Sedang Membaca
Kenangan dan Rabun
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kenangan dan Rabun

Bahasa Indonesia: Bacaan Jilid 5B (1980) terbitan Balai Pustaka

Buku masih teringat oleh orang-orang pernah menjadi murid pada masa Orde Baru. Murid di SD dengan buku-buku pelajaran sering meminjam di perpustakaan. Buku-buku diselenggarakan pemerintah memang untuk dipinjam murid-murid. Buku-buku “tidak diperdagangkan” atau “milik negara”. Konon, kebijakan perbukuan demi memajukan pendidikan di Indonesia.

Buku itu berjudul Bahasa Indonesia: Bacaan Jilid 5B (1980) terbitan Balai Pustaka atas otoritas Depdikbud. Gambar di sampul depan khas: tiga murid bergandengan. Mereka berpenampilan rapi dan berwajah ceria. Belajar di sekolah itu membahagiakan agar nalar pembangunan nasional mendapat pujian?

Murid-murid masa lalu mendapat suguhan dua puisi. Mereka membuka halaman 18, bertemu puisi berjudul “Karangan Bunga” gubahan Taufiq Ismail. Murid-murid SD diajak menikmati gubahan sastra berkaitan 1965. Halaman itu cuma memuat puisi, tak ada tafsir atau keterangan. Puisi dua bait dilengkapi ilustrasi tak cocok jika menilik kesilaman.

Kita mengandaikan menjadi murid SD sedang membaca perlahan: Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu// Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak yang ditembak mati / Siang tadi. Larik-larik mudah dibaca murid tapi tak gampang mengerti “maksud” atau “kejadian”. Guru berperan sebagai pengantar atau pemberi tafsir agar murid-murid mengetahui babak mendebarkan: kejatuhan rezim Soekarno dan kemunculan Soeharto mencipta rezim Orde Baru.

Puisi berlatar 1965 disuguhkan dalam buku beredar di SD-SD. Murid-murid mungkin diajak guru membenci PKI dan memuji Soeharto. Puisi tanpa keterangan tempat dan tahun penulisan. Guru memerlukan sekian sumber untuk bisa memberi penggalan-penggalan tafsiran. Guru mungkin berhasil menemukan sumber bacaan mengenai Angkatan 66. Dulu, murid-murid SD masa 1980-an belajar bahasa Indonesia digoda sastra dan sejarah merujuk malapetaka 1965.

Baca juga:  Mereka Sakit, Tapi Mengapa tak Berobat?

Halaman-halaman buku terus terbuka. Murid-murid sampai ke halaman memuat puisi berjudul “Gembala” gubahan Muhammad Yamin. Umat sastra mengetahui peran Muhammad Yamin berlatar masa 1920-an. Ia sibuk menggubah sastra, berlanjut hadir di politik dan rajin menulis buku-buku bertema sejarah. Konon, ia masuk daftar perintis atas pelopor dalam pemodernan puisi di Indonesia.

Puisi mengingatkan Nusantara atau Indonesia itu agraris: Perasaan siapa tidak akan nyala/ Melihatkan anak berlagu dendang./ Seorang saja di tengah padang/ Tidak berbaju buka kepala// Beginilah nasib anak gembala/ Berteduh di bawah kayu yang rindang/ Semenjak pagi meninggalkan kandang/ Pulang ke rumah di senja kala. Murid tak sulit membaca dan mengimajinasikan sosok gembala dan tingkah kerbau. Puisi dari masa lalu itu masih memungkinkan murid-murid mengerti faedah kerbau dalam pertanian, sebelum berdatangan traktor-traktor di sawah. Modernisasi pertanian terjadi agar terwujud swasembada pangan (beras) dan kemakmuran sesuai janji-janji rezim Orde Baru.

Murid-murid telanjur terpikat sastra berharap menemukan buku-buku apik di perpustakaan atau toko buku. Mereka ingin menikmati puisi, cerita pendek, atau novel. Ketersediaan buku-buku di sekolah mungkin terbatas. Duit dimiliki tak mencukupi untuk dibawa ke toko buku. Pada masa 1970-an dan 1980-an, pemerintah berikhtiar mengadakan buku-buku bacaan (sastra) agar tersebar di sekolah-sekolah di seantero Indonesia. Sasaran terpenting mengadakan bacaan untuk murid-murid SD.

Ajip Rosidi (2008) berbagi kenangan mengenai buku (sastra) dan sekolah masa Orde Baru. Pada saat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, ia diundang Bappenas. Gagasan mengenai perbukuan mulai dibicarakan. Pada suatu hari, Ajip Rosidi ditawari menjadi direktur Balai Pustaka. Ia menolak dengan argumentasi mengandung kritik. Tahun-tahun berlalu, pemerintah membuat kebijakan perbukuan biasa teringat “Inpres” berurusan sekolah dan perpustakaan.

