Soekarno mungkin peramal ulung atas masa depan politik Indonesia. Ramalan itu berkaitan dengan tulisan di zaman semaian pergerakan politik. Soekarmo menulis risalah tendensius bertajuk Nasionalisme, Islamisme, Marxisme di Suluh Indonesia (1926). Sejarah literasi politik menganggap risalah Soekarno menggerakkan dialog paham-ideologi dalam mengimajinasikan Indonesia. Apa yang Soekarno tulis?
“Sajang, sajanglah djikalau pergerakan Islam di Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di Indonesia kita ini ada pergerakan, jang sesungguh-sungguhnja merupakan pergerakan rakjat, sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah dinegeri kita ini ada pergerakan jang begitu menggetar sampai kedalam urat-sungsumnja rakjat, sebagai pergerakan jang dua itu!”
Itulah yang ditulis Soekarno dengan deskripsi yang terasa dramatik meski mengandung dilema semantik. Publik sering mengira bahwa risalah itu mengesankan Soekarno sebagai “pemersatu”. Max Lane (2012) justru menganggap Soekarno adalah “pembelah”. Soekarno eksplisit mengajukan perbedaan penganut tiga paham menggunakan argumentasi rujukan kerja politik dan kiblat ideologis.
Mereka tak bakal bisa luruh sebagai modal melawan kolonialisme-imperialisme. Soekarno pun sejak mula menjelaskan bahwa tiga paham itu dianjurkan menjalin “persahabatan”. Perbedaan tak mungkin lebur dalam osmose pergerakan politik.
Soekarno memang “pembelah” jika kita membuka lembaran-lembaran sejarah di masa 1940-an sampai 1960-an. Tragedi Madiun (1948) membuat Soekarno geram. PKI melakukan aksi politik di seberang idealitas demokrasi. Situasi pelik menguak ambisi-ambisi kekuasaan dan siasat “peminggiran” ideologi komunisme. Soekarno (1949) mengaku:
“Dadaku sesak kalau aku ingat malapetaka jang diperbuat oleh bangsaku sendiri ini.”
Buku
PKI di masa 1950-an justru membesar sebagai kekuatan politik. Aidit menggerakkan PKI sebagai “pengisah” Indonesia. Pengakuan atas peran PKI terbukti dalam Pemilu 1955.
Selebrasi ideologis ala PKI perlahan menimbulkan “trauma” dan “permusuhan” di kalangan Islam. Nalar politik konfrontatif semakin mengental oleh aliansi Soekarno-PKI. Aliansi ini seolah keajaiban politik di arus sejarah politik Indonesia. PKI memberi sokongan atas kebijakan-kebijakan Soekarno. Kompensasi politik diajukan Soekarno dengan pujian dan klaim atas politik massa ala PKI sebagai basis revolusi.
Agenda menandingi ulah PKI direalisasikan dengan penerbitan buku-buku mengandung serangan telak atas paham komunisme. Roesli D.M.B menulis buku kecil bertajuk Islam dan Komunisme (Bintang Hidjau, Solo, 1955). Buku itu bertaburan sanggahan terhadap komunisme. Konklusi keras: “Komunisme dipandang oleh Islam sebagai kekatjauan filsafat, kepintjangan pandangan hidup jang menjesatkan peri kemanusiaan.” Penulis mengajak umat untuk menolak dan melawan komunisme. Buku ini beredar menjelang Pemilu 1955.
Kehadiran buku sebagai undangan menampik komunisme di Indonesia juga diajukan oleh L.E. Hakim melalui buku Islam dan Demokrasi Kontra Komunis (Bulan Bintang, Djakarta, 1955). Materi di buku ini sengaja ingin memberi pembenaran atas kombinasi demokrasi dan Islam untuk menangkis komunisme.
Mohammad Roem (1954) pernah mengingatkan: “Sekali komunisme menang, lenjaplah demokrasi, dan kekerasan jang akan berkuasa.” Komunisme di masa 1950-an kentara jadi “musuh” dan “hantu” bagi kalangan pergerakan (politik) Islam. Sentimen terhadap komunisme di masa demokrasi parlementer menjelaskan persaingan sengit demi kekuasaan dan ikhtiar mengidealkan demokrasi ala Indonesia.
