Di kesusastraan dunia, para pengarang mengisahkan kucing. Cerita-cerita mereka mudah mendapat pujian dari pembaca. Kita maklum kemahiran mereka bercerita kucing meski berlatar Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Di Indonesia, kita pun terbiasa bertemu puisi, cerita pendek, dan novel mengenai kucing. Pada suatu masa, kita bakal mendapat buku bunga rampai sastra dan kucing. Buku bisa dijadikan referensi bagi para pembaca ingin mengerti selebrasi imajinasi kucing. Para pemelihara kucing boleh ikut membaca agar bisa turut bercerita.
Di Indonesia, kita mengenal pengisah kucing itu bernama Suyadi. Di ingatan kaum bocah, ia dikenal sebagai Pak Raden. Di keseharian, ia memelihara kucing. Penghornatan dan kasih terhadap kucing diwujudkan dengan menulis cerita dan gambar berjudul Seribu Kucing untuk Kakek. Buku dinikmati bocah-bocah mula-mula terbit pada masa Orde Baru, dihadirkan lagi oleh Noura untuk para pembaca abad XXI.
Kucing dalam kata dan gambar itu memberi panggilan agar pembaca mengerti tatanan hidup menghadirkan kucing. Kita beralih ke pengisahan mengharukan dalam hasrat mencatat dan mengingat. Tulisan disuguhkan Widyanuari Eko Putra dengan judul bisa mengelabui: “Kepergian Marco dan Hal-Hal di Sekitarnya.” Para pembaca buku lawasan mengira itu nama pengarang dan jurnalis kondang awal abad XX: Mas Marco Kartodikromo. Pembaca justru berkenalan: Marco itu (nama) kucing.
Hari-hari bersama Marco teringat. Kucing bersama suami-istri mengalami hari-hari beragam rasa dan kejadian. Marco pun fana. Suami-istri itu kehilangan Marco: mendapat duka dan nostalgia. Kejadian tak terlupa: “Saya begitu kaget ketika menjelang subuh dari teras belakang rumah terdengar istri saya berteriak memanggil-manggil dengan panik. Dengan kesadaran yang masih mengambang seketika saya melompat dari ranjang, bergegas menuju sumber suara. Istri saya tengah gemetar di depan kandang lantaran menjumpai Marco tak bergerak.” Hari terakhir itu tiba. Para pengasih pun berdoa disempurnakan airmata.
Catatan mengingat kucing itu membuktikan kehilangan. Para pembuka halaman-halaman buku berjudul Cerita-Cerita Kehilangan (2024) sengaja diajak bersedih dengan daftar kehilangan. Buku jangan sembarangan dibaca tanpa memilih tempat dan sadar waktu. Katalog kehilangan itu bisa ikut membuat pembaca lungkrah. Pembaca membaca buku tipis tapi bakal menebalkan lara.
Kita menuju tulisan agak meniru warisan judul Pram: “Sekali Peristiwa di Pasar Johar.” Tulisan itu pendek. Pembaca diharapkan dekat dengan segelas kopi atau teh. Minum menjadi tebusan dari sedih-sedih berdatangan. Peristiwa membaca dalam hitungan menit boleh diiringi asap rokok.
Di situ, kita menemukan pengalaman membeli dan menjual buku berjudul Dibawah Bendera Revolusi, buku memuat tulisan-tulisan Soekarno. “Berurusan dengan Soekarno memang mesti dimulai dari buku-buku,” tulis Widyanuari. Pengakuan tanpa kesombongan. Ia justru bercerita babak awal menggandrungi Soekarno dengan siasat membeli buku dan pertimbangan duit. Pada suatu hari, ia berhasil mendapat buku tebal. Harga terjangkau! Ia membahasakan buku cuma diganti selembar uang Soekarno-Hatta.
Keberhasilan membeli buku “jelek”. Soekarno memang teringat gara-gara Dibawah Bendera Revolusi pernah menjadi incaran pada masa Orde Baru. Orang-orang berani mengoleksi dan membaca pasti paham risiko. Rezim pembenci buku ikut memusuhi buku-buku Soekarno. Dulu, orang-orang mengingat seruan “desoekarnoisasi”. Soeharto tampak “mengharamkan” buku bila membesarkan atau mengeramatkan Soekarno. Pada masa lalu, Dibawah Bendera Revolusi bisa berharga jutaan rupiah. Harga itu anjlok saat ribuan eksemplar keluar setelah kejatuhan rezim Orde Baru.
Kita menganggap buku itu “jelek” dari pilihan kertas dan penjilidan. Kertas memang tebal tapi mudah rusak. Panitia buku berlagak memuliakan Soekarno dan menggerakkan revolusi berlatar masa 1960-an terbukti “salah pilih” kertas. Pembaca sembrono dalam membuka halaman-halaman buku bisa mengakibatkan rusak dan lepas. Kertas itu menggagalkan buku bisa melewati usia seratus tahun dalam kondisi mulus dan rapi. Buku tak melulu mutu kertas. Sejak puluhan tahun lalu, para pembaca mengaku dibarakan gagasan dalam tulisan-tulisan Soekarno terdokumentasi, sejak masa kolonial sampai revolusi.
Buku itu bernasib buruk. Pencari dan pembeli dengan gairah besar membuat keputusan: “Buku berganti telepon genggam.” Ia sadar zaman. Buku sudah dibaca khatam. Hidup memerlukan telepon. Ia tak mungkin memegang buku besar dan tebal menempel di telinga. Penjualan buku masih beradab. Ia sedang menunaikan misi berbeda dengan judul “Di Bawah Bendera Perbukuan”. Telepon digunakan untuk berdagang buku di media sosial. Pilihan mengurangi “dosa”.
Pada abad XXI, ia pernah memastikan Semarang itu buku (bekas). Pengalaman dolan dan tinggal di Semarang makin menguatkan anggapan merujuk sejarah: Semarang tetap “kota buku” meski panas, sumuk, dan semrawut. Tahun demi tahun berlalu, ia perlahan membuat ralat. Ia tak membatalkan pengertian Semarang sebagai ruang pengawetan dan peredaran buku-buku bekas. Perubahan paling tampak: jumlah dan harga. Semua dipengaruhi tempat-tempat digunakan para pedagang dan pembeli saat membuat persekutuan lawasan. Tempat-tempat di Semarang lekas berubah, menghilangkan sukacita perbukuan bekas.
Pada 2018, ia masih mudah membuat kalimat menampik pesimis: “Namun, pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang masih bersetia berjualan buku bekas adalah pengalaman yang akan membuat Kota Semarang (masih) memiliki pikatnya. Pada saat buku diterbitkan (2024), Semarang terlalu berubah untuk “mengutuk” atau “memberkati” para pedagang buku bekas. Pedagang-pedagang itu “menghilang”. Buku-buku idaman makin sulit ditemukan di Semarang.
Kita memilih menutup buku tipis. Sedih-sedih mulai terasakan. Di halaman-halaman belakang, ada dua tulisan mengisahkan kehilangan tokoh: Iman Budi Santosa dan Rendra. Dua tulisan tak termasuk sebagai obituarium tapi membuktikan penghormatan dan sejenis doa. Buku mendingan ditutup dan pembaca memejamkan mata. Usahakan telinga tak mendengar lagu dari radio milik tetangga: “Kalau sudah tiada baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa, kehilangan dia. Sungguh berat aku rasa, hidup tanpa dia.” Berlindunglah dari lagu dibawakan Rhoma Irama. Begitu.
Judul : Cerita-Cerita Kehilangan
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Beruang
Cetak : 2024
Tebal : 65 halaman
QRCBN : 62 1695 4702 613