Pada saat kelas 3 SD, penulis rajin ke masjid. Sore, belajar mengaji. Hari demi hari berganti, penulis menekuni buku berwarna hitam. Buku berjudul Iqro’: Cara Cepat Belajar Membaca Al-Quran susunan KH As’ad Humam. Buku berpenampiln sederhan dengan pamer tiga gundul di sampul. Penulis membawa buku dalam kresek hitam. Pergi ke masjid membawa kresek, membedakan dari peristiwa ke sekolah membawa tas. Dua tahun, penulis diajari membaca mengguanakn Iqro’, 6 jilid. Pada kelas 5, penulis berhasil tamat jilid 6. Pihak masjid mengadakan wisuda. Pada suatu malam, puluhan bocah didandani dengan daster hitam dan toga. Mereka bergantian ke panggung, mendapat piagam dan berfoto bersama orangtua. Oh, acara terindah di masa lalu. Wisuda ditonton ratusan orang, diselingi pengajian. Bocah-bocah itu bangga telah tamat Iqro’, menapaki arah ke membaca Al-Quran.
Iqro’ di kalangan bocah menjadi gengsi. Bocah sudah 6 SD masih Iqro’ 3 pasti malu. Si cilik masih kelas 3 SD berhasil Iqro’ 5 dianggap rajin dan sungguh-sungguh. Bocah-bocah sudah diwisuda semakin bergengsi di mata teman-teman masih harus menamatkan Iqro’. Mereka berhak turut dalam tadarus bersama bapak-bapak. Masa lalu itu berlanjut dengan mengikuti lomba-lomba untuk TPA (Taman Pendidikan Al-Quran). Masjid menugasi penulis mengikuti lomba pesalatan, pidato, membaca Al-Quran, dan lain-lain. Lomba tingkat kecamatan dan kebupaten, penulis berulang menang. Pulang membawa piagam dan piala. Ingat piala-piala ditaruh di masjid, penulis mesam-mesem, sebelum malu gara-gara saat dewasa malas pergi ke masjid. Duh!
Di majalah Panji Masyarakat edisi 7 April 1999, terbaca laporan panjang: “Tua-Muda Belajar Ngaji.” Di situ, terbaca keterpilihan buku Iqro’ dipelajari di seanatero Indonesia. Kita membaca: “Dan Iqro’ berhasil menjadi fenomena setelah pemerintah kemudian merekomendasikan metode ini untuk disebarluaskan ke seluruh Indonesia melalui jaringan Departemen Agama pada 1990.” Pada masa lalu, ada sekian metode dan buku untuk mengajarkan membaca kitab suci. Kita mengingat Al Baghdadiyah, Al Barqy, Al Muyassar, Al Kamali, dan lain-lain. Sejarah memukau memang milik Iqro’, sebelum bermunculan metode dan buku memudahkan orang bisa membaca kitab suci. Pada masa berbeda, ada teknologi belajar. Belajar membaca tanpa guru. Bocah dibelikan buku atau kitab suci dilengkapi pensil bisa bersuara. Di pelbagai lembaga, ada kursu lancar membaca kitab suci dalam hitungan jam atau hari saja.
Kita mengingat masa lalu dengan membaca pengantar H As’ad Humam (1990) di Iqro’: “Sejak tahun lima puluhan, penyusun telah berkecimpung dalam pengajaran Al-Quran dengan menggunakan berbagai metode yang dalam kenyataannya ternyata belum sempurna. Atas dasar pengalaman yang cukup lama dan permintaan serta desakan dari berbagai pihak maka berkat inayah Allah, kerja keras dan bantuan berbagai pihak tersusunlah buku Iqro’.” Pada masa 1990-an, buku itu laris. Bocah-bocah bangga bila memiliki Iqro’. Sekian bocah membeli atau mendapat pinjaman dari pihak masjid.
Pada masa 2000-an, Iqro’ masih laris. Pihak penerbit, Team Tadarus AMM Kotagede, Jogjakarta, melakukan revisi. Usaha dakwah dan mengajak orang-orang bisa membaca Al Quran semakin meningkat. Eh, peningkatan juga terjadi dalam pembajakan buku. Iqro’ menjadi santapan kaum serakah duit melalui pembajakan. Di pasar buku, Iqro’ bajakan beredar dengan harga murah. Penerbitan Iqro’ pada masa 2000 biasa mengikutkan pesan di sampul: “Hati-hati buku bajakan! Bisa tidak barokah.” Nah, kalimat itu tetap saja muncul dalam edisi-edisi bajakan. Ah, kita nggumun memikirkan usaha ingin bisa membaca Al-Quran dan bisnis buku bajakan tak pernah tamat.