Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kliping Keagamaan (19): Antara Penulis dan Pembaca Agama

Gibran, Gatra, 3 Juni 2000

Pada saat Indonesia direpotkan “krisis”, orang-orang memiliki siasat puitis mengalami hidup di Indonesia dengan guncang. Tahun-tahun tak menentu tapi orang membaca buku. Mereka membaca buku-buku melembutkan perasaan, menghindari buku mengajak amuk. Rak sastra di toko buku ramai oleh orang-orang ingin membaca buku ketimbang marah-marah memikirkan kaum politik dan kaum pemodal di Indonesia.

Nah, sekian orang memilih buku-buku laris dan menghidupi penerbit-penerbit di Jogjakarta. Puluhan judul buku diterbitkan beragam kemasan. Laris! Pasar buku mencatat kemonceran dan untung dari buku-buku Khalil Gibran. Di toko buku, perpustakaan, atau rumah, orang-orang membaca buku Khalil Gibran. Mereka merasa puitis. Hidup tak lagi terasa buruk dan mengutuk. Khalil Gibran memberi kata-kata sering dipilih menjadi kutipan. Babak meriah agak mengingatkan penerbitan buku-buku Khalil Gibran oleh Pustaka Jaya dalam ukuran kecil dan sederhana banget. Edisi dari penerbit-penerbit Jogja lekas menguasai pasar. Para penerjemah berkejaran saat ribuan orang menggandrungi Khalil Gibran. Ketagihan!

Para pembaca mulai memilih dan memihak ke selera sekian penerjemah. Bentang dianggap menggarap tampilan buku tampak keren. Di Jakarta, penerbit-penerbit besar mulai turut di pasar menguntungkan. Penulis mengalami masa ketagihan Khalil Gibran saat masih SMA. Edisi terbitan Pustaka Jaya terbaca duluan saat berbelanja ke pasar buku bekas, sebelum terbujuk buku-buku terbitan Jogjakarta. Kini, bacaan-bacaan itu teringat. Dua judul mengesankan: Sang Nabi dan Taman Sang Nabi. Semula, penulis menganggap Khalil Gibran beragama Islam. Nama mengesankan Arab dan Islam. Buku demi buku terbaca, penulis mulai mengerti biografi Khalil Gibran di Lebanon dan Amerika Serikat. Penulis pun khatam Yesus Anak Manusia gubahan Khalil Gibrah. Apik!

Baca juga:  Mengantarkan Cita-Cita Para Santri

Di Gatra edisi 3 Juni 2000, kita membaca resensi untuk mengingat umat pembaca masa lalu dan buku-buku Khalil Gibran. Resensi diawali peristiwa dan ralat: “Penyair ‘celurit emas’, D Zawawi Imron, suatu ketika mengunjungi pameran buku di Jakarta. Di stan buku-buku Islam, tiba-tiba matanya melotot, ‘Lho, buku Gibran berada deretan buku-buku Islam?’ ia bertanya dalam hati sembari mengulum senyum.” Dulu, para pembaca belum mengetahui biografi Khalil Gibran terbiasa menganggap ia beragama Islam. Di Indonesia, ribuan atau jutaan pembaca buku-buku Khalil Gibran beragama Islam. Kita digoda berpikiran tentang buku, agama penulis, agama pembaca, dan nama pameran buku. Di pameran buku cap Islam, buku-buku Khalil Gibran sering diperdagangkan bersama buku-buku Jalaluddin Rumi.

Dulu, penulis membaca Khalil Gibran cuma sebentar, lekas terpikat membaca buku-buku terjemahan memuat gubahan sastra Tagore dan Iqbal. Buku-buku Rumi pun terbaca. Pada masa berbeda, Khalil Gibran bangkit lagi melalui terjemahan Sapardi Djoko Damono, diterbitkan oleh Bentang. Penulis justru mengingat gubahan sastra dan biografi Khalil Gibran dalam terjemahan Bakdi Soemanto dan Nin Bakdi Soemanto.

Pada 2000, Fuad Hassan, intelektual pernah menjadi menteri dan beragama Islam, menulis buku berjudul Menapak Jejak Khalil Gibran. Kita mulai mengerti para tokoh tenar di Indonesia adalah pembaca buku-buku Khalil Gibran. Pengarang asal Lebanon dan tenar di Amerika Serikat itu seperti memiliki tanah air bernama Indonesia, tak terlalu bermasalah dengan agama. Di Gatra, kita membaca: “Kisah hidup Gibran Khalil Gibran dipaparkan secara gamblang. Menembus batas agama, etnis, dan kebudayaan.” Kita pun bermufakat bahwa dalam urusan membaca buku-buku terbaca, pergumulan pemikiran, pukau imajinasi tak perlu membuat orang-orang menjadi kolot: orang Islam harus membaca buku tulisan orang Islam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top