Sedang Membaca
Indonesia Geger Lagi dengan Masalah Busana: Kerudung dan Berpuisi Jilbab
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Indonesia Geger Lagi dengan Masalah Busana: Kerudung dan Berpuisi Jilbab

Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di IKN. (Foto: BPIP)

Pada masa Orde Baru, penguasa tak ada janji menjadikan Indonesia “berkerudung”. Impian sedang diraih Soeharto: Indonesia makmur. Beragam kebijakan dan ikhtiar untuk makmur memerlukan topangan pendidikan, bisnis, ideologi, dan lain-lain. Konon, kemajuan dalam pendidikan menjadikan Indonesia memiliki manusia-manusia cerdas dan mau bekerja membentuk masa depan.

Indonesia masa lalu, Indonesia dengan daftar panjang polemik dalam pendidikan. Menteri-menteri bergantian memberi kebijakan dengan capaian dan kegagalan. Publik mengingat para menteri biasa menginginkan kemajuan meski sering memicu masalah-masalah tak berujung. Kita biasa membuka halaman-halaman dalam album sejarah pendidikan itu memuat paragraf-paragraf getir.

Kita membuka majalah Panji Masyarakat, 21 November 1984, mencantumkan judul utama di sampul depan: “Kerudung, Masalah Politik?” Di situ, terlihat foto perempuan berkerudung abu-abu. Masalah besar bermula di Bandung, menimpa murid-murid di SMA negeri atau pemerintah. Kita mengutip: “Di lapangan basket SMA PGII (Persatuan Guru Islam Indonesia), Bandung. Di bawah siraman matahari pagi, seorang siswi berkerudung putih dengan langkah tegap membopong Sang Saka Merah Putih, dikawal dua siswa di sisi kiri dan kanan. Di belakang sisi kanan tiang bendera, sekelompok pelajar mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.”

Kita mendapat pemandangan para murid sedang melaksanakan upacara. Peristiwa menghormati sejarah dan memuliakan para tokoh pembentuk Indonesia. Upacara itu biasa. Berita menjadi tak biasa gara-gara siswa berkerudung turut menjadi petugas dalam pengibaran bendera. Kita mengingat itu berlatar masa 1980-an saat rezim Orde Baru agak risih dengan Islam.

Baca juga:  Ekstrimisitas Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara  

Masalah terpenting bukan upacara tapi kehadiran para murid berkerudung terkena dampak kebijakan pemerintah. Kita mengutip lagi: “Di antara mereka, berdiri juga tujuh puluh dua siswi, korban peraturan seragam sekolah negeri yang mengharamkan kerudung, kemudian ditampung dan belajar di SMA PGII.” Semua, mereka itu siswa di sekolah negeri tapi nasib terkatung akibat kebijakan pemerintah penuh dilema. Sekolah-sekolah negeri menentukan seragam. Siswa mengenakan kerudung dianggap tak sesuai peraturan atau melanggar.

Pada masa lalu, kerudung menjadi masalah rumit dalam pendidikan. Muris-murid ingin mewujudkan hak belajar. Pemerintah memiliki peraturan tak ingin dilanggar. Pemerintah berpikir pendidikan, tak menengok masalah agama atau pemenuhan hak-hak demokrasi. Publik lekas menanggapi dengan beragam kritik dan kecaman. Pemerintah dicap sedang menimbulkan “permusuhan” dengan Islam.

Kita simak penjelasan Sekretaris Dirjen Dikdasmen (Anwar Jasin) mengenai polemik kerudung di sekolah: “Kita harus ingat, pemerintah (Depdikbud dan Depag) mempunyai program yang lebih pokok, meningkatkan mutu pendidikan, kurikulum, dan pelaksanaannya. Jadi, bukan hanya mengurusi soal kerudung. Kita sering ribut dengan soal-soal yang tidak prinsipil, soal khilafah.” Publik saat itu mengerti jika omongan pejabat “bermutu” dan diharapkan tak mendapat “bantahan”. Pejabat itu pintar. Publik cuma mengerti pemerintah menghendaki para murid di sekolah negeri mengenakan seragam. Kerudung tak ada dalam peraturan. Murid berkerudung diartikan tak bisa belajar di sekolah negeri. Murid bisa pindah ke sekolah swasta atau bernasib “apes” bila tetap berada di sekolah negeri.