Baca juga:  Menyoal Dokumentasi Sastra Kita

Ajip Rosidi mengingat: “Untuk mengisi perpustakaan itu yang diutamakan adalah membeli buku-buku bacaan anak-anak dan remaja. Karena pada waktu itu yang paling banyak menerbitkan buku bacaan anak-anak adalah Pustaka Jaya, maka yang dipesan juga kebanyakan buku Pustaka Jaya. Lebih dari 70 judul. Masing-masing judul dibeli sejumlah 110.000 eksemplar. Jumlah SD di seluruh Indonesia jauh lebih banyak tetapi panitia pembelian buku di lingkungan Departemen P dan K mengambil kebijaksanaan membagi wilayah Indonesia menjadi tiga atau empat daerah. Untuk setiap daerah dipesan 110.000 eksemplar.”

Kita mengenang rezim Orde Baru bertema dan berpihak buku. Ajip Rosidi memang tak mau mengurus Balai Pustaka. Ia malah mendirikan dan menggerakkan penerbit bernama Pustaka Jaya berkaitan dengan DKJ dan pemerintah DKI Jakarta.

Di sekolah-sekolah, murid-murid belajar menggunakan buku-buku terbitan pemerintah melalui Balai Pustaka. Mereka masih berhak melanjutkan kenikmatan membaca buku-buku cerita terbitan Pustaka Jaya, Gaya Favorit Press, Indra Press, dan lain-lain. Pada masa lalu, anak dan remaja “berpesta” buku meski tak merata di seantero Indonesia. Konon, anak atau remaja pernah menikmati buku-buku dari lakon “Inpres” membentuk biografi menjadi pengarang-pengarang tenar di Indonesia.

Pada abad XXI, lakon pemerintah dalam perbukuan berubah. Kejatuhan rezim Orde Baru (1998) ikut memberi pengaruh. Ikhtiar-ikhtiar mengadakan bacaan bagi murid-murid terus diwujudkan dengan keterlibatan pelbagai pihak. Kita mengingat peran orang-orang di majalah Horison saat mereka mengadakan sisipan “Kaki Langit” dan berkeliling Indonesia atas nama sastra.

Lakon besar itu berjudul “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya”. Kita tak lagi sibuk dengan murid-murid SD tapi digenapi murid-murid SMP dan SMA atau sederajat. Kita masih menemukan warisan dokumentasi berupa buku berjudul  Sastrawan Bicara Siswa Bertanya 2008 diterbitkan oleh Horison-Kaki Langit-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku memuat teks-teks sastra pilihan disuguhkan kepada murid-murid. Teks menjadi makin hidup saat para pengarang hadir di hadapan murid-murid di pelbagai kota.

Baca juga:  Menggugat Perumahan Beridentitas Islami

Di halaman awal, puisi berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” gubahan Taufiq Ismail. Puisi digubah pada 1997. Ia tak lagi mengisahkan malapetaka 1965 tapi kritik pendidikan atau pengajaran bahasa (dan sastra) Indonesia berlatar masa Orde Baru. Puisi menjelang Soeharto tamat. Kita membaca: “Murid-murid, pada hari Senin ini/ Marilah kita belajar tatabahasa/ Dan juga sekaligus berlatih mengarang/ Bukalah buku pelajaran kalian/ Halaman enam puluh sembilan// Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi/ ‘Mengeritik itu boleh asal membangun’/ Nah anak-anak renungkanlah makna ungkapan itu/ Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”  Murid-murid bingung dan kesulitan mengerjakan tugas dari guru. Bukti kegagalan pengajaran bahasa di sekolah.

Murid-murid gagal tapi malah memberi seruan: “Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca/ Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata/ Selama ini kami kan diajar menghafal dan menghafal saja/ Mana ada dididik mengembangkan logika/ Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda/ Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra/ Pak Guru sudah tahu lama sekali/ Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi/ Tapi mata kami kan nyalang bila menonton televisi.”

Kita malu, kecewa, dan bingung dengan nasib murid-murid masa lalu saat tak akrab dengan sastra. Mereka bukan pihak salah mutlak. Pemerintah, guru, dan keluarga turut bersalah. Kini, kita menduga seruan atau kemarahan murid-murid itu makin besar. Kita sadar mereka makin “sulit” atau “dilematis” berhadapan buku-buku bacaan saat edisi cetak itu kesilaman akibat pemujaan digital. Begitu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top