Pada 10 Juli 1950, terbit majalah Kunang-Kunang edisi Lebaran. Majalah untuk bocah terbitan Balai Poestaka itu turut meramaikan dan merekam Lebaran. Tulisan, gambar, dan foto disajikan dengan maksud mengantar bocah dalam pemaknaan diri, hari suci, dan Indonesia.
Majalah itu terbaca oleh bocah-bocah saat Indonesia sedang gencera mengadakan pemberantaras buta huruf atas perintah revolusiner dari Soekarno. Peristiwa membaca majalah tentu ketakjuban untuk mengetahui dan mengenang segala hal mengenai Lebaran menurut pikiran-perasaan bocah.
Kini, kita membaca majalah itu setelah puluhan tahun berlalu. Kita menghadapi majalah sambil mengandaikan tata kehidupan masa 1950-an. Di lembaran-lembaran majalah, Lebaran itu terceritakan menggunakan bahasa Indonesia dan situasi Indonesia sedang ingin berdemokrasi.
Dulu, bocah mungkin girang membaca majalah sampai rampung. Khatam berlanjut ke renungan-renungan.
Pada 2018, kita membaca lagi dengan situasi Indonesia telah berbeda dan kegirangan bocah-bocah tak lagi ke majalah tapi mengarah ke televisi dan gawai. Di hadapan Kunang-Kunang nomor Lebaran kita bernostalgia saja meski wagu.
Bocah bernama A Muin Ikram asal Sambas berkirim puisi berjudul “Hari Raja”. Puisi khas Lebaran, dari masa ke masa:
Tabuh berbunji/ bersahut-sahut,/ mengguntur riuh,/ disawang lapang,/ lepas-bebas hati jang rusuh,/ diliput rasa riang gembira,/ teman, Ramadhan telah habis,/ Hari Raja datang mendjelang.
Deskripsi mengesankan dari tatapan mata bocah. Ia telah merekam dan menuliskan ke sesama bocah. Pada bait berbeda, kesan Lebaran semakin menguat sebagai pengalaman religius:
Siapa tak riang,/ siapa tak senang,/ hari idaman,/ kurnia Tuhan,/ tiba membawa nikmat bahagia,/ segala hati bersuka-tjita,/ meriah senjum gelak tertawa,/ menjambut Hari Raja Mulia.
Bocah mengalami dan menafsir Lebaran dengan kesungguhan. Bocah itu menulis religius ketimbang segala pesta, hiburan, duit, dan makanan.
Renungan berlatar keluarga dan Indonesia terasa di puisi berjudul ‘Salam Bahagia” gubahan MS Asmaradjaja asal Pontianak. Ia menulis puisi dokumentasi sosial di peristiwa Idul Fitri. Bocah menjadi pengamat dan berlaku menjadi tokoh dalam selebrasi hari suci. Pengisahan cenderung membuka tatapan ke gejala-gejala sosial dan kebangsaan, ejawantah pendasaran religius. Asmaradjaja menulis:
Maka sambutlah…./ Salam bahagia persembahan hamba,/ Pada kakak dan adik, teman semua,/ Seiring kita didalam arti,/ Ma’afkan kesalahan dan kechilafan,/ Dalam djalinan tahun jang silam// Serta harapan…/ Dari gamba djauh disana,/ Terhadap saudara kawan sebangsa,/ Berbimbing tangan bahu membahu,/ Dalam membentuk masjarakat baru,/ Mengisi kemerdekaan Indonesia.
Si penggubah puisi tampak rajin mengikuti berita dan perkembangan tata kehidupan di Indonesia masa 1950-an. Revolusi sedang berlangsung bermaksud membentuk “masjarakat baru” sesuai kepribadian Indonesia. Bocah-bocah pun mendapat pendidikan-pengajaran di sekolah dan rumah untuk mengartikan Indonesia dengan kebaruan.
Lebaran itu menandai ada mufakat bersama untuk mengartikan Indonesia. Lebaran milik semua orang, berbagi bahagia dan saling memaafkan. Gagasan Indonesia tak terlupa berkaitan sikap dan peristiwa keagamaan.
Suasana Lebaran di kota sering ramai. Kota memiliki cerita berlimpah mengenai Lebaran berupa makanan, minuman, pakaian, hiburan, dan pelesiran. Di tempat jauh dari kota, Lebaran para bocah kadang ingin bersaing dengan kota. Pembaca agak terkejut dengan pengisahan Lebaran oleh Tjandrakirana, selebrasi di hutan. Lebaran tetap membahagiakan. Pengisahan berbeda dengan dua puisi terdahulu tapi tetap mengarah ke pemaknaan Lebaran dan Indonesia. Tjandrakirana riang bercerita: Dor, dor, duuuuung/ bukan petasan bung,/ tapi peluru berdentum//…. // Lebaran kami rajakan,/ berdentum peluru, ganti petasan,/ meramaikan kesunjian menggema malam,/ mendjaga tegaknja tiang negara! Bocah-bocah sempat berimajinasi Indonesia pernah dijajah. Perang demi perang berlangsung demi merdeka.
Pada masa 1950-an, Indonesia sudah tegak sebagai negara dan bangsa. Bocah-bocah menghendaki keriangan dalam Lebaran itu awalan memberi arti dan mempertahankan daulat Indonesia. Lebaran pun keramaian, tak mau kalah dari kota.
Di puisi keempat, pembaca diajak mengingat masa kecamuk revolusi di Indonesia. Penggubahan puisi bernama B Jamil asal Bukitinggi mengenang setahun lalu. Indonesia merdeka tapi tetap dirongrong Belanda dan pemberontakan-pemberontakan.
Di pelbagai tempat, usaha menjaga kedaulatan dan tetap menggerakkan Republik Indonesia berlangsung dengan getir dan pengorbanan. Pada peringatan Lebaran, ingatan-ingatan itu bermunculan.
Puisi berjudul “Kenang Dihari Taja Tahun Jang Lalu”, pembaca membuka album sejarah:
Sekali ini masa darurat/ Semua kami dalam melarat/ Dilingkung teman dengan sendjata/ Digaris depan bersuka ria/ Dengan harapan ingin berdjasa/ Dengan tugas untuk negara/ Ingat kewadjiban kepada nusa.
Nasionalisme berjaling dengan pemaknaan hari suci. Kenangan itu pantas jadi ajakan ke bocah-bocah tak melupa lakon-lakon merdeka di alur revolusi. Di bait kedua, Jamil menulis perbedaan situasi:
Hari raja sekali ini/ Lebih meriah pada rasaku/ Letusan mortir silih berganti/ bagai petasan menderu-deru/ Berhari raja/ Sambil berdjuang/ Didalam hutan/ Bukit Barisan/ Hanja sekarang kami terkenang/ Teman berdjuang jang telah hilang/ Ia tak turut bergembira.
Pada Lebaran, cerita mengenai Indonesia dan kehilangan teman-teman menambahi makna religius dan kebangsaan. Di mata bocah, Lebaran bukan cenderung gembira berlebihan tapi keinsafan mengerti cara mengartikan agama dan hidup bersama di Indonesia. Begitu.