Sedang Membaca
Laju Puisi Arab di Rel Modernitas
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Laju Puisi Arab di Rel Modernitas

Arab Modern (sampul)

Situasi Arab masih saja tak keruan. Politik tentu jadi penentu nasib negara-negara di Arab. Kita mendapat berita setiap hari, belum mendapat cerita dan puisi. Kisruh dan kematian menjadi berita pedih, tak jua berhenti. Arab mungkin melulu-luka, airmata, kemarahan, sesalan, atau duka. Kegembiraan dan penghiburan tentu berlangsung pula di Arab. Sekian berita malah membuat kita kagum atas kemewahan dan kemegahan. Kedatangan berita-berita itu cepat ketimbang cerita atau puisi.

Pada 2018, kita mendapat buku terjemahan puisi-puisi Adonis berjudul Panggung dan Cermin. Ia teranggap pujangga moncer dan berpengaruh di Arab abad XX. Di Indonesia, Adonis itu pemikir dengan buku-buku tebal dan pujangga belum terlalu mendapat perhatian. Adonis mengisahkan: angin menemaniku dan batu-batunya adalah kenabian:/ batu adalah tuan kota/ batu adalah pembantu kota/ batu yang luas menggulung dalam khalifah pamungkas/ batu adalah bintang yang ringan/ digantung oleh anak-anak kecil/ di antara mimpi-mimpi mereka yang lembut/ dan mata-mata cermin/ – kutitipkan pada bebatuan/ puing-puing yang ditinggalkan sungai/ dalam perjalananku. Arab mengingatkan tanah pilihan bagi nabi-nabi. Di sana, peradaban berlangsung lama dan agama-agama memberi petunjuk melintasi abad demi abad. Kini, kita masih menoleh ke Arab, membawa ingatan dan ramalan-ramalan.

Kita bisa membuka album ingatan Arab dengan buku babon berjudul History of the Arabs susunan Philip K Hitti. Di edisi terjemahan bahasa Indonesia, 2010, kita mendapat hamparan pengisahan dan keterangan mengenai Arab: memukau dan meminta pembaca di ketekunan memikirkan segala hal. Kita simak penjelasan Philip K Hitti: “Jadi, apa yang disebut ‘peradaban Arab’ bukanlah peradaban asli orang-orang Arab, baik dalam struktur dasarnya maupun dalam pelbagai aspek dasar etika. Kontribusi Arab yang bersifat orisinil dalam peradaban hanya terdapat dalam bidang bahasa, dan hingga batas tertentu dalam bidang agama.” Kita perlahan mengerti bahwa bahasa itu pokok atau unggulan bagi Arab. Bahasa bergerak dan mengabadi di gubahan-gubahan sastra. Di puisi, bahasa menemukan puncak-puncak kemuliaan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (66): Wadzifah Nûrâniyah Tarekat Sa'diyyah

Penjelasan itu mengantar kita ke buku berjudul Puisi Arab Modern (2019), mengacu ke pilihan dan penerjemahan oleh Hartojo Andangdjaja. Buku memuat puisi-puisi gubahan para pujangga dari 10 negara. Penerjemahan dilakukan dari edisi bahasa Inggris, tak langsung dari bahasa Arab. Kita tetap beruntung bisa masuk ke halaman-halaman sastra berasal dari Arab. Hartojo Andangdjaja menjelaskan: “Dengan harapan agar antologi ini sedikit banyak dapat memberikan gambaran yang cukup mengesankan tentang situasi persajakan Arab modern, maka catatan tentang perkembangan puisi Arab modern dan keterangan-keterangan biografik tentang tokoh-tokoh penyair yang ditampilkan dalam antologi ini, kiranya akan dapat membantu usaha ke arah tujuan itu.”

Kita telah lama mendapat terjemahan puisi-puisi asal Eropa, Amerika Serikat, Rusia, Amerika Latin, dan Tiongkok. Kedatangan terjemahan puisi Arab memberi sentuhan berbeda dalam membandingkan laju kesusastraan di pelbagai negeri. Di Indonesia, pembacaan puisi-puisi Arab mungkin membuka arah menguak keterpengaruhan para pujangga Islam atau sufistik saat turut memajukan sastra di Indonesia, sejak awal abad XX.

Di negara-negara Arab, para pujangga ingin pesona bahasa Arab terus tegak dan melenggang di zaman kemajuan. Usaha menggubah puisi-puisi “baru” turut dipengaruhi dengan situasi pendidikan dan penerbitan buku. Penguasaan sekian bahasa asing oleh para pujangga memungkinkan membaca teks-teks sastra dunia. Mereka pun terpengaruh pada sastrawan besar di luar Arab: Ezra Pound, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Pablo Neruda, dan lain-lain. Pengaruh Barat merangsang ke bentuk sastra baru ketimbang melulu melestarikan model-model sastra lama. Ketegangan dan konflik estetika berlangsung tapi bahasa Arab malah memiliki arah-arah baru untuk bergerak.