Puncak perseteruan terjadi dalam peristiwa 30 September 1965. Kisruh politik berdarah itu menempatkan PKI sebagai “pelaku” dan “penghancur”. Publik dengan nalar politik-panik membuat balasan terhadap PKI. Permusuhan, pembunuhan, pemenjaraan, penolalak atas komunism menjalar ke pelbagai ruang politik di Indonesia. PKI ada di senja kelabu. Situasi ini seolah membenarkan seruan-seruan dalam buku-buku terbitan kalangan Islam tentang “tabiat buruk” PKI. Peristiwa 1965 semakin menggairahkan penerbitan buku-buku melawan komunisme. Situasi politik menularkan gairah literasi-ideologis.
Kita bisa ajukan dua contoh buku sebagai reaksi atas peristiwa 1965. H.M. Rasjidi mengeluarkan risalah Islam Menentang Komunisme (Islam Studi Club Indonesia, Djakarta, 1965). Risalah itu berasal dari ceramah atas undangan Kodam Djaja V: 29 Nopember 1965.
Buku tipis tersebut eksplisit menjelaskan sikap politik melawan komunisme. H.M. Rasjidi menulis: “Tempat kekosongan jang disebabkan karena dibubarkannja Partai Komunis Indonesia hendaknja kita isi dengan mempraktekkan adajaran-adjaran Islam, berlomba-lomba dalam beramal untuk masjarakat dalam segala bidang sehingga tak ada lagi kemungkinan bagi komunis untuk hidup kembali apa lagi merebut kekuasaan.” Komunisme memang trauma untuk Indonesia.
A.Z. Abidin dan Baharuddin Lopa juga menerbitkan buku sebagai bantahan atas komunisme. Mereka menulis buku berjudul Bahaja Komunisme (Bulan Bintang, Djakarta, 1986). Buku ini memiliki kata sambutan dari Soeharto selaku Pedjabat Presiden Republik Indonesia. Soeharto berharap bahwa dengan penerbitan buku itu bisa membuat “rakjat tidak akan diperbodoh dan ditipu lagi oleh gerakan komunis jang sangat berbahaja itu.”Kata sambutan Soeharto semakin memberi “modal politik” bagi kalangan Islam memusuhi komunisme.
Kekuasaan
Sekian buku itu memiliki latar politik berbeda dan efek ideologis bergantung nalar dua rezim kekuasaan: Orde Lama dan Orde Baru.
Buku berperan sebagai rujukan iman dan politik agar tak terjerat godaan komunisme. Buku pun mengandung pamrih-pamrih politik bernalar konfrontatif.
Perbandingan Islam dan komunisme seolah bergerak ke adu klaim atas nama semaian demokrasi di Indonesia. Gerakan penerbitan buku adalah representasi adab literasi dalam negasi atau afirmasi ideologi.
Peran buku perlahan ada di tikungan “kebencian” dan “kemarahan”. Penerbitan buku-buku tentang komunisme usai keruntuhan Orde Baru justru lekas diladeni dengan “permusuhan”, “pelarangan”, “pembakaran” oleh sekian kelompok Islam. Mereka alpa dengan adab literasi merujuk ke masa 1950-an dan 1960-an.
Permusuhan terhadap komunisme di masa lalu ditanggapi dengan buku. Siasat itu tergantikan oleh “vandalisme literasi” di balik hasrat kekuasaan.
Ahmad Suhelmi dalam buku Islam dan Kiri (2009) menganggap pembakaran buku-buku kiri merupakan aksi rivalitas dan persaingan kekuasaan di kalangan elite politik. Anggapan ini bisa ditilik dari latar politik Indonesia di masa kekuasaan Abdurrahman Wahid. Tokoh Islam itu membuat panik elite politik melalui kehendak pencabutan Tap MPRS No. XXV/ 1966.
Latar itu menguak dekandensi literasi di Indonesia. Aksi pembakaran dan larangan buku-buku kiri ibarat ejawantah politik picisan. Dekadensi literasi juga membuktikan ada laju radikalisasi dan pengabaian amalan demokrasi. Begitu.
Selalu menggebu-gebu dan bersemangat jika membicarakan komunisme….