri dan negeri selalu tertentukan dalam pembuatan makna atau pelupaan untuk sirna.
Di puisi berjudul “Counterpoint”, puisi dipersembahkan bagi Edward W Said, kita merasakan ada mufakat, sanggahan, kemarahan, kegetunan, keberanian, dan kegamangan. Pengalaman hidup di negeri terus berantakan dan kepergian-kepergian selalu mengingat asal tercantum dalam puisi. Mahmoud Darwish dan Edward W Said tetap mengikatkan diri ke Palestina, bergerak ke pelbagai negeri: bersuara Palestina dan menumpahkan kecewa-kecewa di khianat politik atau muslihat alur berpikir mengenai nasib Arab.
Mahmoud Darwish menulis: Ia berkata: Aku berasal dari sana. Aku berasal dari sini./ Aku tidak di sana dan aku tidak di sini./ Aku punya dua nama, bertukar-tangkap dengan lepas,/ dan aku punya dua bahasa./ Aku lupakan keduanya saat tidur-bermimpi./ Aku menulis dengan bahasa Inggris, kata-kata yang patuh./ Akulah sebuah bahasa/ di mana surga diserukan di Jerussalem:/ genting-kecemasan, yang tidak diacuhkan! Puisi itu menggetarkan. Kita sejenak mengingat Jerussalem dalam pengisahah sejarah oleh Simon Sebag Montefiore di buku berjudul Jerusalem: the Biography (2013). Kota terlalu bersejarah dan penting dibahasakan dalam rentetan persengketaan agama-politik. Jerussalem itu pusat dunia, tanah untuk kelahiran dan kematian ribuan puisi, dari masa ke masa.
Di perkataan lama, Jerussalem malah “sejarah langit dan bumi.” Kita menuju ke pengertian semua dengan perlahan membaca puisi-puisi gubahan Mahmoud Darwish. Membaca tak pernah sampai di pucuk makna. Begitu.
Judul : Almon yang Mekar dan Hal-Hal Lainnya
Penulis : Mahmoud Darwish
Penerjemah : Hamzah Muhammad
Penerbit : JBS, Jogjakarta
Cetak : 2019
Tebal : 133 halaman
ISBN : 978 602 52489 1 7