Baca juga:  Hayy ibnu Yaqdzan, Novel Klasik Berkisah Nusantara sebagai Tempat Lahirnya Manusia Pertama

 Kita simak puisi berjudul “Langkah Sumbang” gubahan pujangga Irak bernama Bualnd al Haidari (1926-1996). Puisi tak terlalu sulit dibaca orang-orang Indonesia memiliki pengalaman babak modernitas bersimbol kereta api. Benda itu mengubah tatanan hidup, memberi zaman bergerak cepat. Bualnd al Haidari menulis: Mata pisau musim dingin yang tajam/ menembus peron,/ Angin ribut mengeong bagai kucing,/ Dan di atas rel-rel/ Berayun lampu kuno,/ Dan dusun kami yang sederhana/ Gemetar di bawah sinarnya./ “Mau apa aku di kota?”/ Dia bertanya padaku:/ “Mau apa kau di kota?”/ Menuruni jalan-jalannya yang panjang itu/ Akan tersesat langkahmu yang dungu,/ Dan gang-gangnya yang buntu/ Akan menelanmu. Kita merasa ada kemiripan bahwa kereta api terlalu mengubah tatanan hidup lama. Kereta api jadi tanda bagi pilihan hidup di pilihan desa atau kota. Modernitas melaju di atas rel. Pandangan lama dan masa lalu sering bergetar dan tertinggal di kejauhan.

Kita masih membaca kereta api di puisi gubahan Nizar Qabbani (1923-1998) asal Suriah. Puisi itu berjudul “Aku Kereta Api Duka”. Pengalaman di kereta api, pengalaman di kecepatan dan kehilangan. Di kereta api, orang tetap memiliki capaian meski gampang terlewati. Nizar Qabbani menulis: Jalan kereta/ Makin cepat dan cepat juga/ Dalam perjalanannya/ Memamah daging jarak-jarak yang ditempuhnya/ merampas padang-padang yang dilaluinya/ melulur pohon-pohon yang dilaluinya/ Menjilat kaki telaga demi telaga. Kereta api dan tempat-tempat. Kecepatan membuat manusia atau “penumpang” tak sanggup merenung atau “memiliki” tempat-tempat. Semua berlalu cepat, terlihat saja. Orang-orang di Indonesia tak jauh beda dengan pengalaman kereta api telah dicantumkan para pujangga di ratusan gubahan puisi, dari masa ke masa.

Baca juga:  Ahmad Tohari dan Wasilah Semut

Kita lanjutkan membaca puisi berjudul “Mimpi” gubahan Muhammad al Maghut (1934-2006), pujangga lahir di Palestina. Kita masih menemukan pengarsipan atas babak modernitas mengakibatkan pelbagai perubahan. Modernitas dibandingkan dengan tata cara hidup lama masih berlangsung di sekian tempat. Ia menulis: Di abad atom dan otak elektronik/ Di zaman wangian, lampu remang dan nyanyian/ Aku bercerita padanya tentang orang Badui/ Yang bersenandung tentang perjalanan ke padang pasir/ Di punggung unta/ Dan buah dadanya yang muda/ tengadah mendengarkan aku/ Seperti anak-anak kecil yang duduk seputar nyala api/ Tengadah mendengarkan cerita yang menarik hati/ Kami mengimpikan padang pasir…. Puisi itu menggejala pula di Indonesia. Para pujangga bernostalgia, merindukan masa lalu atau situasi hidup belum bising. Puisi menjadi “rumah” untuk pemenuhan ke ketenangan, kebersamaan, kebahagiaan, dan ketakjuban mengacu masa lalu atau tatanan tradisonal.

Kita sudah membaca buku berjudul Puisi Arab Modern. Puluhan puisi masih berlatar abad XX. Kita menantikan kemunculan lagi edisi terjemahan buku puisi dari Arab: mengenalkan pujangga-pujangga mempersembahkan puisi berlatar abad XXI. Kita menanti dengan sabar sambil kedatangan berita-berita sering duka dan ruwet dari negara-negara Arab. Kedatangan puisi mungkin agak meredakan dan mengubah kejenuhan kita dengan berita-berita perang, pengungsi, kematian, dan revolusi di Arab. Begitu.

 

Judul           : Puisi Arab Modern

Penerjemah : Hartojo Andangdjaja

Penerbit      : Kakatua, Jogjakarta

Cetak          : 2019

Tebal          : 207 halaman

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top