Debat-debat panas mendapat penjelasan menenangkan dari Munawir Sjadzali. Pendapat pribadi, bukan pendapat selaku menteri agama. Ia mula-mula memasalahkan busana, tak ingin lekas turut campur dalam kebijakan pendidikan: “Memang, sampai sekarang, saya belum pernah berbicara tentang busana muslimah. Bagi saya, bukan apa-apa, saya melihat masih banyak masalah yang lebih penting daripada itu. Berbicara tentang jilbab, saya melihat, yang menonjol adalah sikap emosional, sementara ada faktor yang mencampurinya.” Publik diajak membedakan jilbab (baju kurung panjang) dan kerudung. Masalah sedang terjadi di sekolah-sekolah masa 1980-an itu mengarah ke kerudung, belum jilbab.

Baca juga:  1945, Merdeka, Seni

Kini, kita jarang mendengar masalah kerudung. Perkara besar sering bermunculan itu jilbab atau hijab. Dulu, dokumentasi zaman bertema jilbab dibuat oleh Emha Ainun Nadjib dengan penerbitan buku berjudul Syair Lautan Jilbab. Kita membaca buku kecil menguak sejarah pendidikan, sosial-kultural, politik, dan agama di Indonesia.

Di puisi berjudul “Bersemangat Laut, Berjiwa Telaga”, kita membaca: Beribu jilbab/ Beribu sungai raksasa/ Membelah belantara/ Menerobos sejarah// Beribu jilbab/ Beribu sungai raksasa/ Berjanji memuara/ Melaut// Beribu jilbab/ Lahir dari ibu gelap sejarah/ Dari mutiara yang disembunyikan/ Dari suara yang dibungkam// Beribu jilbab/ Tak terbilang jilbab/ Bersemangat laut/ Berjiwa telaga. Kita mengandaikan Emha Ainun Nadjib mementingkan jilbab itu busana, tak sekadar kerudung sebagai kain penutup kepala dan rambut. Jilbab itu keutamaan meski mula-mula perdebatan bergulir gara-gara kerudung.

Tahun-tahun berlalu, debat itu turut berpengaruh dalam kemunculan industri busana muslimah di Indonesia. Kaum ulama, pengusaha, artis, dan pendidik mulai berpikiran busana memenuhi dalil-dalil agama. Mereka sadar dengan “ekspresi” Islam tapi tak bermaksud merecoki tata kehidupan berbangsa-bernegara Indonesia.

Pada 1993, terbit buku berjudul Khasanah Busana Muslimah susunan Rachmat Taufiq H, Nina Surtiretna, dan Dadan Dania. Buku terbitan Pustaka, Bandung. Buku tipis dibuka dengan puisi gubahan Taufiq Ismail, pernah disenandungkan oleh Bimbo. Kita mengingat lagi: Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita/ Angka SMP dan SMA sembilan rata-rata/ Pandai mengarang dan organisasi/ Mulai bulan Muhamaram satu empat nol satu/ Memakai jilbab menutup rambutnya/ Berbusana muslimah alangkah pantasnya. Kita diajak mengenang debat-debat masa 1980-an dan 1990-an. Taufiq Ismail dalam pendokumentasian perubahan di Indonesia, menokohkan perempuan berjilbab dalam arus pendidikan, siasat berdakwah, dan dampak politik: Aisyah/ Dia tidak banyak berkata/ Dia memberi contoh saja.

Baca juga:  Alif.Id, Jurnalisme Budaya, dan Keislaman Kaum Santri (2): Ilmu, Energi, dan Waktu

Buku tipis sejenak memuat pengertian jilbab dan kerudung. Beragam sumber digunakan untuk menerangkan: “Di kalangan masyarakat sering terjadi kesalahpahaman seolah-olah jilbab sama dengan kerudung. Padahal, sebenarnya, kerudung yang dalam bahasa Arab-nya khimar (bentuk jamaknya khumur) tidak identik dengan jilbab. Sebab, kerudung hanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jilbab, yang seharusnya dikenakan oleh perempuan Islam.”

Masa lalu itu terbaca lagi saat majalah dan buku lawas masih bisa ditemukan dan dipelajari (ulang). Indonesia geger lagi dengan masalah busana. Kini, kita malah berada dalam sengketa makna mengaitkan busana, sejarah, keindonesiaan, Pancasila, demokrasi, dan kemerdekaan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top