Kita membuka buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Buku Kompas. Di situ, kita sering membaca tulisan-tulisan pendek dinamai prakata, sekapur sirih, sambutan, atau kata pengantar. Tulisan-tulisan itu sering dihasilkan oleh Jakob Oetama (27 September 1931-9 September 2020). Tahun demi tahun, ia menulis untuk “mengantar” pembaca menikmati buku. Ia pun mengenalkan dan memberi penghormatan awal bagi penulis-penulis memberi persembahan buku-buku. Sekian tulisan itu memastikan Jakob Oetama adalah tokoh “melulu” buku.
Pembaca mulai mengerti kemauan-kemauan Jakob Oetama dalam pemaknaan buku dan pemuliaan penulis. Di buku berjudul Cendekiawan Berdedikasi 2008-2016 (2016), Jakob Oetama memberi sekapur sirih mengandung penjelasan: “Halaman artikel, sejalan dengan filsafat dan tujuannya sejak awal harian ini diselenggarakan, merupakan ciri khas Kompas. Oleh karena itu, secara sengaja sejak harian ini terbit selalu menyediakan halaman artikel bagi penulis luar, bukan wartawan Kompas. Bagi kami, mereka para penulis itu adalah teman seiring. Mereka para cendekiawan-ilmuwan yang ikut menyumbangkan pengembangan ilmu pengetahuan, pengalaman dan pikiran yang berguna bagi masyarakat lewat tulisan-tulisan ilmiah-populer di media. Kompas sebagai koran yang serius, terus menjaga kualitas keseriuasannya, juga berkat kehadiran tulisan-tulisan mereka.” Jakob Oetama sadar posisi dalam jalinan bersama para penulis untuk Kompas, dari masa ke masa. Ia melalui Kompas membuktikan memberi penghormatan besar atas kerja dan keran kaum cendekiawan, kaum lekat dengan buku-buku dan tebaran gagasan.
Ratusan penulis “besar” dan moncer bersama Kompas. Mereka memberi suguhan pada publik berupa buku-buku bertema politik, ekonomi, agama, sastra, pendidikan, pertanian, lingkungan-alam, filsafat, sejarah, bahasa, teknologi, jurnalistik, dan lain-lain. Kita telah lama mengartikan Kompas itu PK Ojong dan Jakob Oetama. Peran terlama dijalani Jakob Oetama dengan pelbagai capaian dalam industri pers dan gerak keintelektualan. Pilihan membenarkan penghindaran atas godaan-godaan berpolitik. Di jalan keintelektualan dan berpikiran publik, Jakob Oetama memiliki kehormatan dan tegak dalam pemuliaan Indonesia.
Pada 2020, orang-orang mengingat seabad PK Ojong selaku pendiri Intisari dan Kompas bersama Jakob Oetama. Pihak Kompas-Gramedia tak membuat acara-acara besar, mengikuti filosofi “sederhana” diselenggarakan PK Ojong. Sekian hari setelah orang-orang mengenang PK Ojong, ada imbuhan mengenang setelah Jakob Oetama berpamitan dari kita dan dunia, 9 September 2020. Kini, mereka bersama. Mereka menjadi referensi kerja pers dan pengabdian keintelektualan. Jakob Oetama dalam buku berjudul PK Ojong: Hidup Sederhana dan Berpikir Mulia (2001) susunan Helen Ishwara memberi pengantar: “Keluarga Kompas-Gramedia, kelompok perusahaan yang ia rintis bersama beberapa rekannya, setiap tahun selalu berziarah ke makamnya di Tanah Kusir, Jakarta. Setiap kali Kompas ulang tahun, setiap kali Percetakan Gramedia berhari jadi, setiap kali unit-unit lain mensyukuri tanggal kelahirannya, para karyawan selalu memulai acara syukuran dengan pergi ziarah ke makamnya.” Ia lama bersama dan memiliki PK Ojong. Ziarah menjadi penghormatan dan kesungguhan menggerakkan Kompas-Gramedia melintasi tahun-tahun bergelimang suka dan duka. Kini, orang-orang menziarahi Jakob Oetama.
