Orang-orang menanti berita-berita dari Kabul (Afghanistan). Di koran-koran, berita-berita terbaca mencekam. Di Kabul, Taliban ingin berkuasa memberi ketakutan, keraguan, dan kecaman. Sekian hari, Kabul terpikirkan gara-gara senjata, orang-orang mengungsi, hukuman, dan lain-lain.
Kabul tak lagi indah. Di buku berjudul Kembang Para Syuhada (1988) dengan editor Abdul Hadi WM, kita membaca puisi gubahan Khalilullah Khalili. Puisi berjudul “Kenangan Kabul”, mengajak kita berimajinasi silam: Musim bunga di Kabul/ Sayap-sayap dari Asmayah/ Mendarat di permukaan air/ Kehijauan/ Tumbuh dari dalam bumi/ Bunga-bunga tulip/ Merekah di bebukitan/ Taman dan padang datar, merah, kuning dan ungu/ Cinta dan asmara remaja menggelinjang/ Embun/ Gemerlapan bagai mutiara/ Tetes-tetes bulat bergayut di ujung reranting pohon/ Air pun jadi riak-riak lembut dielus angin pagi.
Puisi terasa lembut dan memanggil untuk merasakan singgah di Kabul. Pembaca mungkin tergoda membandingkan dengan puisi-puisi gubahan Kahlil Gibran mengenai kota-kota di Lebanon. Puisi dari Afghanistan itu jarang terbaca oleh umat sastra di Indonesia. Masa demi masa, pengertian Afghanistan itu perang, bukan sastra. Kita tentu kebangetan bila tak menilik gubahan sastra di Afghanistan. Suguhan sastra beragam, dari masalah asmara sampai perang. Kita telat membaca, setelah keseringan mendapat berita-berita membikin geram dan prihatin.
Kabul itu bunga, air, taman, embun, pohon, angin, dan lain-lain. Kita mengandaikan Kabul tanpa kekerasan, pembunuhan, makian, atau jeritan. Kabul dalam sebiji puisi terlalu berbeda dengan berita di ratusan koran terbit di pelbagai negara. Afghanistan adalah foto-foto dan kalimat-kalimat tak puitis. Di sana, drama besar masih berlangsung, tak teramalkan berakhir.
Kabul pun berbeda dalam buku garapan Asne Seierstad berjudul Saudagar Buku dari Kabul (2005). Buku kecil mendokumentasi kabul dan nasib buku di hadapan Taliban. Pembaca diundang memikirkan nasib Sultan Khan, saudagar buku bertaruh hidu-mati demi buku-buku. Ia memiliki misi mulia untuk Afghanistan dari bacaan-bacaan: lama dan baru. Kabul itu buku, selain puisi jarang terbaca oleh jutaan orang di dunia.
Pada akhir 1999, para “polisi agama” mendatangi toko buku milik Sultan Khan. Kita simak: “Setiap buku yang berisi gambar makhluk hidup, baik itu manusia maupun binatang, dirampas dari raknya dan dilemparkan ke dalam kobaran api. Lembaran kertas yang sudah kuning, kartu pos yang tak berdosa, dan sampul kering buku-buku referensi yang sudah tua, semuanya menjadi korban lahapan api.” Hukuman paling mengerikan: pembakaran buku. Kabul menjadi kota berapi. Buku-buku terlarang bagi orang-orang picik dan bebal berdalih agama. Petaka tak terampunkan!
Sejak remaja, Sultan Khan keranjingan buku. Ia berpikir Afghanistan bisa bermatabat dengan buku. Orang-orang membaca buku, bukan selalu memegang senjata. Impian agak mustahil. Ia memilih mencari buku dan berdagang buku. Situasi Kabul dimengerti sering buruk tapi buku-buku tak boleh absen.
Ia membuat siasat: “Hanya sebagian kecil buku miliknya yang dipajang di rak. Sebagian besar, sekitar sepuluh ribu, disembunyikan di loteng-loteng seluruh penjuru kabul. Dia tak bisa membiarkan koleksinya ini, yang telah dikumpulkannya selama kurun waktu 30 tahun hilang tak berbekas. Dia tak bisa membiarkan Taliban atau agresor lainnya. Menghancurkan lebih banyak lagi jiwa Afghanistan.”
Buku-buku wajib dilindungi dari kekuasaan bodoh dan keji. Kita diingatkan bahwa kehormatan negara turut dipengaruhi keselamatan buku-buku. Kabul tak boleh hancur. Buku-buku jangan menjadi abu oleh api. Kini, kita mengingat lagi nasib buku-buku setelah Taliban menguasai Kabul. Kita berdoa agar para saudagar buku bisa melindungi buku-buku dari senjata dan api. Begitu.