Setahun lagi, kita memperingati seabad Koentjaraningrat. Di Indonesia, ia diakui sebagai tokoh besar dalam antropologi. Buku terwariskan penting dibaca sampai sekarang berjudul Kebudayaan Jawa (1984).
Buku tebal dengan khazanah pengetahuan pantas dipelajari pembaca untuk mengenal dan mengakrabi Jawa, dari masa ke masa. Buku dinantikan cetak ulang mengikutkan sekian catatan dan lampiran memuat resensi-resensi dari masa lalu. Buku itu belum memiliki tandingan meski sudah dianggap memerlukan ralat dan “penambahan”.
Di situ, Koentjaraningrat menjelaskan: “Di keraton-keraton dan rumah-rumah keluarga bangsawan secara teratur diadakan pertemuan-pertemuan kesusastraan, di mana orang-orang yang ahli dalam hal membaca bagian-bagian kesusastraan Jawa dengan irama metrum macapat (maos) diundang.”
Keterangan itu kadang memicu penasaran: kebiasaan masa lalu saja atau masih berlangsung sampai sekarang. Koentjaraningrat mengutip situasi dan kebiasaan itu mengacu pengamatan lama oleh Pigeaud (1928). Kita lanjutkan: “Di antara berbagai buku kesusastraan yang dibacakan pada pertemuan-pertemuan semacam itu adalah karya-karya yang bersifat agama Islam, seperti bait-bait dari buku Jawa Serat Ambiya, bagian-bagian dari naskah Barzanji yang biasanya dibacakan dalam pertunjukan-pertunjukan selawatan, dan juga buku-buku kesusastraan agama Islam lainnya.” Pada masa lalu, buku-buku menjadi acuan untuk mengesahkan pertemuan Islam-Jawa.
Kebiasaan masa lalu mengandung kekhasan: “Lagu yang digunakan bukan lagu Arab atau lagu membaca Quran, melainkan lagu macapat dan lain-lainnya untuk bagian pembukaan dari bawa swara, misalnya tembang ageng dan tembang madya. Pertemuan-pertemuan agama ini diadakan pada waktu-waktu tertentu, tetapi berlainan waktunya dengan pertemuan-pertemuan maos yang lazim, dan diadakan terutama pada hari-hari raya Islam.”
Masa lalu di Jawa itu buku. Pada 1891, terbit buku berjudul Serat Muhammad. Buku diterbitkan Van Dorp & Co di Semarang. Koentjaraningrat menjelaskan tentang keinginan dan kebiasaan orang-orang di Jawa untuk mengenali dan menghormati ketokohan dari babak awal pertumbuhan Islam di negeri jauh: “Semua cerita itu termaktub dalam buku Serat Muhammad, sebuah buku puisi dengan syair-syair yang harus dibaca dengan lagu macapat.” Kita berulang mendapat ingatan tentang Islam dan Jawa melalui macapat.
JJ Ras dalam buku berjudul Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (1985) mengingatkan: “Sastra tertulis tradisional sebagian besar digubah dalam matra macapat (tembang macapat). Di dalam jenis sastra ini sering digunakan kata-kata puitis khusus (tembung kawi) dan segala jenis arkaisme…. Setiap matra memiliki pola atau pola-pola lagunya sendiri bagaimana naskah harus dinyanyikan. Pemilihan matra dengan lagunya sangat bergantung pada semangat isinya: didaktik, teguran, nasihat, serius, cinta asmara, nada keras, dan lain sebagainya.” Macapat terlanggengkan dengan sastra, sejak lisan sampai tulisan. Industri buku masih menghendaki gubahan sastra menggunakan bentuk macapat.
Dua buku lama mengantar kita di hadapan Sekar Sari Kidung Rahayu: Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma (2003) anggitan Achmad Djuwahir Anomwidjaja. Buku diterbitkan oleh Masyarakat Poetika Indonesia (Universitas Ahmad Dahlan) dan Bentang, Jogjakarta. Cetakan pertama, 1992.
Misi penerbitan buku: “… kangge nglestantunaken seni macapat ingkang rumiyin dipun giyaraken dening para wali. Kaping kalih, kangge tumut ambiyantu para sederek ing padhusunan utawi ing kitha ingkan taksin remen dumateng seni macapat. Kaping tiganipun, kangge tumut ambiyantu para dai utawi mubaligh ingkang badhe dakwah utawi tabligh dhateng masyarakat ingkang taksih remen dhumateng seni macapat wau.” Kita mengerti bahwa macapat dilestarikan berdasarkan tata cara dakwah masa para wali dan tergunakan dalam berdakwah di desa atau kota.
Di buku, ada pengantar pendek dari KH AR Fachruddin. Kita mengerti faedah dan hikmah macapat dalam berdakwah. Kita mengutip: “Muhammadiyah sendiri dalam menyampaikan dakwah ke pelosok desa masih menggunakan tembang macapat ini. Penggunaan tembang dimaksudkan agar apa yang disampaikan oleh muballigh Muhammadiyah mudah diterima masyarakat setempat. Jadi, berdakwah dengan menggunakan tembang tidak bertentangan dengan maksud ajaran agama kita.” Alinea tanpa keraguan memberi penghormatan atas dakwah menggunakan macapat.
Di halaman 29-30, Dhandanggula (Ngemot Suraosipun Surat Al-Ashr). Kita mengutip: Gegaraning urip mrih basuki/ udinen dimen dadi widada/ yuwana rahayu kabeh/ utama lampahipun/ budi luhur sabar taberi/ rumeksa kekadangan/ udur datan purun/ kinanthen rasa katresnan/ unggah-ungguh trapsila ing samukawis/ nuhani mirng agama// Agamane Islam kang sejati/ mranata gesang ing jagat raya/ ora keri akherate/ neng donya tan lestantun/ gesang amung kadi lumaris/ samangsa sampun prapta/ wanci kang tertamtu/ ‘Ajroil anjabut nyawa/ roh pinecat ngadhep mring Hyang Maha Suci/ angga wus tanpa guna. Kita merasakan dakwah dengan macapat mengesankan “tua” dan kesilaman. Pada abad XXI, macapat malah asing meski berhikmah besar bila ada penjelasan dan arus pengisahan dalam perjumpaan Islam-Jawa, sejak ratusan tahun lalu.
Di Jawa abad XXI, macapat masih lestari berkaitan kitab suci. Pada 2007, terbit Injil Papat: Piwulang Sang Guru Sejati ing Tembang Macapat susunan GP Sindhunata dan Ag Suwandi. Pada 2017, sudah cetak ulang keempat.
Di situ, terbaca keterangan: “Macapat punika kagunan adiluhung, warisanipun para sepuh saha pepundhen Jawi dhumateng putra wayahipun. Ing tengahing zaman modheren punika, pranyata taksih kathah sadherek-sadherek ingkang makempal lang mligekaken wekdal kangge macapatan…. Ing sawektawis papan utawi lingkungan, para umating Pasamuwan Suci Katulik ugi taksih remen ngginakaken macapat kangge maos kitab suci.” Kita mengetahui bahwa macapat pun digunakan dalam membaca dan mengerti kitab suci bagi orang-orang Katolik di Jawa. Macapat itu warisan para leluhur memungkinkan orang-orang beriman dan berdakwah.
Pada abad XXI, citarasa kelawasan macapat mungkin masih dianggap membingungkan bagi kaum muda menanggungkan zaman (terlalu) teknologis. Kaum tua atau orang-orang berpijak kejawaan justru menganggap macapat itu menjadikan umat mengakrabi kitab suci dalam kemerduan, ketenangan, dan kebersamaan. Begitu.