Kita menjadi penziarah meski tak sempat sampai ke permakaman. Kemauan memberi doa dan menghormati bisa dengan “menziarahi” sekian tulisan dan buku. Intisari edisi “Merayakan 50 Tahun Perjalanan Karya Kreatif” terbit September 2013 memuat penjelasan Jakob Oetama: “Intisari didirikan dengan cita-cita ikut mencerdaskan bangsa. Kami menginginkan majalah ini menjadi bacaan yang enak dibaca karena isinya menyangkut perikehidupan yang nyata dan konkret. Sejak awal, seperti dituliskan dalam pengantar redaksi edisi 1, Intisari memposisikan dirinya sebagai sahabat yang setia, lincah, dan gembira. Oleh karena itu, tulisannya mengandung unsur pendidikan sekaligus menghibur.” Penjelasan memiliki bukti, membuat para pembaca menempuhi jalan panjang bersama Intisari. Jakob Oetama saat menggerakan Intisari masih muda, belum terlalu sibuk dengan hal-hal besar dalam bisnis dan organisasi-profesi. Ia memiliki hak dan kemauan membuat tulisan-tulisan kelak terbit menjadi buku sederhana.
Buku itu berjudul Sketsa Tokoh (2003) diterbitkan oleh Intisari Mediatama. Buku “terlalu” sederhana bila melihat posisi dan pengaruh Jakob Oetama. Pada masa awal Intisari, 1963-1965, Jakob Oetama menulis tentang tokoh-tokoh. Editor mengumpulkan 21 tulisan untuk terbitan buku. Tulisan-tulisan tak berpamrih besar, memilih sederhana saja atau memenuhi kaidah “pendidikan sekaligus menghibur.” Buku (jarang) terkutip atau memciu percakapan-percakapan panjang di kalangan pembaca atau kaum intelektual. Buku memang “masa lalu” tapi mengesahkan ikhtiar bertumpu syukur dalam mengenalkan dan menghormati para tokoh telah menunaikan misi-misi demi Indonesia.
Di situ, Jakob Oetama menulis tentang Poerbatjaraka, HB Jassin, Tjipto Mangoenkoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Ali Sastroamidjojo, Soekarno, Adinegoro, IJ Kasimo, Bing Slamet, dan lain-lain. Pada masa berbeda, kita membaca tulisan-tulisan lama tetap menggugah: membuka segala ingatan dan rangsang mempelajari ide dan imajinasi para tokoh masa lalu. Kita mengutip pengisahan Adinegoro oleh Jakob Oetama. Tokoh besar dalam pers, sejak masa kolonial. Tokoh teringat dengan buku memikat berjudul Melawat ke Barat. Jakob Oetama (1963) mengutip perkataan Adinegoro: “Pada hakekatnja, saja bukanlah orang jang rapuh hati, tidak tjepat bersedih hati atau bersuka ria dengan sebab jang tidak berarti.” Tahun demi tahun, Adinegoro memiliki kemauan besar dalam melakoni hidup dalam pers dan kerja-kerja keintelektualan. Ia pun memilih rajin beribadah dengan dalih: “Di sana, saja selalu mendapatkan kekuatan.” Jakob Oetama tak jauh berbeda: memiliki kekuatan dengan bersyukur.
Jakob Oetama memang selalu bersyukur. Kita membaca buku tebal untuk peringatan 80 tahun Jakob Oetama dijuduli Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011). P Swantoro berpesan pada pembaca: “Banyak orang yang hanya melihat Jakob Oetama ‘dari jauh’ mungkin beranggapan bahwa hidup Jakob Oetama enak, serba berkecukupan, dan dihormati banyak orang. Namun, saya yang puluhan tahun menjadi pendampingnya mengetahui betapa berat hidup seorang Jakob Oetama.” Berat senantiasa dimaknai dengan bersyukur dalam menunaikan pengabdian dalam pers dan keintelektualan.
Kita berziarah ke tulisan dan buku. Ziarah untuk mendoakan dan menghormati Jakob Oetama. Segala warisan bisa terbaca, menempatkan kita sebagai pembaca tak rampung-rampung. Di penerbitan Bukuku Kakiku (2004), Jakob Oetama mengingatkan: “Membaca masih akan tetap merupakan jalan dan sarana ekspresi diri berkomunikasi serta terus maju melalui pencerdasan dan pencerahan. Pekerjaan kultural semacam ini tidaklah mudah.” Kita berjanji tetap sebagai pembaca. Berziarah itu membaca koran, majalah, dan buku. Sekian orang berlanjut membaca dalam edisi-edisi digital. Ziarah tak pernah selesai setelah orang-orang terus memberi persembahan tulisan-tulisan, detik demi detik.